Erika saat ini sudah bekerja pada Toying sebagai penjaga galeri miliknya yang berada di luar negeri. Itu bukan hal yang buruk sebenarnya. Sayangnya Toying sendiri menganggap bahwa Erika sudah dibelinya.. iya benar, anda tidak salah baca.. dibeli, dengan menjadikannya sebagai penjaga toko/galeri. Erika harus menuruti semua perintahnya(kalau nggak mau dipecat dan dipulangkan ke kampung halamannya, setidaknya ia masih punya daerah asal), bahkan bukan hanya dalam konteks pegawai-pemilik galeri. Tapi se-mua-nya(Sound effect ketawa jahat monyet).
Sungguh ironis. Sementara semua yang ada di galeri dan restoran tersebut adalah kekayaan kebudayaan bangsa Erika. Budaya berasal dari kata Budhayah yang berarti akal budi.
Mungkin bisa lebih spesifik lagi, milik suku bangsa Erika. Dan dirinya hanya menjadi penjaga disana. Galeri, restoran, pertambangan dan banyak bidang usaha lainnya. Sedangkan pemiliknya yang notabene mendapatkan keuntungan terbesar bahkan sama sekali tidak mempunyai darah suku bangsa terkait. Padahal ia cuma pendatang.
Yup, bangsa pribumi yang dikatakannya rendahan, terbelakang, menjijikkan, kotor, dan cuma sekumpulan orang-orang susah(yang menurutnya sebagian besar seperti itu). Tapi saat mengenai apa yang bisa dijadikan cuan, ia seperti menjilat ludahnya sendiri, dengan entengnya mengatakan bahwa diakan juga WNI bahkan lahir di Indonesia. Sungguh tak tahu malu.
Lalu kenapa sikapnya seperti itu?.
Sebentar, saya mau mengkonfirmasi dulu.. bahwa Erika yang diceritakan diatas itu berjenis kelamin laki-laki.
Yah walaupun baik ia maupun kakak perempuannya itu sekarang cuma bonekanya Toying.
Katakanlah dirinya hanya numpang lahir disini, numpang makan disini. Tapi kenapa tidak bersikap layaknya tamu yang sopan pada tuan rumahnya?. Kok malah seperti tamu yang tak tahu adat, menginjak kepala tuan rumah layaknya para penjajah dimasa lalu. Orang-orang seperti Toying inilah yang menyebabkan Stereotipe kalangan tertentu yang walaupun didepan umum nampak terlihat baik-baik saja, namun jauh dilubuk, kesan seperti itu sangat mengakar kuat.
Toying layaknya orang-orang Indo pada zaman Hindia Belanda dulu yang menganggap dirinya mempunyai derajat paling tinggi, tempat dimana para bule eropa umumnya berada. Sedangkan mereka orang Belanda tulen justru menganggap derajat para Indo ini tidak beda, sama saja dengan Inlander. Derajat paling bawah.
Mau bergaul dengan para pribumi terlanjur gengsi, tapi sendirinya tidak diakui oleh para "darah murni" sederajat dengan mereka.
Sebagian besar memang seperti itu. Walaupun tidak sedikit juga dari para Indo yang juga bangga akan darah pribumi mereka. Dan lebih memilih menjadi inlander, darah ibu mereka.
Hal seperti inilah yang dialami oleh Toying. Tentu dirinya tidak akan dianggap sebangsa oleh "mereka", sedangkan andaikan berhasil sebangsapun dirinya hanya menjadi minoritas disana. Bedanya, disini Toying sama sekali tidak mempunyai darah pribumi, jadi bisa dikatakan ia bukanlah peranakan.
Mempunyai istri dari kalangan pribumi tidak menjadikannya bijaksana, menerima keberagaman yang ada. Mau nikah dengan sesamanya, adapun juga pasti kalah saing, ujungnya juga nggak kebagian. Makanya terpaksa ia nggak punya pilihan lain selain nikah sama perempuan pribumi. Matanya juga masih dipakai, lha wong cantik, enak dilihat. Dan istrinya sekeluarga waktu itu menerimanya tanpa memandang fisiknya suku bangsa sebagai penghalang. Tanpa tahu sosok sejati Toying yang sebenarnya.
Gambaran orang-orang yang menjadi asongan, pengemis, dan semua yang hidup dijalanan itulah yang dijadikan stereotipe oleh orang-orang sejenis Toying bahwa pribumi itu menyedihkan. Ia menganggap mereka semua adalah pemalas, jadi pantas hidupnya seperti itu.
Padahal mereka adalah orang-orang yang tidak beruntung. Kita sepakat semua mengakui bahwa tidak ada seorangpun yang ingin hidup seperti itu. Ndelalah saja nasib itu justru menimpa mereka. Walaupun begitu mereka tetap bertahan hidup, tabah menjalaninya.
Tidak cukup sampai disitu. Toying juga menganggap mereka adalah pemalas, sehingga hidupnya susah seperti itu.
Ia hendak membual andai mereka bukan pemalas, dengan bekerja keras pasti bisa lepas dari nasib tersebut.
Padahal hidupnya sendiri dipenuhi oleh privillage . Ia bisa seperti sekarang itukan karena dibayari kuliahnya oleh bapaknya sampai lulus. Karena ada modal dan link, ada kesempatan dan nasib baik. Apalagi ditambah dengan ketidakraguan dalam melanggar semua etika dan norma yang ada demi tercapainya tujuan.
Karena dibayari kuliah sama bapaknya itu juga ia bisa bertemu seorang teman perempuan yang saat ini berakhir menjadi istrinya.
Jangankan membalik keadaan, aku bahkan meragukan Toying bisa menjalani hidup seperti mereka yang dihinanya itu. Paling langsung bunuh diri. Karena ia adalah pemalas yang sebenarnya.
Yang bahkan jijik melihat wajah keriput terbakar sinar matahari, kusam oleh debu jalanan, berwarna sawo matang/gelap para pribumi lanjut usia(ia ngomong sendiri kok). Mungkin ia tak pernah mengenal kakek nenek.
Seperti dirinya tidak akan pernah tua. Sekarang coba ngaca.
Iya tahu, setiap hari ia raup(cuci muka), bukan cuma dioles tapi raup lho ya sama SK ll+Trulum. Buat apa!?. Muka kek gitu doang. Kayak punya wajah macam Andy Lau aja. Kalau wajahnya kayak Andy Lau sih itu bisa disebut investasi, lha ini?. Mukanya juga sama nggak ada perubahan, tetep nggak enak dipandang, bikin mata sepet. Mubazir.
Sementara mengangung-agungkan kalangan mereka yang sering terlihat berada di puncak ekonomi. Yang dianggapnya sebagai derajat seseorang. Sebenarnya itu tidak lepas dari antropologi, cara didikan. Yang satu diajarkan bagaimana fokus menjalani peran masing-masing dalam hidup dengan sebaik-baiknya, sedangkan satunya lagi sebagai pebisnis, pokoknya bagaimana agar bisa lebih kaya dari kamu, kamu dan kalian semua. Nyambut gawe VS Golek duit.
Dewasa ini dimana nilai materi yang lebih diutamakan. Istilah nyambut gawe mulai ditinggalkan, digantikan oleh Golek duit.
Kenapa motor merk Honda paling sering masuk bengkel?.
Ya karena jumlah motor Honda yang paling banyak. Dominan pasar.
Sedangkan orang-orang seperti dirinya yang minoritas kenapa justru menjadi mayoritas yang bersuara demikian?.
Dari sinilah salah satu bibit Angkara berasal dan berkembang.