Malam ini adalah malam Idul Fitri. Malam takbiran. Gema takbir terdengar diseluruh penjuru kota. Bahkan lebih meriah ketika memasuki perkampungan. Covid seakan kehilangan pamor.
Aku berdua dengan sahabatku diatap kota. Di sepetak ruang terbuka beralaskan beton cor-coran sebuah tanggul perkampungan yang lokasinya di dataran tinggi. Dari sini kami bisa melihat hamparan kerlap-kerlip lampu kota. Kemeriahan terlihat disana. Pemandangan yang hanya bisa dinikmati dari puncak yang tinggi.
Angin berhembus sepoi-sepoi.
Sahabatku ini sebangsa Manusia Naga yang umurnya mungkin sudah mencapai ribuan tahun, secara penampilan memang terlihat sebagai pemuda dewasa tampan berambut gondrong, tapi secara psikologis umurnya tak jauh dari usia anak SMP. Karena ia sudah mengalami tidur yang terlalu panjang, dibandingkan saat sadarnya didunia.
"Apa arti Idul Fitri bagimu?" Dirinya memulai pembicaraan.
"Berbeda denganku kau masih punya keluarga besar. Besok pasti sibuk berkunjung kemana-mana."
"Aku dirumah saja, seperti tahun-tahun sebelumnya. Paling ngojek, pasti besok orderannya sangat ramai. Semoga ada lonjakan kenaikan tarif. "
Ia melihatku dengan pandangan tidak mengerti.
"Aku juga akan mengunjungimu." Ucapku menengokkan kepala kearahnya.
Sambil melihat bintang-bintang dilangit, akupun mulai menceritakan kepada Baru.
"Kakek nenekku dari kedua pihak sudah tiada. Ya aku nggak akan menapik aku punya Pakde, Om, dan tante.
Tapi nggak ada satupun adikku yang mau aku ajak berkunjung berkeliling, jadi ya.. sudahlah. Masa aku berkunjung sendirian. Nggak lucu kan. Walaupun aku sendiri juga males buang waktu buat gituan, mending kerja lah."
"Kenapa nggak ada yang mau?"
"Bisa dibalik pertanyaannya. Kenapa mereka sampai bikin kami merasa nggak perlu kenal mereka?."
Baru diam menungguku bercerita. "Aku ingin tahu, bolehkan?."
"Ada prahara dalam keluargaku sepeninggal Ayahku.
Mulanya kami tinggal bersama Kakek dan Bude di rumah peninggalan Buyut. Selain bisa menjaga mereka, dengan begitu juga rumah keluarga kami bisa dikontrakkan dan mendapatkan tambahan penghasilan dari sana. Waktu itu aku seorang yang sudah dewasa, sementara semua adikku masih bersekolah. Sedangkan waktu itu sekolah belum gratis. Dan waktu itu aku adalah seorang pengangguran.
Tentu aku sudah berupaya kesana kemari dengan modal yang hanya ijazah polosan. Tapi nihil. Aku nggak mau pilih-pilih, semua kujalani sampai pernah jadi sales door to door, pekerjaan melelahkan yang dianggap sebelah mata oleh banyak orang. Hasilnya juga enggak cucuk, malah tekor.
Lebih baik keluar mencari-cari yang lain, yang cucuk. Gunanya pekerjaan kan biar dapat penghasilan, bukan sebaliknya."
" Zaman itu perusahaan-perusahaan market modern jaringan nya belum menggurita seperti sekarang, belum ada ojek online dan ekspedisi toko online yang bisa menyerap baaanyak tenaga kerja.
