Ustad Unar Saki begitulah orang-orang memanggilnya.
Ia saat ini menjadi tokoh yang kontroversi. Karena dibalik tauziahnya tentang harta dan sedekah. Ustad yang sekarang dikenal sebagai pengusaha sukses diberbagai bidang dan mempunyai berbagai macam koleksi mobil mewah ini diterpa banyak kabar miring. Terutama terkait konflik dengan beberapa jamaahnya terdahulu. Dari hutang sampai hasil investasi yang tak jelas juntrungnya.
"Kalau anda merasa saya adalah seorang penipu. Kenapa tidak lapor polisi!?".
"Kalau anda merasa saya ini menipu. Ayo bawa masalah ini ke pengadilan!.".
Seperti itulah Unar Saki menantang orang-orang yang datang kepadanya.
"Pada zaman khulafaur rasyidin, keadaan rakyat cukup baik. Baik kaum Muslim maupun kafir dzimmi, menerima kepemimpinan yang adil. Ali bin Abi Thalib merupakan pemimpin yang terakhir pada masa ini.
Pada era Khalifah Ali, pusat kekuasaan Islam dipindahkan dari Madinah ke Kufah (Irak). Adalah suatu kebiasaan Ali, yakni gemar mengetuk pintu rumah-rumah yang dijumpainya dalam perjalanan menuju masjid menjelang subuh.
Suatu kali, Ali melewati kawasan permukiman Yahudi. Kaum ini termasuk kafir dzimmi sehingga memeroleh perlindungan negara.
Tiba-tiba, Ali melihat ada sebuah baju perang dijemur di depan salah satu rumah. Keponakan Rasulullah Muhammad SAW itu pun menghampirinya.
Dia memerhatikan baik-baik keadaan baju perang itu. Sesudah itu, Ali merasa yakin bahwa benda itu miliknya.
Sesudah memimpin shalat subuh berjamaah, Khalifah Ali kembali lagi ke rumah itu. Dia lantas mengetuk pintu. Keluarlah si pemilik rumah.
"Wahai Yahudi, bagaimana keadaanmu?" tanya Ali.
"Baik-baik saja, wahai khalifah," jawab si Yahudi ini.
Ali kemudian menunjuk pada baju perang yang sedang dijemur. "Aku melihat ada baju perang di depan rumahmu. Apakah itu kepunyaanmu?" selidik Ali.
"Baju itu dijemur di rumahku. Tentu saja baju perang itu punyaku," terang pria Yahudi itu.
"Tapi aku yakin baju ini milikku," tegas Ali lagi. Sahabat Nabi SAW itu lantas menunjukkan beberapa ciri yang memang terdapat pada pakaian tersebut.
Orang Yahudi itu toh tetap bertahan pada argumentasinya. Ali kemudian mengajaknya ke pengadilan saat itu juga.
Sampailah keduanya di gedung pengadilan. Ali masuk, diikuti si Yahudi. Dengan mata kepalanya sendiri, orang kafir dzimmi itu melihat tidak ada perlakuan khusus terhadap sang khalifah.
Begitu Ali mengucapkan salam, seisi ruangan menjawabnya. Sesudah itu, tidak terjadi apa-apa.
"Wahai khalifah, silakan mengantre," kata hakim.
Ali pun menuju ke barisan antrean dari yang paling belakang. Beberapa lama kemudian, dia pun bisa mendaftarkan perkaranya.
Tibalah giliran kasus Ali dan si Yahudi tadi digelar. Di hadapan mereka, sang hakim bertanya, apa pokok persoalannya.
"Saat aku sedang berjalan di depan rumah dia, aku mendapati sebuah baju perang sedang dijemur. Setelah mengamati baik-baik, aku yakin betul baju tersebut adalah kepunyaanku," terang Ali.
"Bagaimana menurut engkau?" tanya sang hakim kepada si Yahudi.
