Hari ini aku pergi ke Samsat untuk mengurus STNK adikku yang hilang. Sesampainya di bagian pengecekan rangka. Ada seorang bapak-bapak tua berkulit coklat legam barusan selesai diperiksa motornya bertanya berapa biayanya kepada petugas cek. Si petugas menjawab seikhlasnya. Aku melihat bapak-bapak tua tersebut memberikan uang yang terlihat seperti pecahan Rp20rb karena berwarna hijau. Tidak mungkinkan beliau ngasih cuma Rp2000. Entar dikira bayar tukang parkir.
Aku alihkan pandanganku ke Si petugas yang memakai baju seragam dengan tulisan di punggung "Tidak di pungut biaya" yang tulisannya sedikit tertutupi dan tersamarkan berkat tas yang diselempangkannya, menerima uang tersebut. Kenapa tidak sekalian pakai tas punggung?. Tulisan tersebut pasti bakalan sepenuhnya tertutupi. Setelah giliran rangka sepeda motorku selesai dicek. Tak lupa saya mengucapkan terimakasih dan langsung melengos pergi ke tempat berikutnya. Hei.. seikhlasnya bukan?. Gaji dan tunjangan bulanan pegawai pemerintah seperti dirinya itu jauh lebih besar daripada penghasilan saya yang seorang Freelance ini. Justru tidak pantas rasanya bila saya yang memberikan sesuatu ke dia. Tuman(jadi kebiasaan).
Sampai akhirnya tiba di loket pengecekan rangka, karena STNK masih atas nama ibuku sedangkan yang mengurus ke sana adalah diriku. Oleh petugas loket aku diminta surat kuasanya. Eh.. walaupun saya mengatakan bahwa saya anaknya dan saya juga membawa serta KTP ibu. Saya bahkan membawa KK(Kartu keluarga) bersama saya.
Dia mengatakan suratnya bisa dibeli di Koperasi. Segera aku ke Koperasi dan membeli selembar kertas dengan format "Surat kuasa" yang sepertinya hasil fotocopy-an dengan materai Rp6000 yang sudah tertempel. Aku cukup membayar Rp10rb. Yah Tidak jadi masalah sih buatku, masih wajarlah untung Rp3900 sebagai penyedia jasa daripada aku keluar kesana kemari. Oleh mbak penjaga Koperasi, dia memberikan instruksi kepadaku bahwa lembaran fotocopy-an dengan materai Rp6000 yang barusan aku beli itu jangan diisi apa-apa. Langsung saja diberikan kepada petugas loket. Aku menyerahkan lembaran "surat kuasa" kosong itu kepada penjaga loket sebelumnya. Yah aku sih tidak keberatan. Toh daripada aku repot-repot kembali kerumah dan meminta tanda tangan ibuku. Lagipula kalaupun harus diisi, dibagian tanda tangan Ibuku tetap saja aku yang corat-coret karena keadaan ibu sekarang masih dalam keadaan sakit yang tidak memungkinkannya untuk memegang pulpen. Namun kalau memberikan lembar kosong surat kuasa bisa diproses, lalu apa gunanya persyaratan tersebut. Hanya untuk formalitas?. Tidak bisakah dihilangkan?. Bukannya di Spanduk ada tertulis penyederhanaan proses dan persyaratan?.
Ke loket berikutnya. Karena diriku sebagai pengurus STNK adalah bukan pemilik. Lagi-lagi aku dimintai "surat kuasa" oleh petugas. What!.
Aku sudah menjelaskan bahwa di tempat sebelumnya sudah dimintai surat kuasa. Makanya bisa kemari, ke tahap selanjutnya. Masa dimintai lagi?.
"Wah itu urusannya sendiri-sendiri mas. Itu bagiannya sendiri-sendiri." ucap petugas yang diamini rekan disebelahnya. Jadi kira-kira aku masih membutuhkan berapa surat kuasa lagi nih?. Lumayan juga ternyata hasil jualan surat kuasa kosongan. Bukan Rp3900 untungnya, melainkan full Rp10rb. Karena surat kuasa hasil fotocopy bermaterai Rp6000 itu pasti kembali lagi ke Koperasi dan bisa dijual kembali.
Oleh petugas tersebut dicek harusnya aku menyertakan formulir pendaftaran. Pasti karena aku tergesa-gesa sehingga tidak ingat dan langsung ke bagian cek rangka. Aku ke loket pendaftaran untuk mengambil formulir, yang kalau dulunya sih namanya "membeli formulir". Disana mas penjaga memberitahuku bahwa harusnya aku mengurus ke Samsat I yang lokasinya berada di dekat tempat tinggalku kini. Bukan Samsat III lokasi tempat tinggal lama keluargaku. Mungkin karena sebelumnya sudah diurus dan alamat di KTP juga sudah yang baru. Jadi sebenarnya kata "online" dibelakang kata Samsat belum bisa digunakan secara keseluruhan.
