Di siang yang panas. Tubuh tambun itu berlari
tergopoh-gopoh, sepertinya ia berlari sekuat tenaga. Sambil membuka satu
persatu kancing seragam coklat yang menempel di badannya. Lalu membuangnya di
pinggir jalan. Singlet putih bermandikan keringat menempel ketat seiring goyangan
badan disertai deru nafas yang tak teratur.
Ia memasuki kawasan pasar tradisional, langsung berbelok menuju daerah pasar pakaian. Dengan terburu-buru ia membeli Kopiah putih dan Baju Koko serta sarung berwarna hijau. Meninggalkan celana panjang yang dikenakan sebelumnya begitu saja. Dan langsung masuk ke Mushola pasar. Tubuhnya menggigil ketakutan.Berdiam diri disana seharian sampai hari menjelang petang.
Ia memasuki kawasan pasar tradisional, langsung berbelok menuju daerah pasar pakaian. Dengan terburu-buru ia membeli Kopiah putih dan Baju Koko serta sarung berwarna hijau. Meninggalkan celana panjang yang dikenakan sebelumnya begitu saja. Dan langsung masuk ke Mushola pasar. Tubuhnya menggigil ketakutan.Berdiam diri disana seharian sampai hari menjelang petang.
Padahal pagi hari ini Sudjono, nama lelaki tersebut baru
saja menerima uang Lima juta rupiah dari Wong Lien pemilik warung Bakso Gede,
warung bakso(makanan sejuta umat) yang paling laris di kota ini. “Tolong
dibantu” ucapnya sambil menyerahkan bungkusan amplop coklat tebal. Jaminan agar
tidak digusur patroli tramtib. Om Lien begitu orang memanggilnya. Tempat
usahanya memang menempati trotoar jalan dan sebagian taman kota yang berada di
pusat kota. Tempat yang seharusnya dilarang untuk ditempati, termasuk berjualan.
Warung itu buka dari jam 8 pagi sampai jam 10 malam. Banyak orang-orang penting
dari pengusaha sampai pejabat menjadi pelanggan tetap Bakso Gede, dan sepertinya
mereka tidak mempersoalkan ataupun mempertanyakan letak strategis warung Om
Lien berada.
Siangnya terjadi sebuah tragedi berdarah. Paguyuban pedagang
kaki lima taman mengamuk. Karena mereka diperlakukan diskriminatif oleh para aparat
pemerintah. Ketika patroli razia datang, semua pedagang martabak, bakso,
gorengan, mie ayam, sup buah, pedagang kacamata bahkan asongan sampai ibu-ibu penjual
nasi gendong kena bentak diuber-uber dan beberapa lainnya yang tidak berhasil
melarikan diri kena angkut. Sementara warung Bakso Gede seakan-akan dilupakan,
hanya dilewati begitu saja. Begitu juga dengan beberapa kafe berkelas yang juga
menempati daerah larangan. Tak satupun yang diganggu gugat. Mungkin pemiliknya para pejabat yang mungkin
juga mendapat perlindungan keamanan dari aparat. Entah aparat yang mana, sebut saja oknum.
Keesokan harinya Djono tidak masuk kerja, kabarnya kejadian
kemarin menelan korban. Banyak aparat yang luka berat, koma bahkan terbunuh di
tempat. Ia mengeluarkan mobil barunya ke luar garasi. Sambil bernyanyi-nyanyi
kecil tangannya mulai bergerak menyalakan selang dan mengelap menggunakan
spoon. Sesekali mencelupkannya dengan air sabun lalu memoleskannya kembali. Tak
lama kemudian terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumahnya.
Dilanjutkan suara berderit geseran roda pagar. Andi masuk menuntun sepeda motor
tuanya. Djono melengok dan setelah tahu siapa yang datang, mukanya berubah
cemberut.