"Baju itu dijemur di rumahku, wahai Hakim. Aku mengatakan, baju perang itu adalah milikku," tegasnya.
"Apakah engkau bisa menghadirkan saksi-saksi yang dapat menunjukkan, itulah baju perang engkau?" tanya Hakim kepada Khalifah Ali.
"Yang tahu bahwa baju itu kepunyaanku adalah anak-anakku, Hasan dan Husain, serta istriku," ujar Ali.
"Wahai Ali, bukankah engkau tahu bahwa menurut hukum agama ini, kesaksian anak atas orang tuanya--atau orang tua atas anaknya--tidak dapat diterima? Yang satu akan cenderung membenarkan yang lainnya. Kini yang tersisa dari para saksi engkau adalah satu orang perempuan, yakni istri engkau. Sementara, hukum agama ini mengharuskan, jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh (diganti menjadi) satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Adakah mereka itu?" tanya Hakim.
Ali sejenak berpikir dan kemudian berkata, "Tidak ada."
Dengan demikian, sang hakim mengetok palu. Dia memutuskan, baju perang itu adalah milik si Yahudi. Sidang pun selesai.
Kebetulan, sidang tersebut merupakan yang terakhir di jadwal hari itu. Maka sang hakim pun turun dari kursi kebesarannya, untuk kemudian menyalami Khalifah Ali.
Berjalanlah keduanya meninggalkan ruang sidang, sementara si Yahudi tadi berdiri kebingungan. Dia bingung, sebab belum pernah dalam hidupnya mengalami sistem dan akhlak kepemimpinan yang adil seperti itu.
Yahudi tadi pun berlari menyusul Khalifah Ali dan sang hakim. "Wahai, Tuan-tuan, tunggu sebentar!"
"Ada apa?" tanya Ali keheranan.
"Apakah sudah selesai pengadilan ini?" tanya dia.
"Tentu saja. Baju itu milikmu, meski aku yakin betul baju itu milikku. Tetapi hukum sudah memutuskan, ya sudah," jelas Ali yang disaksikan sang hakim.
"Sungguh, wahai Khalifah. Baju perang ini adalah milikmu. Aku mencurinya dua hari yang lalu," terangnya kemudian.
"Mengapa tidak engkau ungkapkan itu di pengadilan?" tanya sang hakim.
Orang Yahudi itu lantas menuturkan, sejak awal dia terus memerhatikan. Hingga akhirnya dia menyadari, betapa mengagumkannya sistem hukum Islam dan kepemimpinan Ali.
Sebagai orang yang lama tinggal di Irak, dia dan kaumnya terbiasa dengan perilaku yang sewenang-wenang dari penguasa dan negara.
Dia menuturkan, seandainya berperkara dengan raja dari kalangan terdahulu--sebelum Islam masuk ke Irak--maka bisa saja baju tadi atau apa pun yang dimilikinya direbut secara paksa oleh penguasa. Sebab, rakyat sudah dibuat tak berkutik, apalagi masyarakat yang dari kalangan tidak seiman dengan raja.
Namun, Ali ternyata tidak begitu. Sebagai khalifah, Ali justru mengajaknya ke pengadilan. Sesampainya di gedung pengadilan, dia menyaksikan sendiri Ali diperlakukan biasa saja, padahal jelas-jelas Ali seorang khalifah. Tetap saja Ali mengantre sebagaimana masyarakat umumnya.
Itu tidak mungkin terjadi pada era sebelum kedatangan Islam. Si Yahudi mengungkapkan, para hakim dan aparat saat itu mesti taat sebagai bawahan raja. Mereka pasti mengistimewakan raja di atas orang-orang biasa.
Si Yahudi itu lebih kaget lagi ketika tadi Hakim menolak kesaksian Ali. Dia baru tahu, dalam hukum Islam, kesaksian diatur sedemikian perinci untuk memastikan keadilan ditegakkan.
