"Para penduduk desa selalu takut dan membenciku, padahal aku tak pernah melakukan hal yang salah. Mereka tak menganggap aku manusia. Apa karena aku berbeda dari mereka?. Kenapa aku berbeda Bu?"
"Kamu itu anak ibu. Jadi kamu adalah anak manusia. Kamu berbeda karena kamu istimewa."
"Secara umum, manusia memang memandang perbedaan sebagai ancaman. Hal itu tidak sepenuhnya salah. Hanya saja suatu bentuk kewaspadaan dalam mencegah hal buruk yang bisa saja terjadi."
"Sayangnya mereka hanya memandangmu dari penampilan fisikmu saja, berhenti sampai disitu. Tidak mau mengenalmu lebih jauh. Tak kenal maka tak sayang. Kalau saja mereka mau mengenal siapa dirimu yang sebenarnya. Kebaikan hati dan pemikiran seorang Baru Klinting, pasti sikap mereka akan berubah." Sang ibu tersenyum mengusap-usap kepala Baru Klinting.
Baru Klinting tersenyum lebar mendengar hal yang dikatakan ibunya tersebut.
"Bu, ceritakan lebih detail mngenai ayah. Bukankah beliau adalah seorang Brahmana?. Mungkin saja dengan kesaktian beliau, beliau bisa memberikan jalan keluar mengenai masalah Baru ini."
"Anak pintar. Ibu juga berpikir bahwa saat ini kamu sudah cukup umur bila ingin menemui ayahmu."
Sang ibu sejenak berlalu dan kembali membawa sesuatu.
"Bawalah Genta(Klintingan) peninggalan ayahmu ini sebagai bukti bahwa kamu adalah anaknya."
Setelah itu tak lupa sang ibu mempersiapkan perbekalan secukupnya untuk keberangkatan Baru Klinting esok hari.
Gua di lereng gunung Telomaya adalah tujuan perjalanan Baru Klinting. Tempat ayahnya bersemedi.
Dengan gembira Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayah.
Sesampainya di pertapaan. Baru Klinting masuk ke gua dan hormat di depan Ki Hajar sembari bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” Yang kemudian dijawab oleh Ki Hajar sendiri, “Ya benar. Saya Ki Hajar Salokantara."
Sembah sujud dihaturkannya kepada Ki Hajar.
"Ayah adalah orangtua saya yang selama ini sudah lama saya cari-cari. Saya adalah anak dari Endang Sawitri dari desa Ngasem dan Klintingan ini kata ibu adalah peninggalan ayah. Baru Klinting memperlihatkan lebih jelas lagi klintingan yang dipakainya di leher(naga kayaknya leher semua)."
"Ya benar. Klintingan itu adalah sebuah bukti. Namun aku perlu bukti satu lagi. Kalau memang kamu anakku, coba kamu
melingkari gunung Telomoyo ini. Kalau bisa, maka kamu benar-benar anakku."
Baru Klinting nyaris berhasil melingkari gunung, namun sayangnya tubuh Baru Klinting kurang satu jengkal untuk melingkari gunung tersebut secara penuh. Untuk menutupi itu Baru Klinting menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ujung ekornya. Cara yang cerdas sekaligus memaksa. Hehehe. Tanpa diduga Ki Hajar memotong lidah Baru Klinting, hal itu juga sebagai persyaratan agar Baru bisa menjadi manusia. Kelak lidahnya itu akan menjadi mata tombak, pusaka miliknya yang terbuat dari bagian dirinya.
Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung.
Dalam pertapaannya. Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak mendapatkan seekor hewan pun.
Sekelompok warga akhirnya istirahat karena lelah mencari hewan buruan, salah seorang warga mengayunkan parangnya kepohon tumbang dan alangkah terkejutnya warga ketika melihat parangnya berlumuran darah, mereka baru menyadari bahwa yang mereka tebas bukanlah pohon tumbang melainkan tubuh ular naga ( Baru Klinting ). Warga langsung memotong-motong, menguliti daging ular tersebut untuk dijadikan makanan saat pesta nanti.
Sukma Baru Klinting menjelma menjadi seorang anak kecil. Penampilannya kumal, kotor. Tubuhnya penuh luka dan berbau busuk akibat kulitnya yang tidak tertutup sempurna. Lantaran jasad fisiknya dikuliti dan dipotong-potong oleh warga. Ia juga susah berbicara karena sebelumnya lidahnya dipotong.