Setelah menyandarkan motornya Andi bergerak ke posisi
Sudjono dan salim; mencium tangan kanannya. “Ada apa?” ujar Djono dengan raut
muka yang sepertinya menduga maksud kedatangannya.
“Mau minta tiga ratus ribu Pak Lek.” Ucapnya sambil
tersenyum lebar.
“Kemarin-kan sudah?”
“Iya Pak Lek, Tapi kemarin itu buat mbayar buku paket adik.
Ucapnya masih bersemangat.
“Yang ini buat melunasi semesteran Pak Lek. Andi tidak bisa
ikut ujian semesteran kalau uang kuliah semesterannya belum lunas...
Suasana hening, sejenak Djono menghentikan aktivitasnya.
“Sebenarnya kurangnya Cuma dua ratus lima puluh ribu Pak
Lek. Kemarin sebenarnya ibu sudah ada, tapi karena beras dirumah habis, jadi
uangnya buat beli beras Rp230.000, itu harga beras yang paling murah di toko
Pak Lek. Kata yang jual saat ini sedang musim paceklik, makanya harga berasnya
naik”.
Mau minta Pak Lek Rp300.000 . jadi ada sisa Rp70.000 itu
bisa buat beli bensin Andi Pak Lek. Andi tahu kok keadaan keluarga Andi. Itu
nggak buat macem-macem, Cuma buat bensin pulang pergi kuliah saja kok Pak Lek.
Ucap pemuda itu tersenyum jujur lalu sedikit tertunduk.
“Tiga ratus ribu itu tidak sedikit lho. Ibu kamu juga pasti
tahu berapa gaji golongan bawah seperti aku. Aku bisa membeli mobil ini bukan
dari gaji, tapi dari job orderan proyek sana sini.
Saat ini tidak ada uang. Sudah tanggal tua. Suruh ibumu
berhutang dulu saja.”
“Nggak ada lagi orang yang mau meminjami Ibu uang Pak
Lek.Hutang ibu sudah terlalu banyak.” Ucapan Andi terdengar seperti menahan
sedih, raut wajahnyapun menjadi sayu.
“Bagaimana dengan pensiunan bapakmu?”
“Berapa sih uang pensiunan Bapak Pak Lek. Mana cukup untuk
kebutuhan kami berenam”.
“Kamu sudah kerumah Pak De Drajat?
“Sebelum kesini, saya ke rumah Pak De. Tapi rumahnya
sepi.Saya totok-totok tidak ada yang keluar. Mungkin sedang pergi”
Sudjono kembali mengusap-usap mobil barunya. Pikirannya
bergelanyut.
‘Mas Drajat memang terlalu. Padahal tempat kerjanya di
pengadilan itu basah beda sama aku. Mbak Komariah, Istrinya juga kerja ,
sama-sama pegawai negri. Anak pertamanya sudah kerja di BUMN dan sekarang di
tempatkan di Bali. Anak keduanya barusan tahun kemarin jadi Dokter. Dan anak
terakhirnya saat ini skripsi semester akhir. Memangnya harta itu dibawa mati?’
‘Broto juga gitu. Suka berlagak jadi orang susah. Padahal
pedagang pakaian kayak dia saja bisa menyewa los yang sebulannya Rp1.200.000,- . Nggak
mungkin bisa sewa los segitu kalau untungnya nggak banyak. Wanti-wanti mau
nyekolahin anak perempuannya yang baru saja lulus ini ke Akademi perawat. Yang
biaya pendidikannya mencapai puluhan juta rupiah. Apalagi dia masuk yang swasta...’
'Punya Mas sama adik kelakuannya sama. Masa Cuma aku yang
bantu?Padahal aku juga punya keluarga. Memang benar Rini saat ini masih kelas dua
SMU dan Roni masih kelas dua SMP. Kebangetan'.
Terdengar suara motor meninggalkan halaman rumahnya.
