Sudah lama aku tidak kemari. Suasananya sekarang sudah jauh berbeda dengan dulu.
Bangunannya sudah banyak berkembang. Kawasannya juga lebih ramai.
Aku masuk ke resepsionis kantor dan mengatakan tujuanku untuk memperbaiki printer kantor. Mbak didepanku ini segera menelpon untuk menghubungkanku dengan mbak Tatik yang menghubungiku untuk kesini.
Mbak Tatik datang dan mengantarkanku kebagian belakang gedung dimana banyak tukang-tukang bangunan bersliweran. Rupanya mereka sedang membangun bagian ini.
Suara pekerjaan bangunan saling menumpuk. Ada suara desingan alat kayu. Ada pula suara pukulan palu.
Mbak Tatik menemaniku di dalam.Aku mulai mengerjakan keluhan pada komputer.
Dibalik ruangan ini, aku melihat dirinya. Setelah sekian
lama, aku melihatnya lagi. Zara sedang mengarahkan, menuntun beberapa
lelaki yang membawa tangga dan beberapa peralatan lainnya.
Dia terlihat lebih cantik dari terakhir kali aku melihatnya. Dia sudah pandai berdandan sekarang. Dia memakai make up. Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu dengannya. Seorang gadis lugu tanpa riasan sama sekali di wajahnya. Aku tersenyum mengenangnya. Memang dasarnya cantik, tanpa make up sekalipun tetap saja menarik. Dan itu berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya.
Ada
perasaan senang bisa melihatnya kembali. Namun juga terasa perih, memenuhi sanubariku. Mengenai
kenyatan yang sudah terjadi. Sakit, hanya saja tidak berdarah.
Beberapa lama kemudian. Suara ketukan pintu terdengar. Zara muncul memberitahukan ada tamu yang harus ditemui oleh mbak Tatik.
Dia melihatku. Aku sekilas melihatnya, lalu melanjutkan kembali pekerjaanku dilayar komputer. Zara masih mematung didepanku, menatapku dengan sayu.
'Aku tahu kau juga merasakan hal yang sama.'
Mbak Tatik keluar dari ruangan ini untuk menemui pekerjaannya yang lain.
Beberapa saat kemudian Zara mengikutinya lalu berbelok ke arah yang lain.
"Andai
saja lima tahun yang lalu bisa terulang Mas. Aku pasti akan menolak
perjodohan dari ibuku dan sabar menunggumu. Andai saja keadaan kita
terbalik. Kamu yang sudah menikah dan aku yang belum. Aku akan memintamu
sekalipun dengan izin istrimu." Suara itu terdengar begitu lirih. Suara
kecil yang mungkin tidak akan terdengar oleh pendengaran manusia biasa.
Aku bukan manusia biasa.
Bukan hanya kamu. Andai saja kesempatan kedua itu ada. Aku tak akan ragu untuk memilihmu.
Kita tidak tahu pilihan kita itu benar atau salah, sampai kita menjalaninya.
Dan aku sudah menjalani pilihanku itu.
Aku meneruskan tugasku sambil berharap proses loading cepat berakhir. Aku terus menguatkan hatiku.
Berharap pekerjaan ini cepat selesai.
Dalam perjalanan kembali untuk menemaniku. Terdengar suara gojek salah seorang bapak tukang bangunan. Dan mbak Tatik tertawa-tawa terbahak-bahak.
"Makanya kalau nyari suami nanti yang seperti aku Nduk. Setiap hari kamu bakalan bisa tertawa.
"Ada-ada saja bapak ini. Udahan ah gojeknya. Nggak kerja-kerja nanti."
Mbak Tatik masih tersenyum saat masuk kedalam ruangan. Lalu duduk kembali disebelahku.
Sambil mengerjakan.
"Tapi memang benar kok mbak. Tertariklah kepada seseorang yang bisa membuatmu tersenyum. Karena hanya senyum yang bisa membuat hari-hari yang gelap.. menjadi cerah."
Mbak Tatik kembali tersenyum. Dia lalu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan.
"Sekarang makin rame ya mbak. Dulu padahal kantornya cuma sampai disana."
"Mas dulu bisa tahu sini darimana?"
"Pak Sulaiman yang manggil saya mbak. Tapi sekarang sudah nggak pernah ngurusi ini ya?."
"Oh. Iya pak Sulaiman sudah jarang di terlihat disini Mas."