Tahu nggak, waktu nganggur itu aku cuma dikasih Rp20rb oleh ibu untuk uang bensin. Kalau nggak salah waktu itu seliter bensin Rp4500. Harus cukup untuk sebulan untuk semuanya. Beli kertas, amplop, fotocopy.. semua lah. Kalau habis ya mau nggak mau aku harus menunggu jatah bulan depan saat ibu dapat pensiunan. Keseharianku sama adik-adik ya kalau enggak nonton TV ya main PS(Playstation) yang sudah menjadi hobi kami. "
"Aku punya handphone, satu-satunya perangkat komunikasi untuk mempermudah dihubungi kalau-kalau lamaran pekerjaanku diterima. Selalu aku cantumkan dalam CV berharap dihubungi. Dan aku sudah menanyakan kepada tanteku; orang yang mengusulkan harus punya handphone untuk mempermudah komunikasi kemana-mana, sekaligus orang yang kuanggap pengetahuannya tentang HP mumpuni. Gimana kalau HPnya enggak diisi pulsa dulu. Beliau malah berkata dengan nada tinggi(mungkin memang seperti itu cara bicaranya) "Ya percuma punya HP nggak ada pulsanya!. Nanti kalau nggak diisi ya nomernya kobong/terbakar mati!."
"Pulsa zaman dahulu Seratus ribu untuk satu bulan(jangka bisa nelpon). Saat aku meminta uang dalam jumlah segitu kepada ibu yang barusan mengambil pensiun, terlihat dengan jelas mimiknya yang terkejut seolah mendapatkan hantaman beban. Beliau membuang nafas seakan lemas."
"NB: Setelah beberapa tahun berlalu, aku nekat tidak mengisi pulsa dan ternyata disediakan masa tenggang oleh provider. Tidak bisa menghubungi tapi masih bisa menerima telepon. Sebenarnya itulah yang kubutuhkan, sarana untuk dihubungi, bukan untuk menelpon. Karena waktu itu masih ada wartel. Adik-adikku selalu pergi ke wartel(warung telepon) tetangga untuk menelponku saat Ibu menanyakan kabarku kok belum pulang. Seringnya.
Tetanggaku yang punya wartel sampai pernah bilang ke aku kalau yang ngelarisi/jadi pelanggan wartelnya itu ya cuma aku sama adik-adikku saja. Paling juga dipake sendiri sama dirinya sekeluarga😂. Sebenarnya saking sepinya ia hendak menutup wartel tersebut. Karena hitungan bisnisnya rugi. Adik-adikku juga saat menelepon ku bicara nya terlalu singkat. Sampai dia suruh lebih lamaan lagi. Biar genap bayarnya. Ya masa ngobrol lewat telepon 😂, malah mahal, dirumah juga setiap hari ketemu 😚.
Aku bahkan sampai save nomer panggilan dari adik-adikku, aku beri nama "Wartel" 🤣. Jadi nama tersebut keluar saat mereka menghubungi ku dari sana.
Sebenarnya waktu tenggang tersebut sangat-sangat bisa digunakan untuk berhemat. Yah, mungkin beliau memang tidak mengetahuinya. Karena orang berkecukupan sepertinya pulsanya selalu terisi."
"Pernah sih alternatif kami memberikan nomer telepon tetangga sebelah(yang rumahnya wirausaha). Jadi kalau ada sesuatu hal butuh menghubungi kami telponnya kesana dan tetangga itu yang menyampaikan nya kepada kami bahwa ada telpon yang ditujukan untuk kami. Beberapa kali terjadi dan tetangga tsb menyindir kami karena mereka merasa terganggu direpotkan."
"Kebutuhan air kami memakai air sumur, dan listrik rumah Kakek yang bayarin tanteku itu, katanya waktu itu sebulan habisnya Rp300rb-an."
"Dia selalu mengolok-olok kegiatan kami menonton Tv dan bermain PS. Karena itu adalah kegiatan yang dia anggap tidak ada gunanya. Tak jarang dia mengungkit-ungkit bahwa listrik rumah sampai habis Rp300rb, dan itu adalah jumlah yang kuanggap cukup besar, apalagi keadaanku masih belum bisa menghasilkan rupiah. Dan biang penyebabnya pasti karena kami terlalu sering menonton TV dan bermain PS."
"Sering aku mengalah untuk bermain dan menyarankan adik-adik untuk mengistirahatkan televisi, satu-satunya hiburan dirumah untuk menghabiskan waktu. Ya jadi kami cuma ngowoh gitu, nggak ngapa-ngapain. Cuma bernafas membiarkan waktu berlalu.
Beda sama saat main PS dimana kami bisa menyimak permainan, menyimak cerita dalam game tersebut, terutama yang dari Genre RPG. Bisa mendapatkan pengalaman hidup tanpa harus menjalaninya secara langsung."
