Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Malam ini kabar duka datang kepadaku melalui salah seorang kerabat. Pamanku baru saja meninggal dunia. Putrinya yang juga serumah dengannya terdeteksi positif covid19. Otomatis kemungkinan besar semua orang yang tinggal serumah juga terpapar virus yang sama. Sebelumnya paman sempat demam, hingga akhirnya jatuh dengan nafas tersegal-segal dan tidak tertolong lagi. Pemakaman dilaksanakan oleh petugas pemerintah tanpa kehadiran keluarga. Tidak ada acara layatan, tidak ada apapun.
Bagi orang-orang diluar sana yang mempertanyakan apakah Covid19 itu nyata, mungkin karena mereka belum menemui kejadian serupa secara langsung di lingkungan sekitar mereka, yang membuat mereka tidak lagi mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang ada.
Tanpa kita sadari, sebenarnya banyak orang diluar sana yang pernah bersinggungan dengan kita sudah meninggal karena virus ini. Contohnya adalah seorang Staff pelayanan Kelurahan di tempat saya yang selalu dijumpai warga yang hendak mengurus kelengkapan perizinan. Tidak banyak orang yang menyadari, karena mereka memang tidak selalu kita jumpai setiap hari.
Beberapa hari ini dilapangan dari siang sampai petang, aku semakin sering berpapasan dengan ambulan di jalan, bisa sampai lima kali. Itu yang kuketahui berpapasan denganku di jalan raya.
Jadi bertanggungjawablah terhadap diri sendiri dan oranglain dengan selalu menjaga protokol kesehatan.
Kita kilas balik sejenak.
Ayah pernah bercerita kepadaku. Dulu waktu beliau dinas keluar kota dan dijamu oleh instansi terkait ke sebuah restoran bintang lima. Di meja seberang, sekumpulan orang berkali-kali memandang ke arah ayah, membuat ayah menyadari akan hal itu. Selang beberapa lama Pakde datang ke meja tersebut disambut oleh orang-orang yang ada disana, sambil masih ada yang menatap ke arah ayah.
Saling menyadari. Seketika ayah dan Pakde saling menghampiri dan memberi salam. Terkejut dengan kehadiran masing-masing disana yang ternyata juga bisa kebetulan, sama-sama dinas luar. Padahal mereka berdua bekerjanya juga di instansi yang berbeda. Hal itu membuat ngeh mereka yang sebelumnya keheranan menatap lama ayah saya. Ternyata mereka bersaudara, makanya mirip. Bisa kebetulan sekali seperti ini.
Ada dua saudara laki-laki ayahku yang wajahnya paling mendekati beliau. Yaitu Pakdeku yang itu dan almarhum Pamanku ini(Pak lik). Dan menurutku yang paling mirip justru pamanku ini.
Kalian tahu, ada pancaran rasa bangga tersirat dari wajah pamanku saat beliau melihatku kembali ketika dewasa(Dulu saya sekeluarga tinggal diluar kota, nggak pulang kampung juga karena kakek nenek juga sudah meninggal).
Beliau menganggap bahwa aku adalah juga anak kandungnya, hanya beda istri. Karena memang pada dasarnya baik alm ayah maupun alm paman selaku saudara kandung mempunyai DNA yang sama, mereka satu darah dan satu daging.
Sering saya mendengar cerita dari bapak-bapak ataupun ibu-ibu pedagang asongan ataupun dari berbagai pekerjaan yang menurut pandangan umum dianggap mempunyai penghasilan yang rendah. Dengan bangga memamerkan bahwa mereka berhasil menguliahkan semua anaknya sampai sarjana. Jadi anaknya nggak cuma satu, sampai tiga bahkan lima.
Hal itu bisa jadi benar. Kalau mau berpikir caranya kok bagaimana bisa?, padahal berbeda dari saat ini, waktu itu biaya kuliah sangatlah mahal.
Sebenarnya jawabannya cukup mudah dan sederhana tanpa kita harus menanyakan kesungguhan kebenaran kisah itu. Sangat berat tentunya kalau mereka harus membiayai semua anaknya yang mungkin ada sampai lima orang kuliah sampai sarjana, bahkan bisa dibilang mustahil. Bagaimana dengan kebutuhan primer lainnya?.
Kalaupun itu bukan bualan.
Ada satu cara yang terpikirkan oleh saya waktu itu. Sang bapak membiayai satu anaknya kuliah mati-matian sampai lulus sarjana. Lalu anaknya yang itu dapat pekerjaan yang cukup bagus berkat title sarjana yang dimilikinya dan bisa menguliahkan adik dibawahnya sampai lulus. Lanjut begitu juga adiknya setelah berhasil harus membiayai kuliah adik dibawahnya, begitu seterusnya. Jadi semua anak bisa kuliah dan lulus menjadi sarjana.
Begitulah hal yang terbentuk saat itu. Disaat teknologi komunikasi belum secanggih sekarang. Baru bisa kumpul kalau ada yang meninggal.
Pasca meninggalnya ayahanda. Disaat kumpul-kumpul keluarga, yang memang tidak semua lengkap ada disana, tapi cukuplah untuk bisa dibilang mewakili.
Beliau membahas hal tersebut. Bersama-sama, patungan untuk "minterke" atau menguliahkan saya sampai selesai. Kalau perlu nyogokke saya agar bisa menjadi PNS. Sayangnya niatan tersebut sama sekali tidak mendapatkan dukungan dari kedua belah pihak, baik dari keluarga ayah maupun keluarga ibu yang hadir disana. Dengan berbagai alasan.
Dipihak paman sendiri. Sayangnya hal itu juga dikalahkan oleh desakan istrinya yang selalu mengingatkan bahwa mereka punya anak laki-laki sendiri yang "belum jadi orang", baca sukses.
Dan pamanku kalau boleh dibilang sangat penurut dengan istrinya kalau tidak bisa dibilang anggota ISTI(Ikatan Suami Takut Istri).
Putra mereka sampai mendapat julukan mahasiswa abadi. Dan setelah lulus sarjanapun, tidak mau bekerja kalau bukan pekerjaan priyayi; duduk manis, nulis-nulis dan digaji tinggi. Hingga sampai sekarang masih menganggur. Jadi menurut beliau tanggungan utamanya adalah anaknya itu.
Semua seolah dengan positif memandang tinggi saya yang selain cerdas juga sangat tampan. Pasti akan menemukan jalan keluar sendiri.
Oleh Tuhan.
Niat buruk seorang tidak akan dicatat sebagai amal keburukan sampai niat itu dikerjakannya.
Dan setiap orang yang berniat melakukan kebaikan, Allah SWT memerintahkan malaikat mencatatnya sebagai satu pahala kebaikan. Jika niat itu sudah dilakukan, maka orang tersebut mendapatkan dua pahala kebaikan. Jadi banyak-banyaklah berniat hal baik sekalipun itu tidak pernah terlaksana.
Sedangkan bagi manusia itu sendiri..
Hanya pernah menjadi rencana, tanpa pernah menjadi tindakan nyata untuk melakukannya.
Adalah omong kosong.
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).