Djono terkesiap. Ia kesal sekaligus menyesal telah
mengecewakan anak pertama kakak perempuannya. Ia menyandang sebutan Pal Lek yang artinya Bapak Cilik, sedangkan Pak De; Bapak Gede. Selaku Pak Lek, memang sudah
seharusnya ia menjadi pengganti bapak mereka yang telah tiada.
Ia teringat masa kecil mereka yang dirundung kemiskinan.
Hidup susah, melarat. Hingga akhirnya mereka bertekad untuk keluar dari nasib
itu. Mereka berjanji agar setelah besar bisa jadi orang. Kehidupan seperti
itulah yang membuat mereka menjadi kuat dalam arti yang sebenarnya. Ia
teringat Kakak perempuannya yang
mencucikan pakaian abang dan kedua adiknya saat mereka keluar bekerja sambilan
. Saat itu Djono kecil bekerja membantu juru parkir di depan swalayan agar
mendapat upah beberapa keping logam. Mbakyu yang selalu mengayomi kedua adiknya
menggantikan ayah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan sering
sakit-sakitan.
Sejenak terlintas dalam pikiran Djono, sepertinya ada
baiknya Andi merasa prihatin. Agar bisa menjadi lelaki yang lebih kuat.
Agar tidak bergantung kepada yang lain. Biar dia mencari sendiri
jalan keluarnya.
Siangnya sepulang sekolah. Rini putri sulungnya berkata
dengan raut gembira. “Bapak nanti malam jadikan kita sekeluarga jalan-jalan ke
mall? Ingat janji bapak soal sepatu dan tas baru kemarin.
“Bapak hari ini sedang tidak enak badan. Besok Minggu pagi
saja kita berangkatnya”.
Putri tertuanya langsung manyun.
Senja itu rumah sepi . Istri Djono beserta putri sulungnya
dan putra bungsunya tetap pergi ke Mal, meskipun tanpa Djono. Djono memilih
tidur sambil menonton televisi.
Sebuah taksi berhenti di pagar depan depan rumah. Tiga orang
keluar dari sana.
Sudjono keluar membukakan pintu.
“Wah Pak tadi ada kejadian seru lho. Bapak rugi tadi tidak
ikut”. Ujar Roni putra bungsunya.
“Itu bukan seru namanya. Kasihan tahu. Orang digebukin
sampai sekarat malah dibilang seru!” timpa Sang putri sulung.
“Ada apa memangnya?” Djono penasaran.
“Tadi persis di depan Mall. Ada copet yang tertangkap dan digebukin
massa sampai babak belur. Kayaknya bakal mati deh. Ujar Istri Djono sambil meletakkan
tas belanjaan di sisi lantai. Kata orang-orang dia menjambret tas seorang ibu
yang mau naik mobil. Tapi si ibu cepat-cepat berteriak sambil menunjuk-nunjuk copet itu. Orang-orang pada tanggap, lalu gitu deh. Habis dia digebukin. Salah
sendiri milih kok jadi penjahat.
Terakhir lihat sih ada polisi yang datang dan mengangkatnya
ke mobil patroli.
“Kasihan. Rini jadi teringat Mas Andi”.
“Kok kamu sebut-sebut Andi?”
“Iya Pak, perawakan sama umurnya mrip Mas Andi. Pasti
kemiskinan yang memaksanya menjadi penjambret.
“Belum tentu dia miskin. Bisa jadi dia dari sananya memang
punya kelakuan penjahat”.Ibu Rini menimpali sambil membuka tasnya mengambil
cincin berlian yang barusan ia beli.
Makan malam keluarga mereka masih meneruskan pembicaraan seputar
kejadian Copet di Mall.
“Hukum memang tidak adil ya pak”. Rini mengawali pembicaraan
”Masa pencopet, penjambret, pencuri yang tertangkap bisa
mengalami hal yang mengerikan seperti itu. Sedangkan koruptor yang mencuri uang
rakyat milyaran rupiah aman-aman saja. Hukuman masa penjaranya sama dengan
pencuri biasa. Dua sampai empat tahun
penjara, itupun bisa dikurangi remisi”
“Makanya jadi orang yang pinter. Itulah bedanya orang pinter
dengan orang bodoh. Hukumannya berbeda. Kalian yang rajin belajarnya biar bisa
jadi orang pinter”. Ibu meneruskan.