Sayapun manual pergi ke Samsat I. Tapi sebelumnya saya mampir ke Koperasi untuk kembali membeli "surat kuasa" buat jaga-jaga. Dan mbak penjaga koperasi lagi-lagi memberikan instruksi yang sama. Mengingatkan saya untuk mengosongkannya dan tinggal memberikannya ke loket. Enak aja, lha wong sudah saya beli ya terserah sayalah. Berikutnya saat menyerahkan jelas bakalan sudah saya corat-coret, saya isilah.
Saya tahu sebenarnya pembuat kebijakan bermaksud baik. Salah satunya agar tidak menggunakan jasa calo sehingga dengan memutus mata rantai tersebut biaya yang dikeluarkan bisa lebih terjangkau. Apalagi dengan digratiskannya formulir yang sebelumnya harus membayar untuk mendapatkannya. Tentunya demi meringankan beban masyarakat dalam membayar pajak. Tapi apa gunanya bila selalu ada penyalahgunaan celah yang malah menambah biaya. Bukan masalah nominalnya yang mungkin tidaklah seberapa (bagi kalangan atas, dan bila hanya dari satu orang). Dikalikan saja ada berapa kejadian seharinya, dikali 26 hari saja dalam sebulan, dikalikan hingga satu tahun. Lumayan.
Terus terang sebelumnya aku kagum dengan kecepatan Samsat III ini mengurus perpanjangan. Waktu itu baru saja ada baleho/spanduk terpampang yang bertuliskan tentang anti korupsi dan kemudahan, peringkasan persyaratan. Menunjukkan perbaikan birokrasi. Kurang dari satu jam proses yang dibutuhkan waktu itu(waktu saya masih jadi pegawai swasta). Sehingga saya tidak perlu minta izin, bisa saya kerjakan sembari sekalian mengantar barang. Walaupun sekarang terjadi perbedaan yang cukup besar. Beberapa waktu lalu di Samsat I waktu saya mengurus perpanjangan STNK tahunan adik, saya hanya menunggu 5 menit di satu loket yang sama. Saya terkejut.
Tapi sekarang kok jadi teringat kembali kalimat lama itu. "Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?". Watak birokrasi kembali menunjukkan wajah aslinya.
Di Samsat I aku langsung melanjutkan proses.
Jaman dulu aku punya kenangan buruk di Samsat ini. Sehingga imageku terhadap tempat ini jelek. Dulu waktu masih menjadi pengangguran aku pernah mengurus perpanjangan STNK di tempat ini. Ternyata salah satu persyaratannya adalah harus membawa BPKB asli. Fotocopy tidak bisa digunakan. Dan waktu itu aku tidak bisa membawa serta BKKP asli kendaraan tersebut karena saat itu masih digadaikan di Pegadaian. Saya katakan seadanya kepada petugas yang jaga. Petugas hanya menjawab hal yang sama, harus membawa BPKB asli. Sedangkan tanggal jatuh tempo pajak sudah dekat. Dan kami juga tidak bisa menebus BPKB tersebut dalam waktu dekat. Akhirnya petugas yang sama mengatakan hal "itu". Saya disuruh minta tolong kepada bapak yang ada di belakang, di ruang berkas untuk meluluskan. Cukup membayar Rp20rb saja. Bapak yang dibelakangpun juga sangat senang mendapatkan uang Rp20rb dari saya. Yang saya anggap menjadi bagian dari biaya perpanjangan dari uang yang sudah disiapkan ibu untuk membayarnya. Yang kalau pada jaman itu cukup besar nilainya. Saya masih ingat senyuman lebarnya. Sekarang pasti beliau sudah menikmati masa pensiunnya dengan tenang dan nyaman atau bahkan sudah meninggal dunia dan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di dunia.
Dan saya yang waktu itu masih lugu dan polos tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada beliau, jelas saya senang karena "dibantu" sehingga bisa membayar pajak tepat waktu.
Kalau ingat hal itu, kok jadi kesal ya?.
Si petugas didepan tidak mengatakan hal yang sebenarnya yang sudah menjadi tugas dia. Bahwa bila BPKB kita sedang "disekolahkan", sebenarnya kita bisa meminta kepada pihak dealer/leasing yang dalam hal ini adalah pihak Pegadaian untuk membuatkan surat keterangan. Namun dia sengaja menyembunyikan fakta tersebut. Benar-benar busuk ya?.