"NB: Saat adik tertuaku hendak masuk STM, salah satu persyaratannya adalah menunjukkan tagihan listrik rumah. Akupun meminta bukti pembayaran rekening listrik rumah kepada Tante untuk melengkapi lampiran syarat. Dan terlihat wajahnya langsung pucat gitu. Takut-takut dia menyerahkan nya. Dan begitu melihat total nominal pembayaran listriknya terpampang angka Rp60.000 an. Aku diam tidak mengatakan apa-apa."
"Kalau ingat itu aku merasa marah. Dia itu cuma bisa mengolok-olok kami menonton TV dan bermain PS. Tanpa memberi bekal apapun. Jangankan kasih fasilitas, minterke/membiayai kursus atau apa kek, memberi uang saku pun agar bisa ada kegiatan lanjutanpun juga tidak!."
"Aku tahu Tante dan paman ku yg notabene merupakan keluarga sangat mampu memberikan sejumlah nominal dengan embel-embel membantu biaya hidup Kakek dan budeku, diberikan pada Ibuku yang nominalnya entah berapa. Tapi pada kenyataannya kami tetap serba kekurangan. Kalaupun tubuh kami terlihat gemuk itu karena kami makan banyak nasi, minim sayur apalagi lauk yang nyaris tak pernah ada. Terlalu banyak karbohidrat, dan minim gerak karena cuma di rumah."
"Aku pernah meminta suami dari tanteku untuk "menyekolahkanku" (ya aku ngerti kok tanteku cuma ibu rumah tangga, nggak punya kuasa karena yang punya duit kan suaminya, dia kan bisanya cuma "itu doang") aku pancing dirinya bahwa aku mau jadi pelaut, karena profesi dirinya adalah seorang pelaut. Sebenarnya aku sudah survey kursus pemberangkatan pekerja kapal pesiar.
Dia cuma dengan sinis mengatakan ya bisa saja dia ikut ke kapal dengannya. Dia bisa menempatkan aku sebagai pekerja dengan sebutan yang keren katanya. "MarsBoy" ucapnya melanjutkan. Kamu tahu apa itu MarsBoy?. Sebenarnya aku sudah bisa menduga ia mau berkata ke arah mana.
Kamu memang dapat sebutan keren tapi pekerjaannya itu tukang ngepel kapal.
Dan bilang bahwa sementara dirinya tidur-tidur di kapal karena jabatan nya tinggi. Aku meyakinkan bahwa fisikku sangat lah kuat. Dan waktu itu aku sangat percaya diri dengan hal itu. Pokoknya aku butuh pemasukan. Menurut dia, di laut yang paling penting itu mental katanya. Dan dia sangat meragukan ku.
Walaupun kalau dibilang pinjam dana, aku pasti bisa mengembalikannya dikemudian hari. Dan ia juga pasti sangat tahu hal itu. Karena itu dijadikan modal, bukan buat foya-foya. Bukannya tidak bisa, intinya dia memang tidak mau membantuku yang secara tidak langsung juga berarti tidak juga membantu keluarga intiku."
"Mereka(tanteku dan suaminya) malah menyarankan, agar aku menangis-nangis di depan paman-paman dari pihak Ayah. Dengan kata lain menyuruhku untuk mengemis-ngemis kepada mereka. Karena mereka yang seharusnya punya kewajiban. Bukan dirinya yang bisa punya hubungan denganku saja hanya karena menikahi tanteku."
"Kita sama sekali tidak punya hubungan darah. Coba kamu pikir baik-baik. Sebenarnya kita ini orang lain. Hanya saja saya bisa kenal kamu karena saya menikahi Tantemu, itu saja. Ia kembali menegaskan.
Percakapan kami anggap berakhir setelah keluar kalimat penutup itu dari mulutnya..
"Duit-duit saya sendiri. Terserah saya mau saya pakai untuk apa". Ucapnya santai.
"Suatu ketika Tanteku berkunjung kerumah Kakek bersama suaminya itu. Tanteku melontarkan kalimat menasehati yang seolah-olah ditujukan kepada Ibuku. Tapi aku tahu itu ditujukan kepada suaminya yang berada dibelakangnya.
