Awal mula semua masalah ini berawal dari pembelian lahan para penduduk oleh developer vila. Sang pemilik baru menyadari potensi yang terkandung dalam setiap jengkal tanah yang hendak dibangunnya itu. Sumber bahan tambang yang luput dari perhatian pemerintah. Dengan penuh nafsu, pria tua yang seharusnya sudah memasuki liang kubur itu berkali-kali mengirimkan orang untuk membujuk kepala desa agar meluluskan pembangunan area pertambangan. Kepala desa periode sebelumnya adalah orang yang suka main perempuan dan punya banyak simpanan. Dengan segala kebejatan yang ada pada dirinya itu, tentu saja ia setuju. Butuh bahan bakar untuk bersenang-senang. Namun untungnya hal itu mendapat pertentangan dari para tokoh masyarakat setempat, termasuk Pak Soleh. Mereka menyadari bahwa area pertambangan akan merusak lingkungan desa sehingga mereka berdemonstrasi demi melakukan pencegahan sebelum hal itu terjadi. Rencana pengelolaan tambang Batubara.
Rencana pembangunan berhasil dicegah. Kepala desa periode sebelumnyapun akhirnya memasuki masa pensiun. Kepala desa yang baru diangkat. Untunglah dirinya adalah seorang yang idealis. Beberapa kalipun perwakilan perusahaan pertambangan datang untuk bernego mengenai lahan yang akan dijadikan tambang batubara tersebut, berkali-kali pula sang kepala desa menolaknya. Hingga akhirnya sejumlah teror mulai terjadi.
Munculnya surat kaleng berupa ancaman, pesan dengan huruf-huruf dari potongan koran yang diedarkan ke rumah-rumah para tokoh masyarakat setempat sampai ditemukannya beberapa hewan ternak milik masyarakat sekitar yang mati tidak wajar, seperti diracun atau mati ditembak. Ladang yang sengaja dirusak tanamannya. Bahkan terkadang ditemukan bangkai kucing yang dimultilasi tergeletak begitu saja di depan rumah masing-masing tokoh masyarakat itu. Pak Soleh termasuk didalamnya.
Mereka mulai gentar, tapi Pak Soleh sebagai salah satu tetua desa beserta beberapa pemuda desa berhasil meyakinkan para penduduk bahwa ancaman semacam itu tak perlu dihiraukan. Mereka harus berani melawan.
Begitulah pemikiran Pak Soleh dan para pemuda desa paska kejadian-kejadian teror tersebut.
Apa pikiran para pengusaha kota itu mulai tidak waras?. Krisis ekonomi yang melanda negeri ini beberapa waktu silam memang sempat membuat beberapa pengusaha tak lagi punya hati nurani.
Bukankah seharusnya saat ini keadaannya berbeda. Ekonomi kita kini stabil dan menjadi semakin lebih baik.
***
"Ketakutan menguasai mereka Baru. Mereka takut miskin. Takut keluarga mereka dipandang "turun status" di mata warga lingkungannya. Takut capek. Takut tidak bisa makan enak. Takut tidak bisa gonta-ganti mobil. Takut tidak bisa jalan-jalan keluar negeri. Takut istrinya berpaling hati pada lelaki yang lebih mapan. Namun sebenarnya mereka lebih takut kepada keadaan diri mereka sendiri, Setelah sekian lama berkubang dalam kenikmatan, sedikit torehan kesusahan saja akan terasa sangat menyakitkan." Ujar Pak Soleh kepada pemuda yang duduk disebelahnya, di bangku panjang depan rumah sambil menikmati langit malam yang dihiasi bintang-bintang.