Masih di tempat dan waktu yang sama. Saya melihat ada seseorang yang mengadukan keluh kesahnya kepada petugas, dua orang berseragam polisi yang saat itu berjaga berdampingan di salah satu loket. Bapak itu mengeluh kenapa dirinya dipersulit (entah apanya yang kurang). Dia sampai bilang padahal bila sampai STNK dia habis, maka dialah yang mendapat masalah, bisa ditilang. Kedua polisi diam, tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Setelah bapak-bapak tersebut melengos pergi. Seorang diantara mereka mengatakan kepada rekan disebelahnya tentang urusan masing-masing. Bahwa mereka tidak bisa "mengganggu/menutup" rezeki teman-teman mereka yang lain. Saya waktu itu tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Sampai akhirnya jaman berkembang, teknologi informasi bisa diakses dengan mudah. Dan saya akhirnya mengerti apa yang mereka berdua maksud. Bahwa sebenarnya STNK habis itu bukanlah urusan polisi, melainkan dinas perhubungan. Karena denda keterlambatan tetap diakumulasi dan sama saja telat satu hari dengan telat setahun. Sekali lagi. Di tempat yang sama, mereka tidak menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat. Hal ini pernah dibahas di sebuah forum dunia maya terbesar di Indonesia. Link sumber berasal langsung dari web resmi Kementerian Perhubungan bahkan humas Polri saat itu. Hal ini menyelamatkan banyak orang karena kejelasan berbagai informasi didalamnya. Namun entah kenapa sekarang link sumber dalam Thread tersebut menghilang/tidak bisa diakses. Dan sekarang hal tersebut kembali menjadi polemik. Itu masuk ranah polisi atau bukan. Hal yang waktu itu sudah jelas kembali menjadi kabur.
Akhirnya aku memasuki tahap final dimana aku menumpuk semua berkas dan mendapatkan tanda terima untuk mengambil STNK cadangan. Mas petugas melihat bahwa saya sebagai pengurus bukanlah pemilik STNK. Saya bersiap mendengar mas tersebut mengatakan butuh "surat kuasa". Dia meminta untuk melihat KTP saya, yang akhirnya dicocokkan dengan KTP ibu yang saya bawa. Alamat kami sama. Dia mendapatkan keterangan dari saya bahwa saya anak dari pemilik STNK. Saya masih bersiap mendengar mas tersebut mengatakan butuh "surat kuasa".
Dia mengerutkan dahinya. Lalu meminta saya memfotocopy KTP saya untuk dilampirkan. Fotocopy yang hanya seharga Rp500.
Tentu saya terkejut dengan jawabannya. Bukannya memberatkan, dia justru mempermudah urusan saya.
Disini kita bisa menyimpulkan bahwa gaji yang besar sekalipun memang tidak bisa menjadi barometer untuk tidak korupsi. Dan itu memang sudah terbukti, sejak lama malahan. Semua berasal dari mental diri sendiri. Kesadaran akan posisi dan amanat yang diemban.
Barangsiapa yang mempersulit orang lain, maka Allah akan mempersulitnya pada har kiamat (HR Bukhari No. 7152).
Puisi kelam
Diposting oleh
tutorial
15.08
Reruntuhan hati
Aku adalah reruntuhan..
Yang terhantam, terbakar dan terendam oleh pergulatan dunia.
Aku adalah reruntuhan..
Teronggok berkarat tanpa merasakan apapun
Semua orang bilang waktu akan menyembuhkanku
Namun aku tidak ingin disembuhkan oleh waktu.
Sejauh apapun aku memandang.. hanyalah gelap
Seringkali orang lain tak pernah peduli aku jatuh ataupun terluka
Mereka hanya butuh suatu cerita
Sebagai penghibur mereka
Aku bukanlah seorang professional
Maka tak perlulah aku nyanyikan lukaku
Aku hanya perlu menertawakan lukaku
Tertawa sampai tak bisa tertawa lagi
Bulir bening mengalir diam tanpa suara
Berharap pelangi lahir darinya
Tersenyum dari sudut yang kelam
Aku adalah reruntuhan..
Yang terhantam, terbakar dan terendam oleh pergulatan dunia.
Aku adalah reruntuhan..
Teronggok berkarat tanpa merasakan apapun
Semua orang bilang waktu akan menyembuhkanku
Namun aku tidak ingin disembuhkan oleh waktu.
Sejauh apapun aku memandang.. hanyalah gelap
Seringkali orang lain tak pernah peduli aku jatuh ataupun terluka
Mereka hanya butuh suatu cerita
Sebagai penghibur mereka
Aku bukanlah seorang professional
Maka tak perlulah aku nyanyikan lukaku
Aku hanya perlu menertawakan lukaku
Tertawa sampai tak bisa tertawa lagi
Bulir bening mengalir diam tanpa suara
Berharap pelangi lahir darinya
Tersenyum dari sudut yang kelam
Langganan:
Postingan (Atom)