"Ingat!,
Hutang budi itu dibawa mati!"
"Utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati!"
Hal itu dikatakannya sampai berkali-kali.
Entah memang merasa atau sebodoh itu dirinya untuk tidak menyadarinya"
"Ia pasti ingat. Dulu waktu dirinya menganggur lama, sedangkan adik sepupuku(anak semata wayang mereka) masih kecil dan masih sangat membutuhkan banyak biaya. "
"Dari seluruh keluarganya, tidak ada satupun yang bersedia membantu suami dari tanteku itu untuk sekolah lagi, agar dirinya bisa memperoleh pekerjaan melaut kembali. Satu-satunya cara memperbesar peluang dan memperkecil persaingan mendapatkan pekerjaan dalam bidang melaut adalah dengan meningkatkan kemampuan melalui "sekolah". Sertifikasi skill." Dan sudah pasti biayanya tidaklah murah".
Beda sama masa kini dimana kuliah saja semakin murah, hingga punya ijazah pun tidak terlalu dianggap.
"Mengetahui kendala tersebut, justru ibu dan ayahku yang berinisiatif membantu. Dengan izin ayahku, ibuku melungsurkan semua simpanan perhiasan emasnya, kalung-kalung yang gede-gede abot-abot, gelang-gelang yang besar-besar berat-berat, emas tua semua itu. Demi memodalinya agar bisa bersaing kembali dalam dunia kerja. Alhasil dirinya bisa kembali mendapatkan pekerjaan yang enak dengan penghasilan yang besaar."
"Tapi uang itu tidak pernah kembali kepada ayah dan ibuku. Karena setiap tahun tanteku selalu menelpon kebutuhan konsumsi untuk tahlilan Almarhumah Nenekku dan untuk hal-hal yang lain sebagainya. Kami sekeluarga sudah berdomisili di luar kota mengikuti ayah yang dipindahtugaskan. Cuma bisa mengiyakan. Selalu dipotongkan dari sana katanya. Alhasil habis sendiri."
"Aku sudah membayarnya lunas!" Ujar suami tanteku.
"Hingga suatu ketika sepeninggal kakekku, kami masih tinggal disana. Pamanku yang berdomisili di luar kota hendak meminjam uang kepada suami dari Tanteku itu. Mungkin karena suami dari tanteku itulah satu-satunya yang dirasa bisa membantu nya keluar dari permasalahan dalam hal finansial.
Namun dirinya malah sengaja tidak mau meminjaminya, walaupun ia punya sejumlah uang yang dimaksud. Mengenai kemampuan bayar, Ia juga pasti tahu betul bahwa pamanku alias kakak laki-laki kandung dari perempuan yang dinikahinya itu sangat sanggup untuk mengembalikannya, dan pasti akan mengembalikannya.
Karena selain agama pamanku itu bagus, shalatnya saja lima waktu, bahkan sampai terlihat dari penampilannya yang selalu berjenggot, dahinya saja sampai terdapat kapalan hitam, berpeci batok ngepas kepala, sampai bercelana cingkrang. Pamanku itu adalah petinggi di salah satu BUMN."
Ia tidak mau meminjaminya, maunya adalah Rumah peninggalan Kakek itu dijual sebagai warisan. Nanti dirinya yang nduiti alias yang membelinya. Dengan begitu pamanku bisa mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkannya itu. Malahan nggak perlu mikirin masalah mengembalikannya.
Pamanku mengiyakannya."
"Perlu diketahui rumah Kakek adalah rumah kuno, jadi tanahnya cukup luas ditambah letaknya strategis ada di dalam kota, itupun tidak pernah terkena banjir sekalipun letaknya bukan didaerah dataran tinggi. Aksesnya kemana-mana juga serba mudah. Bahkan lima menit dari bandara."
"Tapi harga yang ditawarkan sangatlah murah untuk ukuran rumah Kakek. Itu pun dibagi menjadi enam ahli waris. Hasilnya semakin kecil. Bagi mereka yang miskin duit segitu dianggapnya besar, bagi mereka yang tidak punya kepentingan(Janda dari Almarhum Omku yang berdomisili di luar kota) seakan mendapatkan rezeki nomplok yang tidak terduga. Tanpa perlu berpikir langsung menyetujuinya."