Tidak bisa seorang anak menjadi saksi atas orang tuanya. Karena itu, Ali tidak mampu menghadirkan saksi-saksi lain yang diminta, sehingga keterangan sang khalifah pun tertolak.
"Maka saksikanlah oleh Tuan-tuan sekalian, asyhaduan laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad rasuulullah," kata pria itu memutuskan untuk masuk Islam. Khalifah Ali dan sang hakim pun bertakbir."
Jeda sejenak, sang pengacara para penggugat, seorang lelaki setengah baya berpenampilan rapi sekalipun nampak sederhana, dengan setelan kemeja abu-abu lengan panjang lengkap dengan dasi berwarna krem tua mengambil isyarat hendak mengakhiri kisah tersebut dengan inti penutup.
Yang ingin saya sampaikan dari kisah tersebut. Ketahuilah bahwa dalam kasus ini, bukti yang kurang kuat dan saksi-saksi yang ditolak ini kemudian menjadi prinsip dalam pengadilan hingga hari ini.
Jadi sekalipun 1000% anda benar tapi tidak mempunyai bukti dan saksi yang kuat, maka bisa dipastikan anda akan dikalahkan.
Dalam perjalanannya, kasus Uus(singkatan dari Ustad Unar Saki) ini sudah beberapa kali ditolak oleh penyidik bahkan dipengadilan karena oleh para penggugat tidak memiliki bukti yang kuat dan juga tidak memiliki saksi yang kuat. Sehingga oleh pengadilan itu ditolak.
Itulah karenanya. Unar Suki selalu menantang
"Kalau anda merasa saya adalah seorang penipu. Kenapa tidak lapor polisi!?".
"Kalau anda merasa saya ini menipu. Ayo bawa masalah ini ke pengadilan!.".
Jadi siapapun yang merasa dirugikan oleh dia akan kalah dipengadilan, karena punya kelemahan dalam barang bukti dan saksi.
Dan sejauh hasil pengamatan saya, semua bisnis Unar Saki dari A sampai Z. Dia dari awal sepertinya memang sudah mempersiapkan itu.
Sehingga suatu saat nanti ketika ini masuk ke ranah hukum, maka dia akan tetap menang, nama dia akan tetap bersih. Karena semua penggungatnya mempunyai kelemahan tersebut. Hanya selembar kertas piagam yang dicetak tertulis seakan itu ijab qabul, itu tidak terlihat sebagai bukti yang kuat, karena tidak dilengkapi perangkat yang seharusnya. Materainya, tanda tangan manual nya dan banyak lagi. Apalagi sebagian besar hanya dengan dasar kepercayaan saja. Bahwa dia adalah ustad, orang alim, jadi tak mungkin berbohong, menipu, apalagi berkhianat.
Perlu diketahui orang tidak akan berani melakukan gugatan sekiranya mereka tidak merasa benar telah dirugikan.
Ini bukan hanya masalah hitam putih hukum, namun juga masalah hati.
Saya katakan sekali lagi bagi Ustad Unar Saki. Anda bertauziah memberikan nasehat-nasehat seputar agama, keilmuan dan sebagainya dan sebagainya. Namun dalam proses hukum ini hati andalah yang akan diadili oleh para penggungat anda.
*****
Hati itu ibarat sebuah cermin, sedangkan dosa(uang atau barang haram) ibarat debu yang menempel. Jika kita sering melakukan dosa, debu itu akan makin menumpuk dan menjadi karat yang akan menutupi cahaya. Sehingga hati tidak lagi bisa membedakan baik dan buruk, halal dan haram. Itulah sebabnya kita sering melihat pendosa yang tidak mau bertobat sekalipun telah ditunjukkan kesalahannya, justru malah berbuat sebaliknya. Berusaha menutupi kesalahannya itu dengan terus menambah dosa. Setanpun bersorak-sorai mendukung kezalimannya.
Naudzubullahi min dzaalik. Semoga Allah melindungi kita dari hal-hal tersebut diatas.