Tempo hari Tanteku bersama suaminya datang berkunjung. Setelah aku mengirim pesan WA bahwa Bude pingin dolan kesana. Setelah sebelumnya, bulan lalu Bude nekat pergi ke rumah Kakek yang sekarang ternyata sudah disulap menjadi Kos-kosan dengan banyak kamar.
Pagi itu Bude mengatakan kepadaku dia ingin pulang. Dia memintaku untuk mengantarkannya. Aku nggak mau. Aku katakan kepadanya "Disini saja, disana sudah nggak ada tempat buat Bude."
Eh ternyata beliaunya tetap nekat pergi dari rumah. Ibuku panik dan melakukan pengumuman di Grup Keluarga Besar Joyo Laksono mengenai hal itu dan meminta bantuan semuanya yang ada di grup untuk mencarinya.
Meh...
Beliau berpikir kan kasihan banget kalau kesananya sampai jalan kaki, jaraknya sangatlah jauh apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Karena menurut sepengetahuan Ibu, bude tidak mempunyai uang sepeserpun. Dan di rumah memang tidak membutuhkannya, karena kebutuhan tercukupi dan kalaupun ada permintaan sesuatu hal bisa langsung ke Ibu atau ke Aku.
Dan untungnya dugaan ibu salah. Bude pernah memungut uang berwarna biru yang pernah digeletakkan Ibu lalu menyimpannya. Makanya saat itu ibu merasa kehilangan dan mencari-cari uang tersebut, tapi semua yang ditanyai tak ada satupun yang mengaku mengetahuinya. Termasuk adik-adik dan Bude. Aku langsung menjawab Bude yang ambil karena aku yakin adik-adikku nggak akan pernah berbohong mengenai hal itu.
Dirumah, sekalipun kelihatannya mereka berdua suka bertengkar. Sebenarnya sih lebih tepatnya ibu yang suka mengungkit-ungkit masa lalu perihal kenakalan bude kepadanya. Tapi aku yang paling tahu bahwa yang paling peduli sama Bude adalah Mamaku. Dulu ibukulah yang meminta agar Budeku segera dibawa kesini. Karena Bude disana sendirian dan rawan kekurangan. Pernah dulu, suatu ketika saat kami sekeluarga masih berdomisili diluar kota, dilain provinsi.
Almarhum Omku yang teratur berkunjung kesana setidaknya dua minggu sekali, atau kalau enggak ya seminggu sekali, kaget mengetahui bahwa beras Bude dirumah sudah lama habis, dirumah sama sekali tidak ada bahan makanan. Ternyata hampir seminggu budeku enggak makan sama sekali, cuma memakan es dari kulkas sebagai pengganjal perut (Kebiasaan memakan esnya berangsur-angsur menghilang setelah hidup bersama kami. Dan saat ini aku sudah tidak pernah lagi melihat bude melakukan kebiasaannya itu).
Bude bercerita kepada Om dengan tubuh pucat, sambil gemetaran menangis dan memegangi perutnya bahwa dirinya sangat lapar. Bisa dibayangkan betapa gemetarnya tubuh Omku pada saat itu menemukan keadaan sang Kakak mengenaskan sampai seperti itu.
Dan ketika ke rumah Tanteku malah memergoki kalau beberapa hari ini tanteku justru mengadakan kenduri, selamatan, syukuran. Tapi tidak berkunjung ke rumah Bude untuk memberikan satu Besek-pun!.
Disini berlebihan, sementara dia nggak ingat sama yang disana kekurangan. Padahal jarak antara rumah Tante dan Bude tidaklah jauh. Pada saat itu Omku benar-benar marah tapi tak bisa membendung air matanya saking sedihnya. Dan Tanteku cuma diam mengetahui dia memang salah. Tanteku lah yang seharusnya paling bertanggungjawab atas Bude, yang katanya bakal nyetok bahan makanan untuknya, yang rumahnya juga paling dekat, masih satu kecamatan.
Hal itupun pada akhirnya sekarang dijawab ke Ibuku bahwa dirinya itu anak Ragil, perempuan pula. Tidak seharusnya dibebani tanggungjawab. Apalagi setelah menjadi istri orang, dia harusnya cuma bertanggungjawab mengurus suami dan anaknya. Yang paling tua yang seharusnya bertanggung jawab atas semuanya. Sebagai pengganti orangtua. Itu aku dengar sendiri dengan kupingku.
Dulu Om-ku mengusahakan seminggu sekali menyempatkan diri adalah karena tuntutan istrinya yang selalu menyuruhnya untuk segera pulang. Pulang telat berarti dapat uang capek/lembur. Semenjak itu, beliau tidak menggubrisnya. Hampir setiap hari mampir kesana, karena toh rute pulang kerja selalu melewati rumah Bude. Walaupun pulang naik angkutannya menjadi dua kali, disertai ekstra jalan kaki, ekstra tenaga karena angkutan hanya sampai di depan jalan raya, tidak masuk ke perkampungan, begitu juga dengan waktu yang dibutuhkan otomatis menjadi lebih lama. Tapi tak mengapa karena hanya tersisa mereka bertiga di Kota ini. Itu adalah cerita ketika Om-ku masih hidup belasan tahun yang lalu, saat beliau masih muda dan bugar.