Bahkan dengan menjijikkannya, Janda dari Om-ku itu sambil membawa pulpen, sorot matanya terlihat hijau🤑, menyodorkan secarik kertas bermaterai(lebih tepatnya dua lembar kertas bermuatan pasal-pasal) buatan tanteku untuk kutandatangani, susunan paragraf ketikan komputer yang rapi berisi bahwa kami sewaktu-waktu harus bersedia keluar dari rumah itu ketika ditagih. Atau akan ditindak tegas dengan memanggil polisi.
Menyebutku "Saudara Andika, tolong ditandatangani!". Walaupun kami jarang bertemu, itupun hanya pada saat-saat tertentu karena dia dan Omku berdomisili di luar kota. Selama ini, sedari aku kecil dia kalau manggil aku itu "mas Andika".
Keadaan waktu itu aku masih menerima tamu, salah seorang rekan kerjaku di outlet. Saat itu aku sudah diterima bekerja disebuah outlet Komputer di kotaku.
Sungguh tidak ber-etika. Padahal dirinya adalah guru PNS yang juga mendapatkan pensiun dari almarhum Om-ku yang juga berstatus PNS.
Almarhum Omku adalah seorang guru agama(Islam), sudah tidak perlu diragukan lagi bagaimana kualitas akhlaknya. Ia adalah orang yang terlalu baik hati. Kemungkinan dirinya merasa kasihan sama istrinya yang sekarang itu. Makanya sampai dia nikahi.
Omku itu ganteng, banyak dari murid-murid perempuan nya yang naksir. Kalau kalian berpikir istri almarhum Omku itu cantik, maka kalian salah besar. Secara fisik dia sama sekali tidak menarik. Gigi nya saja tonggos.
Aku sangat terkejut saat pertama kali melihat siapa yang menjadi istri dari Omku itu. Pikiran jujur seorang anak kecil.. dia sungguh terlihat mengerikan, jelek banget. Aku sampai berpikir Omku mengorbankan kebahagiaannya sendiri hanya karena merasa kasihan. Sungguh tidak sepadan.
Sebagai anak kecil yang polos aku pernah mengemukakan hal tersebut kepada Nenek. Tapi beliau bilang ssttt🤫, mengatakan kepada ku untuk tidak lagi mengatakan hal seperti itu, karena itu bisa membuat Om menjadi sedih nantinya, kasihan Om. Sekarang dia sudah menjadi istri dari om ku, sudah menjadi bibi ku, tutur Nenek.
Om ku cuma beralasan yang penting dia perempuan yang baik, agamanya juga baik, shalat nya lima waktu. Kalau dari sudut pandang ku yang sudah dewasa.. gimana gak dianggap baik?. itu kan karena dia nggak ada pilihan lain dalam bersikap, dengan keadaan "yang seperti itu".
Keluarga, terutama nenekku sampai mengelus dada, seolah tidak rela putranya yang bernilai tinggi malah jadi nganten sama rekan seprofesinya "yang seperti itu".
Padahal sebelumnya pernah ada teman perempuan satu almamater alm Omku yang sampai dolan ke rumah nenek memperkenalkan diri, dan aku masih ingat dia membawa buah tangan berupa parsel buah-buahan dan sekaleng biskuit Khong Guan. Sedangkan posisi Omku sudah bertugas sebagai guru dan berdomisili di luar kota. Lha kalau yang ini seluruh keluarga langsung setuju. Apalagi wajahnya juga cantik. Tapi sayangnya itu tidak bisa menghentikannya dalam mengambil keputusan. Hal yang terus disesalkan oleh seluruh anggota keluarga dan terus diungkit, karena kami benar-benar merasa kecewa. Padahal sama, dia juga memakai jilbab, suatu hal tidak umum pada zaman itu.
Seorang perempuan desa bukan dari keluarga berada dengan penampilan seperti itu, ditambah mempunyai tanggungan seorang kakak laki-laki yang cacat tuna daksa, tunagrahita pula. Semua orang pasti berpikir kasihan siapa laki-laki yang mau dengannya?. Almarhum Om ku lah orang nya.