"Dulu pak Sulaiman, terus istrinya yang manggil saya."
"Dari waktu kantornya yang bagian depan itu ya Mas?."
"Dulunya kantornya satu ruangan diatas itu mbak. Yang di lantai dua. Masih pak Sulaiman sendirian. Terus nambah kantor yang dibawah ini. Mulai ada pegawainya. Terus kantornya nambah lebih luas. Lalu sampai ada gudangnya juga. Pegawainya tambah banyak. Lalu sekarang nambah perluasan dibagian belakang sini buat dijadikan bangunan kantor juga. Nggak nyangka sampai rame seperti sekarang gini mbak." Aku tersenyum.
Mbak Tatik terlihat terkejut. Bahwa aku ternyata sudah lebih lama mengetahui tempat ini daripada dirinya yang masih baru. Semua pegawai disini adalah perempuan dan berhijab, kecuali bagian keamanan dan sopir kantor.
"Tadi itu barusan mbak Zara ya?". Aku mencoba memastikan.
"Iya, tadi itu mbak Zara Mas."
'Tentu saja itu dia.' aku menghela nafas.
'Andai saja itu orang lain. Saudara atau kembarannya misalnya. Aku pasti tanpa ragu akan melakukan hal yang seharusnya dari dulu aku lakukan'.
"Mbak Zara, mbak Endang, .. " aku mulai mengingat.
"Mbak Weda, mbak Nia, mbak Rina". Mbak Tatik melanjutkan
"Iya, yang awal-awal saya ngingatnya mbak".
Ada banyak pegawai perempuan disini, aku tidak pernah berkenalan secara spesifik. Hanya mengenal karena berhubungan dengan pekerjaan. Khusus Zara. Aku bisa mengetahui namanya itu menggunakan modus pekerjaan kepada seorang rekan kerjanya. Sebenarnya aku sudah punya niat untuk menjadikannya istriku. Perempuan berkualitas sepertinya, tidak bisa ditemukan setiap saat.
Hanya saja.. takdir berbicara lain.
'Kalau saja kamu mau menungguku.. sebentar saja.'
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum masam. Melupakan.. suatu kata yang mudah diucapkan namun sangat sulit untuk dilakukan. Rasa kecewa itu akan terus membekas dalam ingatan. Terus membayangi seumur hidup. Aku melepaskan perempuan yang istimewa demi pepesan kosong.
Setelah merasa komputer telah terintegrasi dengan baik, printernyapun telah berhasil terhubung dengan baik. Dan mbak Tatik belum kembali kesini.
Aku keluar ruangan dan masuk keruangan tengah menemui Office Lady yang terlihat disana.
Ada Zara ada didepan sana. Aku nyaringkan suaraku.
"Bu mbak Tatik kan nggak ada, saya titip ruangannya. Itu Komputernya masih nyala, printernya juga masih nyala. Sudah bisa. Nggak ada pembayaran kok. Trial sebulan. Pembayarannya terakhir. Saya tinggal ya bu."
"Oh iya, nanti biar saya kunci mas".
Seperti yang kuduga, Zara segera masuk kesalah satu bilik ruangan. Dia tidak mau berdiam di jalur yang aku lewati untuk keluar.
'Aku ingin kau tetap seperti itu. Tetaplah menjadi perempuan baik-baik.. sampai akhir.'
Tidak lupa aku lewat sambil memberi salam kepada bagian front office bahwa pekerjaanku sudah selesai.
Diluar aku berjalan ke arah tempat motorku kuparkirkan, sembari mengambil kedua sarung tangan model putungan(half gloves) milikku yang aku simpan dikantong pinggang jaket, lalu memakainya. Aku masih bisa mendengar suara Zara yang berada di dalam sana.
"Semoga saat besar nanti, anakku bisa seganteng kamu Mas."
Kuambil motorku yang aku parkirkan. Kupakai helm full face-ku. Mengarahkannya kejalan raya.
'Tetaplah menjadi wanita baik-baik Zar. Jangan sampai kamu salah jalan.
Tetaplah menjadi perempuan baik-baik.. sampai akhir. Sekalipun bukan untuk dirimu sendiri. Lakukan demi aku.'
Karena kau adalah kebangganku. Kau adalah salah satu percabangan hidupku yang tidak aku lalui.
Aku geber gas sepeda motorku, meninggalkan gedung penuh kenangan itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).