"Berapa sih nilai uang yang dicurinya?Apa sebanding dengan gebukan yang diterimanya dari massa?" Ujar Rini.
"Berapa sih nilai uang yang dicurinya?Apa sebanding dengan gebukan yang diterimanya dari massa?" Ujar Rini.
“Kalau sampai mereka digebuki itu untuk memberi shock
terapi. Biar mereka kapok, biar yang lain tahu agar tidak berbuat hal serupa”.
“Masyarakat sekarang beringas. Di Kota besar lainnya malah
ada yang dibakar hidup-hidup.”Ibu meneruskan.
Djono tersenyum kecut, teringat kejadian kemarin ia lolos dari maut. Geli juga tubuh gemuk berlemak ini bisa juga dipaksakan lari secepat itu.
Telepon berdering. Istri Djono segera berdiri mengangkatnya.
Wajahnya berubah mengerut saat menjawabnya”.
“Dari mbakyumu, dia bertanya apa Andi ada disini. Katanya
tadi pagi dia pamit mau dolan kerumah Pak De, Pak Leknya.
Kujawab dia tidak
kesini”.
Sudjono diam.
Suyati melihat mobil patroli polisi melintas dan berbelok ke
gang rumahnya saat ia keluar dari wartel. Jantungnya berdegub kencang saat mobil itu
berhenti di depan rumahnya. Ada apa gerangan.
“Ada apa pak? Suyati menyapa seorang polisi yang berdiri di
depan mobil patroli.
“Ibu orangtuanya Andi?”
“Ada apa dengan anak saya pak?” perasaannya menjadi
ketar-ketir tidak menentu.
“Ibu ikut kami sekarang ke rumah sakit melihat Andi”.
Suyati hampir roboh. Polisi itu memapahnya masuk ke dalam
mobil patroli. Menuju rumah sakit pusat, ke ruang gawat darurat.
Di lorong rumah sakit, keadaan sunyi. Suara sepatu Polisi
yang mengantar serta Suyati berdetuk aneh mirip detak jantung manusia yang melemah.
“Klek... Klek... Klek...
Suyati mencoba menguatkan hatinya, teringat keempat anaknya
yang lain sedang menunggu di rumah. Di sana Suyati melihat Andi putra sulungnya
pingsan; terbaring tak sadarkan diri. Berlumuran darah, hidung dan mulutnya ditutupi
masker bantu pernafasan, dan kantong infus berisi darah mengalir masuk melalui
pergelangan tangannya. Ia dalam keadaan koma.
Almarhum suaminya meninggalkan Askes(Asuransi Kesehatan untuk PNS beserta keluarganya). Setidaknya itu bisa
menutup biaya kamar inap dan air infus.
Namun tidak untuk obat-obatan mahal.
Namun tidak untuk obat-obatan mahal.
"Sebaiknya ibu menghubungi kerabat ibu yang lain" Seorang
perawat menyarankannya.
Diliriknya jam dinding menunjukkan pukul dua pagi.
Diangkatnya gagang telepon, dipijitnya angka-angka itu. Lama sekali tidak ada
sahutan dari seberang sana. Ia menghubungi ketiga saudara laki-lakinya.
Berkali-kali dicobanya. Tut.. tut.. tut... hanya bunyi itu yang terdengar.
Suyati hanya bisa menangisi keadaan ini.
Sunyi...
Angin berhembus dingin melewati kamar Unit Gawat Darurat.
Saat itu Andi berangkat, meninggalkan ibunya
yang seorang janda, keempat adik-adiknya, dan bangku kuliah untuk
selama-lamanya.