Pernah suatu ketika, janda dari alm Om-ku itu meminjam sejumlah uang dengan nominal yang cukup besar kepada Tanteku itu. Katanya buat bayar semesteran anaknya. Seizin suaminya gak tuh?. Kok diperbolehin?. Ya terserah sih, duit-duit dia sendiri, terserah mau apa juga. Setelah jalan beberapa lama, ditagihlah sama tanteku, melalui telepon tentu nya. Jauh, luar kota.
Dijawablah.. Dia bilang minta diikhlaskan saja, keponakan sendiri, anak yatim. Nanti pasti dapat syafaatnya. Tante ku marah dan mengatakan putus hubungan. Mungkin karena merasa keponakan nya yang lain saja enggak pernah dipinterinya sampai level kuliah. Walaupun dia pernah membantu pendanaan sekolah kedua keponakan laki-lakinya(anak dari alm Om ku yang lain); yang satu sampai lulus SMA, dan yang satu lagi yaitu adiknya, yang sayangnya hanya bisa membantu sampai SMP, karena keburu ketahuan oleh suaminya. Pasti dicut tidak diperbolehkan olehnya.
Tapi beberapa tahun setelah itu, di grup WA keluarga besar, saat salah satu anak nya menikah, sudah dapat gelar sarjana dan dinikahi oleh pria bergelar sarjana juga. Tanteku sekeluarga menghadiri dan dengan riang gembira membagikan moment-moment resepsi disana. Mewakili kami katanya.
Pasti karena uangnya sudah dikembalikan. Jelas mampu mengembalikan. Lha wong sudah jadi sarjana. Makanya hubungan nya disambung lagi. Bukan begitu?.
"Budeku tinggal sebatang kara, beliau tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa. Beliaulah yang lebih berhak menempati rumah tsb sak matine(kalau mau melihat dari sisi kemanusiaan lho ya), dianggap tidak mempunyai suara. Sekalipun menolak menjual, dan merengek bahwa itu adalah rumahnya, pernyataannya itu justru dicibir. Tanteku bilang rumah ini kepunyaan enam orang pewaris, bukan miliknya seorang.
Padahal mereka semua sudah mempunyai rumah sendiri-sendiri.
Nggak ada yang kepingin punya nasib seperti Budeku itu. Beliau sudah nggak punya siapa-siapa. Kedua anaknya meninggal beruntun saat masih kecil dan suaminya menceraikannya. Jadi beliau itu sebenarnya sendirian didunia ini, sebatang kara. Rumah peninggalan kakek dan orangtuanya, rumah tempatnya dibesarkan, adalah satu-satunya tempat dimana dia bisa kembali/pulang. Tempat dimana dia bisa memanggilnya "Rumah ku".
Aku memberikan pengertian kepada nya bahwa rumah bukan hanya bersifat benda. Justru pengertian sebenarnya dari rumah adalah tempat dimana ada orang yang menerima kepulangan kita. Keluarga.
Aku selaku anak tertua dari Ibuku juga menolak, mauku ya kalau dijual diiklankan lepas, kalau perlu dilelang dengan harga terbaik walaupun kepada orang lain. Dan perlu diketahui bahwa saat itu adik-adikku masih aktif bersekolah didaerah sana. "
"Suara ku tidak dianggap, Budeku pun dipalsukan tandatangannya. Pasti pamanku sungguh kesulitan memenuhi kebutuhan kedua istrinya(waktu itu masih dua) dan anak-anaknya yang jumlahnya entah berapa karena dirinya menolak menggunakan KB yang menurutnya bertentangan dengan agama, juga berniat hendak menggenapi hingga mempunyai empat orang istri karena menurutnya itu adalah sunnah, walaupun semua perempuan yang dikawininya adalah perawan, tak ada satupun diantaranya yang berstatus janda. Hingga dia sangat memerlukan uang tersebut, sampai berbuat sejauh ini.