Pemuda tersebut bernama "Baru". Pemuda yang didapatinya meminta makan kepadanya dengan keadaan tubuh yang lemah paska gempa bumi beberapa waktu lalu. Pak Soleh menganggap anak muda berambut gondrong tersebut juga mengalami amnesia akibat bencana tersebut karena keterangan yang didapatkan darinya tidak nyambung dengan keadaan saat ini. Busana yang digunakannya saat itu, bertelanjang dada dengan bawahan berupa kain jarik yang membelit sepanjang betis kaki bermotif batik Sisik Gringsing, motif kuno yang sudah ada dari zaman Majapahit, motif yang sangat jarang dipakai oleh orang-orang pada saat ini. Mengenakan kalung klintingan seperti yang dipakai wayang punakawan, yang bentuknya gepeng mirip Klintingan Sapi. Pergelangan tangan kanannya terdapat lilitan mirip batang kayu berwarna hitam; akar bahar seakan menjadi gelang, cincin dengan bahan yang sama juga melingkar di jari manisnya. Tidak aneh juga sih, mengingat sebagian besar mata pencaharian penduduk disini adalah petani. Dan saat ini beliau menampungnya sampai keadaannya pulih atau sampai ada kabar tentang sanak saudaranya. Beliau juga senang ada teman ngobrol, juga bisa meringankan kesibukannya setelah pulang dari Sekolah untuk mengurus beberapa ternak kambing dan ayam dihalaman belakang. Hobi sampingannya itu dirasa semakin berat karena faktor usia.
Pak Soleh tidak keberatan akan keberadaan diri sang Pemuda, dan bahkan tidak menganggapnya sebagai beban karena dirinya hidup sebatang kara, setelah istri dan anaknya meninggal dunia akibat pagebluk yang pernah melanda desa tersebut beberapa puluh tahun silam. Saat itu ilmu kedokteran belumlah secanggih sekarang, bahkan saat itu listrikpun belum merambah ke desa. Dan sampai sekarangpun Pak Soleh tidak mencari penggantinya. Ia bisa menganggap Baru sebagai anaknya sendiri.
Esokpun tiba. Pak Soleh berangkat untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang guru.
Siang itu ia berhasil membuat pusing tujuh keliling para muridnya, anak-anak SMP kelas I dengan soal matematika yang ia rancang. Beberapa anak menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, seolah mencari inspirasi. Beberapa terlihat kebingungan, panik seraya berbisik-bisik meminta contekan. Bahkan beberapa diantaranya juga nampak pasrah, berdoa, komat-kamit memohon wangsit seolah kunci jawaban akan muncul setelah mereka melakukannya. Para murid yang bisa mengerjakan soal ulangan tersebut dengan lancar(mayoritas perempuan) tersenyum geli menyaksikan kelakuan teman-temannya itu.
"Ayo Le, Nduk ojo nyonto! (Ayo nak jangan mencontek). Bapak bisa lihat dari sini lho!" begitulah Pak Soleh memperingatkan murid-muridnya dari tempat duduk guru.
"Soalnya sulit pak" beberapa diantaranya mengeluh.
"Lha mau mbengi sinau ora?(Lha tadi malam belajar tidak?). Kan sudah bapak ingatkan besok ulangan. Jangan-jangan semalam kalian cuma nonton sinetron.
"Tadi malam dramanya lagi klimaks pak". ujar seorang murid yang disambut ledakan tawa teman-teman sekelasnya.
Lima menit kemudian kertas ulangan dikumpulkan. Bel istirahat berbunyi dan pak Soleh bergegas menuju ruang guru. Sesampainya disana, ia diberitahukan oleh koleganya/rekan sesama guru bahwa Pak Kepsek mencarinya.
"Saya titip kertas ulangan ini ya bu" Pak Soleh meninggalkan mejanya menuju ruang Kepala Sekolah.
"Nggih Pak" wanita tersebut menjawab sopan.
***
Semenjak kejadian teror di desa dimulai. Pak Soleh mulai tidak menyukai Kepala Sekolahnya ini yang memang jarang bergaul dengan sesama guru di lingkungan Sekolah. Orang yang cenderung tertutup ini mulai lancang mencampuri urusan desanya. Seorang anak muda dari kota yang langsung melanjutkan ke jenjang Magister(Strata-2/S-2) sebelum akhirnya menjadi guru Biologi dan dikirim ke tempat ini dan langsung menjadi Kepala Sekolah pula.
