Di suatu malam yang syahdu.
"Berjanjilah, berjanjilah atas nama anak-anakmu dengan Andika yang belum terlahir ke dunia ini. Berjanjilah atas nama mereka." Ucap Eliza kepada Diana sambil menggenggam sungguh-sungguh kedua tangan Diana.
Berlinang air mata Diana mengucapkan ikrar tersebut.
"Aku berjanji atas nama anak-anakku dengan Andika yang belum terlahir ke dunia ini."
"Andika memang bukan suami pertamaku. Tapi ia adalah suami terakhirku, suamiku yang sebenarnya. Dan aku akan memilih untuk tetap menjadi istrinya hingga di akherat nanti." Tungkasnya tersenyum.
Bukan hanya kekuatan serangannya yang bisa mengimbangiku dalam wujud terkuatku, namun durability yang dimilikinya juga benar-benar mengagumkan. Ia berhasil menahan semua gempuran pamungkasku.
Waktu pemakaian wujud rantaiku sudah mendekati akhir dari yang bisa aku tahan. Aku dalam kesulitan. Baru pertama kalinya aku mendapatkan lawan yang bisa bertahan menghadapi wujud rantaiku ini.
"Raja memang paling berkuasa, tapi bukanlah petarung terkuat.
Mereka menyebutku jenderal bukan tanpa sebab. Aku adalah Angkara terkuat. Jauh lebih kuat daripada Angkara Raja yang kamu kalahkan."
'Harum bakaran dupa Gaharu yang sedari tadi mengiringi pertempuran kami, kini seakan membujukku untuk melepaskan penat, membuatku relax. Saat yang tidak tepat untuk melakukannya.'
'Kekuatan tubuhnya layaknya dupa. Rantai yang membelenggunya seolah berfungsi sebagai pengontrol kobaran agar membara sekecil mungkin, namun stabil.' batin si Angkara.
'Pada waktu itu, aku mengingat ikrar yang terucap itu sebagai adegan terindah yang berhasil menggetarkan hatiku. Sungguh-sungguh terlihat sangat nyata, dan entah kenapa itu berhasil membuatku bahagia.
Serpihan adegan itu terlihat begitu saja dalam alam pikiranku. Saat tubuh dan pikiranku mengalami overload; kelebihan beban akibat penggunaan mode rantai; wujud yang kalau bisa tak perlu aku gunakan, untuk bertempur melawan Angkara-angkara tangguh. Karena penggunaan wujud ini benar-benar bisa menyerang balik diriku sendiri. Dan ini pasti salah satunya.
Adegan yang akhirnya mempengaruhiku dalam pengambilan keputusan. Pasti karena mentalku lemah hingga sampai bisa terpengaruh dan akhirnya diperdaya olehnya. '
'Walaupun aku marah. Itu semua juga karena kebodohanku, melepaskan sesuatu yang pasti demi hal yang tidak pasti.
Dan andai saja setelah itu Ariella berani jujur kepada dirinya sendiri, berani bersuara dan memilihku. Pasti hidupku sudah bahagia dan tidak akan pernah lagi melihat kebelakang. Bahkan aku bisa menemui kalian layaknya tidak pernah ada apapun yang terjadi. Menganggap kalian bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.
Namun ceritanya sudah beda. Kalau memang tidak ada itikad baik. Harusnya dari awal tidak usah melakukannya.'
'Tak perlu lagi memaksakan diri. Tetaplah seperti itu. Anakmu sudah besar. Uruslah dia. Lanjutkan hidupmu. Aku juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkanmu, bagaimanapun juga aku memang pernah jatuh hati kepadamu. Itu juga yang membuatku menaruh harapan.
Aku juga akan meneruskan kembali hidupku. Umurku memang sudah segini, soal aku nanti dengan siapa, itu bukan urusanmu, tak perlu berpura-pura lagi mengkhawatirkanku. Wajahmu saja aku sudah lupa. Jadi itu juga sudah bukan masalah lagi. Jadi jangan pernah menemuiku.
Biar mantan suamimu itu yang nanti menjadi suami akheratmu. Satu-satunya pria yang pernah menggaulimu. Bukankah begitu?.'
'Karena aku tak sudi bertemu lagi denganmu, baik didunia maupun di akherat nanti!.'
Wara menerjang wujud wanita mungil berniqab dihadapannya. Hantaman telak mendarat, menyebabkan wujud jelmaan tersebut terpelanting beberapa kali kebelakang hingga berubah menjadi wujud aslinya.
"Kalau memang sungguh-sungguh hendak menyerang mentalku, lakukanlah dengan benar".
"Itukan karena kamu sendiri yang tidak lagi mengingat seperti apa wajahnya!. Lalu bagaimana aku bisa tahu!?". Teriaknya sambil berusaha berdiri dengan gemetaran."
"Berusaha mengakalinya dengan menggunakan niqab.
Makanya kamu mengambil wujud mata orang lain dalam ingatanku yang menurutmu paling cocok gitu?. Tanpa tahu siapa pemilik mata tersebut?."
Sadness is upper than anger. Saat seseorang sudah tak bisa membendung kemarahannya, justru dalam hatinya tercipta kesedihan atas kemarahannya itu.
"Hah?... katanya tidak berhasil.. tapi wujudmu mulai berubah tuh. Nampaknya pusaka penjagamu itu ketiduran, apa ia terlalu lelah, tidak punya tenaga lagi untuk membelenggumu?".
"Ini karena kamu sudah lancang!". Kedua cakar tanganku kukondisikan untuk bersiap menyerang, siap mencabik-cabik dirinya.
Untaian rantai yang membelenggu tubuhku mulai terdapat retakan disana-sini. Perlahan jarik tapih poleng yang kukenakan mulai terbakar, berubah motif menjadi batik tambal. Sudut-sudut pada tubuhku juga mulai tumbuh menjadi tajam. Begitu juga tumbuh surai-surai tajam pada kepalaku. Suluran rantai pada tubuhku mulai hancur, satu demi satu patahannya jatuh ke tanah. Hingga tak ada lagi satupun yang tersisa menempel pada tubuhku. Kini wujudku sepenuhnya berubah menjadi mode liar.
'Dupa itu kembali terbakar. Kali ini akan membara lebih besar, memendek lebih cepat. Dan tak ada lagi yang bisa menghentikannya. Aku hanya perlu mengulurnya hingga dupa itu sepenuhnya habis terbakar, hingga menjadi abu, tak tersisa.'
Mereka berdua kembali saling baku hantam.
"Tenagamu seranganmu tidak jauh beda dengan sebelumnya. Aku masih bisa mengatasinya."
"Tidak jauh berbeda?. Sedikit lebih kuat atau sedikit lebih lemah?."
"Sedikit lebih kuat."
"Kuharap kau jangan terlalu menikmatinya. Aku yakin kamupun berpikir demikian. Karena berbeda dengan sebelumnya. Perbedaan terbesar antara diriku sebelumnya dengan diriku kini adalah...
Aku yang ini.. tidak lagi menahan diri."
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).