Baru berjalan menuju tempat pesta rakyat diadakan. Ia masuk ke keramaian dan ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis para warga justru mengusir anak itu dari pesta dengan
paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan.
"Pergi kau anak setan!"
"Kenapa kalian jahat kepadaku?. Bukankah wujudku sekarang juga manusia?."
Para warga masih bersikap acuh dan sinis kepadanya.
Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ditengah perjalanan Baru bertemu dengan seorang nenek janda tua baik hati yang mengajaknya mampir ke rumahnya. Janda tua itu memperlakukan Baru layaknya tamu yang dihormati, disiapkan pula hidangan. Baru berbinar senang. baru kali ini ada manusia yang baik kepadanya selain ibunya. Dengan lahap ia menyantap makanan yang dihidangkan untuknya.
"Nek, sebelumnya saya berpikir bahwa sudah tidak ada orang baik di kampung ini, tapi ternyata masih ada orang baik seperti nenek. Mungkin nanti akan terdengar suara gemuruh air atau teriakan orang-orang. Saat itu terjadi saya mohon sesegera mungkin Nenek naik ke lesung(Tempat Menumbuk Padi)" ucap Baru sembari menunjuk lesung yang diparkirkan di tembok.
Sang Nenek masih heran dengan permintaan Baru Klinting.
"Sekedar persiapan Nek. Mungkin nanti akan terjadi banjir."
Sesaat kemudian Baru kembali ke pesta mencoba ikut dan sekali lagi meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap tidak menerima anak itu, bahkan ditendang agar pergi dari tempat pesta.
'Mereka sudah keterlaluan!'.Baru melihat tak ada seorangpun yang bersimpati kepadanya.
Dengan kemarahan hati anak itu mengadakan sayembara. Ia menancapkan lidi yang ia temukan disana ke tanah.
"Aku akan pergi dari sini bila ada salah satu dari kalian yang berhasil mencabut lidi ini!."
Semua orang yang ada disana menertawakannya.
"Jika hanya mencabut sebatang lidi saja sih semua orang juga bisa." sahut seorang warga.
Dimulai dari anak-anak, perempuan hingga laki-laki dewasa. Semua yang ada disana mendapat giliran, namun tak satu pun warga desa yang mampu mencabut lidi tersebut.
Melihat hal itu amarahnya memuncak, sudah diatas ubun-ubun.
"Lihatlah ketamakan kalian wahai manusia. Lihatlah ketidakpedulian kalian terhadap sesama. Kalian memandang rendah manusia cacat sepertiku. Tidak mau berbagi sedikitpun, sementara daging yang kalian nikmati itu merupakan dagingku sendiri saat menjadi ular naga."
Akhirnya Baru sendirilah yang mencabutnya. Ternyata dari lubang tancapan lidi tadi mengucur mata air yang deras.
Wujud binatang buas aktif. Sosok Baru Klinting berubah menjadi ular naga hijau raksasa yang mengerikan. Mahkota emas menghiasi kepalanya, kalung klintingan terpasang di lehernya.
Debit air yang keluar dari dalam tanah bertambah berkali-kali lipat. Sosok naga tersebut seolah melakukan tarian dengan liukannya, berkali-kali memutari sumber pancaran. Dalam sekejap aliran air berubah menjadi air bah yang menerjang ke segala penjuru dengan Baru menjadi pusatnya. Semua terjadi dengan begitu cepat, sehingga tak ada satupun penduduk yang bisa melarikan diri dari derasnya terjangan air bah.
Semakin meluas dan menggenangi seluruh desa, hingga akhirnya berhasil menenggelamkan keseluruhan desa beserta para penduduknya. Kecuali Janda Tua yang menaiki lesung. Dialah satu-satunya penduduk yang selamat.
Desapun menjadi rawa-rawa dengan air yang bening. Naga Baru Klinting sadar ia telah termakan oleh amarahnya. Ia kembali bertapa, melingkarkan tubuhnya di dasar danau. Menjadi manusia.. entahlah apakah itu masih menjadi keinginannya setelah semua hal yang barusan terjadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).