'Sekalipun sebentar lagi aku memasuki usia pensiun dan seharusnya memulai hidup tenang, aku tidak bisa untuk lepas tangan begitu saja dan menutup mata mengenai permasalahan ini. Desa ini masih membutuhkan orang terpelajar sepertiku dari kejahatan bandit-bandit bermulut manis dengan seribu satu macam muslihatnya. Kalau aku mendiamkannya, desa akan musnah, penduduk terusir dari tanah kelahirannya dan setelah sekian lama wilayah ini akan menjadi wilayah mati yang lingkungannya sudah rusak beserta ekosistem di dalamnya. Warisan kerusakan kepada anak cucu kita.
Didalam ruangan Kepala Sekolah. Bujukan dengan argumen yang sama dikemukakan kembali dengan sedikit modifikasi dan tambahan.
"Pak Solehkan tahu. Rata-rata taraf hidup penduduk di daerah sini di bawah garis kemiskinan. Pengelolaan sumber daya alam ini adalah solusi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
"Pikirkan masa depan anak-anak disini. Setelah lepas dari SMP ini, sekitar 80% melanjutkan ke jenjang SMA atau SMK. Setelah itu kemungkinan tidak sampai dari setengahnya, kurang dari 50% saja yang akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Sisanya sebagian akan bekerja membantu orangtuanya di ladang kiranya masih tersedia lapangan pekerjaan disana, lalu sisanya yang lain lebih suka merantau mencari pekerjaan di Kota. Benar begitu?. Jumlah penduduk desa akan menyusut dan malah akan membebani Kota akibat terlalu padat."
"Bisa bapak bayangkan berapa banyak pemuda yang keluar dari desa karena ketidakadaan lapangan pekerjaan?. Lalu berapa persen dari mereka yang akan kembali ke desa ini lagi?."
'Sebenarnya bukan desa kekurangan lapangan pekerjaan. Tapi memang tidak banyak anak muda yang tertarik untuk menjadi petani dengan segala kerja kerasnya. Mereka lebih memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat mereka. Pekerjaan yang tidak perlu selelah menjadi petani namun bisa mendapatkan penghasilan yang sama bahkan lebih besar. Memangnya menjadi buruh tambang itu lebih baik dibanding menjadi petani?.'
"Yang bapak katakan mungkin memang ada benarnya. Namun bila ditelaah lebih dalam lagi.Bapak yang seorang ahli Biologi pasti lebih tahu dampaknya terhadap lingkungan sangatlah parah. Sedangkan sebagian besar pencaharian penduduk adalah dari bidang pertanian. Merekalah yang secara langsung akan mengalami dampak dari pencemaran air dan tanah. Okelah bila wilayah yang dipakai adalah daerah tandus yang tak berpenghuni. Sedangkan tempat kita ini adalah daerah subur yang padat penduduk."
"Bila memang demi masyarakat sekitar. Harus ditimbang antara manfaat dan mudaratnya. Dan ini jauh lebih banyak mudaratnya!."
"Bapak terlalu paranoid!. Semua akan baik-baik saja karena semua sudah ada SOPnya!."
"Apakah ada jaminan perusahaan akan melaksanakan semua kompensasi atas eksploitasi yang sudah mereka perbuat?. Misalnya melakukan recovery atas lubang-lubang bekas tambang, masalah erosi tanah hingga menjaga limbah agar tidak mencemari lingkungan?. Bahkan polutan yang dihasilkannya saja mengandung merkuri yang tidak bisa kita atasi. Kerusakan permanen yang tak akan pernah pulih sekeras apapun usaha yang dilakukan untuk mengembalikannya."
Kepala Sekolah mulai berkeringat seolah kehabisan kata-kata untuk membalas.
"Ah benar juga. Tidak sopan rasanya mengajukan gagasan proyek tanpa sebuah kompensasi". Pak Soleh melihat sebuah amplop coklat tebal dilungsurkan kepadanya. Ini hanyalah awal. Bapak akan mendapatkan lebih banyak lagi seiring berjalannya proyek."
Pak Soleh hanya melihat amplop tersebut.
"Jadi Bapak sekarang sudah menjadi kaki tangan perusahaan?. Untuk berikutnya saya tidak mau lagi bapak memanggil saya hanya untuk membicarakan masalah yang ini. Permisi!" Pak Soleh berlalu keluar dari ruangan Kepala Sekolah.
'Sebenarnya Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahannya.'
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).