Kita memang tidak bisa memilih dari ibu berkulit apakah kita lahir. Mau dari berkulit putih, berkulit hitam hingga berkulit berwarna. Kita tidak bisa menentukannya.
Tapi kita bisa memilih bersikap seperti apa saat kita sudah menjalani kehidupan kita didunia ini.
"Jadi mereka menolak untuk pindah dari sana!?. Dasar orang-orang susah tidak tahu diri!. Ini namanya mereka sudah mempersulit rezekiku!. Tidak bisa aku biarkan. Kalian sendiri yang memintanya!.
Aku nggak peduli. Lakukan!."
Kenapa Toying bisa berbuat semudah itu?.
Karena ia menganggap mereka berbeda "bangsa" (meminjam istilah yang digunakan oleh Negeri seberang Malaysia) dengannya. Sehingga merasa tidak mempunyai kedekatan apapun.
Kalau ia memang menganggap bahwa "bangsa"nya sehebat itu.. kenapa leluhurnya bisa sampai ke menginjakkan kaki di tanah Jawa ini?. Hingga beranak pinak dan tak mau kembali kesana. Karena waktu itu kehidupan disana sulit bukan?. Demi menghindari peperangan, kemiskinan dan kelaparan bukan?.
Lalu mengapa ia tak menyalahkan leluhurnya yang datang ke tanah Jawa dan memilih menetap? Tidak kembali lagi kesana?.
Kalau mau dirunut. Gampang untuk dilacak, mudah ditemukan jejaknya kok. Kakek nenek saya berasal dari daerah pemukiman lawas yang dulunya disebut Kampung Arab-kampung Melayu. Pembagian wilayah kediaman oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Bahkan konon pemukiman tersebut sudah ada sebelum Belanda datang mengelola.
Ketika datang berkunjung ke rumah kami. Nenek selalu membawakan aku nasi kebuli lengkap dengan lauk pauknya. Dan itu yang membuatku kangen dan selalu menantikan masakan tersebut, saat nenek datang berkunjung kembali. Karena selain memang benar-benar enak, rasanya juga unik, berbeda dengan masakan yang saya makan sehari-hari. Kok nasinya berwarna kuning tapi berbeda rasa dengan nasi kuning biasa, ini gurihnya beda, aromanya juga beda, bikin ngangenin setelah habis menyantapnya.
Setelah dewasa aku search tentang nasi kebuli dan baru ngeh. Ternyata begitu. Itu yang bikin masakan ini terasa spesial... repot bikinnya. Anak kecil kan tahunya makan sampai habis. Kalau belum puas ya tanduk sampai kenyang 😁.
Menemukan bahwa itu adalah masakan ala Timur tengah yang diadaptasi dengan cita rasa lokal. Kalau kita klik search "asal usul nasi kebuli", langsung menemukan bendera Indonesia beserta petanya pada urutan teratas. Bukan bendera Yaman ataupun Arab Saudi. Masakan ini dianggap berbeda dengan nasi sejenisnya seperti nasi mandi dan biryani, yang saat kita search langsung menemukan bendera Yaman dan India. Kok bisa begitu?.
Mungkin yang membuatnya berbeda adalah kulturnya, cara pengolahannya yang disesuaikan dengan bahan dan cita rasa lokal. Sehingga masuk menjadi kekayaan masakan Nusantara. Dari satu ini saja kita sudah bisa menilai bahwa ini adalah suatu contoh dari akulturasi dalam hal kuliner.
Beliau berdua(Kakek-Nenek saya) tidak pernah sekalipun saya dengar menggunakan bahasa asing didepan saya. Hanya menggunakan bahasa Jawa.
Nenek sebelum akhirnya setelah menjelang tua diajari baca tulis huruf gedrik(aksara internasional yang sehari-hari kita gunakan, huruf alfabet lepas), secara umum beliau dianggap buta huruf. Padahal beliau fasih baca tulis dengan aksara lain, bahkan tanda tangannyapun memakai huruf hijaiyah. Setelah saya search, mungkin ini yang dinamakan aksara Jawi. Nenek saya secara fisik tidak jauh berbeda dengan perempuan Jawa. Juga selalu mengenakan kebaya pula sebagai busana sehari-hari, lengkap dengan kerudungnya.
Kalau Kakek sih nggak usah diragukan kemampuannya dalam baca tulis karena merupakan pegawai pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, beliau menguasai tiga aksara sekaligus. Gedrik, Jawa dan Hijaiyah.