Untung belum terlambat. Bisa-bisa Bude meninggal tanpa ada satupun tetangga yang tahu. Disana Bude tidak bersosialisasi, hanya menyendiri dirumah. Kakek masih tinggal dengan kerabatnya. Dan akses komunikasi tidak seperti zaman sekarang dimana hampir semua orang mempunyai HP.
Menuruti permintaan Ibu, aku segera melesatkan sepeda motorku mengejarnya. Setelah berjalan beberapa lama aku merasa kehilangan jejak.
Harusnya terpautnya tidak mungkin bisa jauh kalau cuma dengan berjalan kaki. Tapi kok nggak ketemu?. Tentu aku sudah mencarinya dibeberapa jalur yang berbeda.
Ya sudah, yang penting Tante sudah tahu, Satu-satunya harapan semoga Bude bisa sampai kesana dengan selamat dan Tante kasih info ke kita begitu Bude sampai disana.
Sorenya kami mendapat kabar dari Tante bahwa Bude sudah datang.
Siang itu dalam percakapan Grup Keluarga disaat pengumuman kepanikan Ibu.
Aku tuturkan awal kejadiannya tadi pagi. Tante langsung bilang seakan berteriak(padahal di HP dalam bentuk tulisan huruf kalimat dan tanda baca) Kalau besok begitu, kalau minta antar ya diantarkan saja.. KASIHAN SUDAH TUA!.
Tante lanjut menuturkan, begitu datang keringatnya gembrobyos langsung aku kasih minum air mineral dan roti artis oleh-oleh dari Jakarta, lalu kusuruh istirahat tidur.
Tahu nggak Lur kalimat yang pertama kali terlontar?. KAMARKU YANG MANA!?.
Aku jawab di grup "ya tinggal kasih saja satu"
Tante jawab "Lho inikan sekarang sudah jadi kos-kosan. Alhamdulilah penuh.
Nggak ada yang aktif menanggapi selain dari keluargaku. Yang lain hanya menjadi penonton peristiwa belaka.
Dan hari ini Bude punya keinginan lagi untuk "pulang". Aku kirim pesan ke Tante mengenai hal tersebut. Tapi enggak dibaca. Aku telpon juga enggak diangkat.
Keesokan harinya Bude masih mewanti-wanti. Aku minta bersabar karena bisa jadi Tante sedang pergi luar kota. Lha kalau kesana ternyata kecilik dan sana enggak siap kan runyam, buang-buang waktu, bensin, dan tenaga.
Dan hari itu juga masih belum ada balasan.
Dan pada akhirnya keluar pengakuan dari Bude bahwa dia menggunakan uang biru itu untuk naik angkutan sampai ke tujuan. Untung bude masih menyadari bahwa uang biru itu nominal nya tinggi, jadi seharusnya nggak bakalan kurang. Karena Budeku sudah sangat lama tidak bersosialisasi, jadi buta dengan informasi dunia baru. Nggak dapat kembalian katanya. Walaupun menyayangkan beliau dibohongi, tapi gpp yang penting Bude enggak jalan kaki sejauh itu. Kalau jalan kaki sampainya bisa semalaman, bahkan lebih. Itupun kalau masih punya tenaga 🤦.
Lalu sekarang Tante bersama suaminya datang kesini berkendara mobil, aku kira hendak menjemput Bude buat dolan kesana. Mereka datang pagi sesaat setelah aku pulang dari ngojek pagi, nganterin para anak ke sekolah dan para pegawai ke tempat kerja mereka. Di masa tenang ini, jeda setelah selesai jam sibuk pagi aku gunakan untuk beristirahat sebentar, mandi, makan, juga ngecas HP.
Ternyata memberikan wejangan ke Bude, bahwa dirinya itu sudah tua. Kan enak disini saja dolan sama keponakan-keponakannya. Nggak usah cari capek, cari masalah. Dirinya sampai malu sama suaminya. Padahal rumah tersebut sudah dibelinya, sudah atas nama suaminya.
Sambil wajahnya memerah keluar air mata, sesekali air ingus. Dirinya bercerita
"Aku ini sampai tidur di Kosan sana jadi Inang. Bayangkan kamar cuma ukuran 3X3. Ini demi anakku mbak!.
Aku yang biasanya hidup enak, semua serba ada, nyaman, rumah luas, harus tinggal, tidur di tempat seperti itu!. Ini kulakukan demi anakku!."
Sepengetahuanku, adik sepupuku, anak satu-satunya Tanteku yg cuma satu itu sudah lama menjadi seorang dokter, menikah dengan dokter pula dan mereka sekarang sudah dikaruniai anak perempuan yang mungil.
"Aku berjuang demi anakku yang sekarang sekolah lagi!. S2!. Butuh biaya besar!. Kalau bukan demi anakku aku nggak mau tinggal dikamar sesempit itu!."
"Kamu yang sudah tua harusnya mikir mbak!"
'Waw'
Aku yang ada di kamar sebelah menjadi muak. Aku ambil Smartphoneku dan menyalakan aplikasi Ngojek. Sudah hampir jam 11, berharap semoga bisa dapat orang pesan makan siang lebih awal, atau yang sarapan kesiangan. Daripada kelamaan dirumah.
Tak lama kemudian HPku berdering nyaring menandakan ada orderan masuk.
Aku lihat di layar, pekerjaan pick up makanan di sebuah resto. Dengan pendapatan Rp6.400.
Aku segera memakai seragam perlengkapan kerjaku, mengendarai motorku, lalu melesat menuju tujuan.
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).