Ibuku menjadi kalap karena merasa ditinggalkan sendirian (padahal sudah sedari dulu). Pemasukan dari mengontrakan rumah hilang. Karena kami pada akhirnya menempati kembali rumah keluarga kami ini. Dan akhirnya juga dengan membawa serta Bude(Kakak/Saudara kembar dari Ibu). Buat apa berlama-lama disana, lha wong sudah jelas-jelas diusir.
Dan adik-adikku beraksi seperti di Film Laskar Pelangi. Bersepeda jauh dari ujung ke ujung karena rumah kami ini letaknya jauh dari Sekolah-sekolah mereka. Demi menuntut ilmu."
"Sing penting anak e dewe."
"Sing ndongani dewe iku anak, dudu keponakan".
" Itu yang pernah aku dengar keluar dari mulut suami tanteku."
"Ya ada benarnya juga. Ia punya dua anak yang harus dipinterke."
"Bukannya kamu cuma punya satu sepupu dari mereka? Anak tunggal kan?. Interupsi Baru yang ternyata beneran menyimak semua cerita dariku selama ini".
"Satunya lagi anak haramnya dia".
"Anak haram kan nasabnya cuma ke ibu".
"Mboknya cuma babu, bisu pula. Ya harus mbantu nafkahin dong. Masa cuma memperkosa doang sampai hamil".
"Jenis kelamin-nya?"
"Laki-laki. Kalau adik sepupuku itukan wajahnya mirip Tanteku. Putih, mimiknya ramah dan auranya positif. Sedangkan anak haramnya suami tanteku itu mukanya serem, kayak penjahat mirip banget sama bapak haramnya. Kok bisa kopian gitu ya?.
"Udah dah nggak usah dibahas lagi."
"Kamu tahu dari mana?"
"Adik perempuannya sendiri yang ngoceh ke orang lain entah siapa waktu dulu aku masih kecil pernah menginap di rumah Ibunya, mertuanya tanteku. Dia ngelem(memuji) parasku pas aku merem tidur dikamarnya. Lha sudah ngantuk ada kamar kosong ya aku langsung tidur saja disitu. Padahal waktu itu ya belum lelap, masih setengah terjaga, nggak mungkin kan aku tiba-tiba melek dalam keadaan tersebut, saat mendengar semuanya. Dia bilang wajahku elok mirip ibuku, perempuan yang pernah dicintai sama kakaknya itu. Itu yang membuatnya membandingkan sama keponakan haramnya".
"Dia mengabaikan fakta bahwa tampang kakaknya itu mirip Gali/Bandit?. Muka yang jadi kopian dari keponakan haramnya?".
"Dari suaranya dia sampai heran bernada jijik bilang lha kok bisa-bisanya, doyan, nafsu sama perempuan model begituan. Amit-amit!"
"Dari situ aku menyimpulkan, pasti perempuan itu buruk rupa. Kalau dibandingkan sama standar tanteku pasti jauh."
"Jadi dulu naksirnya ibumu tapi nggak kesampaian lalu meminang adik perempuannya gitu?".
"Dan sudah bisa ditebak alurnya, yang membuat keluarganya tidak mau menjadikan si perempuan yang penuh kekurangan tersebut sebagai menantu secara nyata. Ya sudah pasti karena gengsi. Harkat martabat dan derajat mereka bisa terjun bebas, hancur berkeping-keping bila mereka melakukannya. Mau ditaruh dimana muka mereka kepada khalayak umum. Tapi sekalipun akhirnya ibunya dinikah siri.. itu tidak mengubah status anak tersebut menjadi anak kandungnya. Ia tetap adalah anak haram nya".
"Ada perbedaan, dua sikap yang tercermin dan bisa terlihat orang itu baik atau buruk dalam menyikapi anak seseorang yang pernah dicintainya. Makanya dia sentimentil sama aku, nggak suka saat lihat aku, terkesan benci".
Aku tahu, merasakan itu. Namun berusaha bersikap biasa, menganggap nya Omku juga , karena bagaimanapun juga sudah jadi keluarga kan. Tapi sepertinya cuma kami yang menganggapnya seperti itu. Ternyata watak memang tidak bisa dirubah.