Saya tidak pernah sekalipun mendengar kakek berujar menggunakan kata pengganti seperti ente, akhwat, ikhwat, fulus dan sebagainya. Bicaranya normal memakai Jawa formal. Alasannya sederhana, karena semua kata-kata itu ada padanan dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesianya. Saya merasa greget saat mendengar ada Ustad atau apalah yang bilang bahwa "Silahturahmi" itu salah, yang benar adalah "Silaturahim". Belajarnya kurang jauh ini, ya kalau dia mengatakan kalimat dalam bahasa arab ya pakainya Silaturahim, karena Silaturahmi adalah kata serapan dalam bahasa Indonesia. Lalu setelah saya cari tahu lebih jauh.. ternyata silaturahim itu adalah kata yang penggunannya hanya untuk keluarga dalam saja, sedangkan silaturahmi yang sudah menjadi serapan dalam bahasa mempunyai cakupan lebih luas, untuk siapa saja, bukan hanya untuk keluarga sendiri saja.
Kalau dilihat-lihat, diperhatikan secara mendetail, secara fisik Kakek saya itu.. wajahnya memang mirip keturunan Arab sih. Namun beliau selalu menyebut dirinya orang Jawa. Busana sehari-hari beliau peci hitam, kacamata baca(kadang dilepas), kemeja batik lengan panjang, beserta celana panjang. Saat santai dirumah sering saya jumpai mengenakan kaos Singlet/oblong putih polos dan sarung sebagai bawahan.
Ini juga terjadi kepada Kakek buyut saya yang tidak pernah saya mendengar beliau mengucapkan kalimat selain dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Setelah dewasa saya baru mengetahui bahwa beliau sebenarnya bukanlah berasal dari suku Jawa, melainkan suku Minangkabau. Terjawab sudah rasa penasaran saya terhadap salah satu busana yang beliau kenakan di sebuah foto gagah dirinya memakai pakaian adat asing yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Dulu seingat saya, paman dan ayah saya pernah berkomentar tentang foto tersebut, menyebut bahwa penutup kepala yang digunakan Iyut(Kakek Buyut) kostumnya salah. Tutup kepala berbentuk tanduk seharusnya hanya menjadi pakaian adat perempuan. Mengingat percakapan jaman lampau itu, saya search di Google dan menemukan bahwa penutup kepala yang digunakan pada pakaian adat Minangkabau pada lelakinya memang berbentuk kotak biasa, ada yang tengahnya segitiga, dan ada juga yang memakai mirip sorban. Itu yang ditemukan secara umum oleh saya pada waktu itu. Masa Iyut salah pakai busana?.
Lalu beberapa tahun kemudian secara tidak sengaja, saya menemukan foto tetua adat Minang yang menggunakan penutup kepala mirip dengan yang dipakai Iyut waktu browsing baca-baca. Oh mungkin saja ternyata penutup kepala adat bukan hanya satu bentuk saja. Itu penutup kepala untuk Tetua adat?. Masa Iyut memakai pakaian adat untuk tetua adat?. Apa Iyut adalah tetua adat?. Nggak mungkin, kan beliau masih muda(pengertian umum Tetua adat: harus sudah tua).
Dan sekarang saya cari tahu lagi.. lalu menemukan, ternyata yang mirip dipakai oleh Iyut kemungkinan bernama Deta. Di artikel yang saya baca.. terdapat kalimat "Lucunya jika menyebut nama deta, kebanyakan pemuda Minang masa kini berpikir deta hanyalah pakaian datuk. Budaya berdeta memang ditinggalkan oleh pemuda Minang, sehingga yg nampak menggunakan deta hanyalah datuk atau pangulu dalam acara adat, maka tak heran muncul kesimpulan seperti itu." Artikel tersebut ditulis pada tahun 2017. Pantas saja dulu waktu nyari2 ikat kepala yang mirip enggak ketemu. Cuma nemu mirip iket Sunda.
Saya ingat waktu kecil. Pernah Eyang putri hendak mengajari saya kata-kata asing yang langsung dilarang oleh Iyut yang waktu itu juga berada disana. Beliau berkata kurang lebih bahwa tidak perlu mengajari bahasa tersebut karena tidak akan digunakan, saat ini kami berada di Jawa dan sudah menjadi orang Jawa. Sekarang saya baru mengerti maksud percakapan tersebut. Sirah-mustoko, tangan-asto, sikil-samparan sambil dinyanyikan. Itulah salah satu dari banyak hal yang diajarkan Eyang kepada saya waktu kecil.Kalau memang tidak bisa menghargai dan menghormati para penduduk lokalnya. Kenapa kau tidak kembali saja ke tempat asalmu!?. Masih murnikan?. Bukan peranakan?.
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).