Ibuku pasti merasa beruntung jadi sama bapakku. Sudah ganteng, baik akhlaknya, bagus agamanya. Berbeda jauh 180' sama suaminya tanteku itu yang merupakan ahli neraka. Dosa apa yang tidak pernah ia kerjakan?. Dari tampang nya saja, ibuku jelas waras dan nggak mungkin memilih nya. Ibuku tuh cantik banget, cocoknya ya sama Bapakku. Tanteku saja yang nekat menerima lamaran nya. Entah apa yang dilihat darinya?. Mungkin karena saat itu belum tahu keburukan nya. Karena yang ditampilkan pasti cuma yang baik-baik saja. Sifat sejati seseorang baru bisa terkuak setelah menikah.
Sekarang ia sudah shalat. Hal yang sudah sangat biasa dilakukan oleh seseorang yang sudah bau tanah sepertinya. Tubuhnya sudah sakit-sakitan, bahkan kakinya sudah mati rasa sejak lama. Sudah punya anak cucu. Anak kandung nya sudah menjadi dokter dan berkeluarga, begitu juga dengan anak haram nya yang juga sudah berkeluarga dan sudah dituntunnya menjadi pelaut seperti dirinya. Karena berbeda dengan adik sepupu ku yang berotak encer turunan dari Tante ku yang dulunya selalu menjadi juara kelas.. jadi dokter pun asal ada biaya nya bukanlah hal yang sulit. Sedangkan anak haramnya.. dari kedua bibitnya saja.. terus terang suami dari Tante ku itu saja otaknya pas-pasan, makanya pasti pakai banyak biaya agar bisa bersaing. Aku nggak tahu ia sudah punya cucu haram darinya atau belum, nggak tahu ia sudah jadi kakek haram atau belum. Nggak tahu juga apa menantu haramnya tahu bahwa dirinya itu cuma mertua haramnya. Apalagi mengenai besan haramnya.
Dan sekarang bisa lega karena semua fase itu sudah terlewati.
Mengenai penghasilan juga tidak perlu khawatir karena mereka sudah punya pasif income dari hasil Kos-kosan bekas rumah Nenekku yang nominal perbulannya sangatlah besar. Bahkan ia sampai mengabaikan setiap panggilan pekerjaan melaut yang datang kepadanya begitu saja. Yup, pendapatan finansial dari kos-kosan bekas rumah Nenekku sangat besar, makanya mereka mengincarnya. Letaknya strategis sebagai kos-kosan karena tidak jauh dari sana ada beberapa akademi dan universitas yang setiap tahunnya selalu berganti orang.
Apa yang perlu dipikirkan lagi?. Walaupun tidak bisa lagi makan sekenyang-kenyangnya makanan enak seperti sebelumnya karena tubuh mereka sudah penyakitan, setidaknya dari hasil tersebut mereka bisa "beramal" saangat besar untuk tabungan akherat gitu, tanpa perlu berkeringat sedikitpun.
Tinggal menikmati masa-masa akhir hidup nya di dunia sampai tiba waktunya dipanggil oleh yang Maha Kuasa.
Muda bikin dosa, tua foya-foya, mati masuk surga 🌚. Seperti itulah konsepnya. Enak betul💩.
Dan ucapan "Sing ndongani dewe iku anak, dudu keponakan". Harusnya sih tidak berlaku untuk anak haram karena terputus nasab.
Sungguh ironis, sekalipun sungguh ia adalah bapak biologisnya. Bahkan secara nyata mereka berdua mempunyai hubungan darah yang sesungguhnya. Namun hukum Tuhan mengatakan bahwa dunia akhirat mereka berdua bukanlah siapa-siapa, keduanya hanyalah orang lain.
mungkin itu juga dasar yang dipikirkan sama pamanku. Ia kan anaknya banyak. Setelah sebagian besar lulus kuliah pun dan beberapa sudah dia nikahkan.
Makanya kawin lagi. Biar semakin banyak yang bisa ndungoni/mendoakan biar dia bisa masuk Surga. Masih ganjil, kurang satu lagi biar full empat (walaupun ia pernah bersikeras mengatakan kepadaku bahwa maksimal itu lima dan ia berusaha memenuhinya).. yuk bisa yuk.
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).