Akhir-akhir ini tersiar banyak berita duka bersliweran disekitar kita. Dari pengumuman di Masjid, kabar burung dari tetangga, sampai notifikasi dari grup WA(WhatsApp) yang mengabarkan berita lelayu. Di jalananpun tak ketinggalan, ambulan lalu lalang disertai sirine yang memekakkan telinga. Dalam sehari kita bisa sampai berkali-kali menemuinya.
Di musim Covid ini banyak kematian yang diberitakan. Covid tidak berbahaya bila menghinggapi orang berbadan sehat. Tapi menjadi membahayakan jiwa bila hinggap di tubuh orang yang sudah mempunyai penyakit bawaan sebelumnya. Virus tersebut banyak merenggut nyawa dalam artian seolah mempercepat kematian seseorang dari waktu yang seharusnya. Memangkas waktu harapan hidup menjadi lebih singkat.
Mengenai banyak kabar duka itu bagaimana kita menyikapinya?. Memang banyak yang membalas dengan ucapan belasungkawa. Apalagi kalau kita menemukannya di WA. Ramai kata-kata mutiara bertebaran disertai emoticon dan stiker yang menunjukkan berdukacita. Tapi apa benar mereka semua yang mengucapkan hal itu merasa sedih, merasa kehilangan?. Bohong kalau mereka merasa sedih, sedangkan kenal saja enggak. Mayoritas dari mereka atau bahkan kesemuanya mengetik kalimat duka tersebut tanpa mempunyai rasa apapun.
Tentunya ada orang-orang tertentu yang benar-benar merasakan kehilangan bila orang tersebut memiliki arti dalam hidupnya. Dan itu tidak berlaku merata bagi semua orang.
Ibuku mendapat kabar bahwa pamanku yang sering menyempatkan diri mampir ke rumah sedang terbaring sakit. Ya memang beliau adalah satu-satunya paman yang dekat dengan kami para keponakannya. Walaupun bukan dalam segi finansial, tapi keberadaan beliau yang sering mampir dolan itu menjadi ikatan emosional tersendiri. Walaupun kami ada rasa gondok akan suatu hal dimasa lalu. Tapi keberadaannya disisi kami menjadi suatu keistimewaan tersendiri.
Bila sampai ada berita duka dari yang lain yang masih bisa dianggap "masih keluarga". Aku dan adik-adikku tak akan pernah meneteskan air mata setetespun. Jangankan merasa sedih. Dianggap kenalpun paling cuma tahu namanya.
Sore itu dengan berseragam Ngojek, aku mampir kesana membawakan buah-buahan dan beberapa makanan lainnya titipan Ibu buatnya. Yah ini bukan pertama kalinya pamanku sakit seperti ini. Dan beliau selalu berhasil sembuh kembali.
Setelah berbincang beberapa saat aku salim mohon pamit hendak melanjutkan bekerja (ngojek).
"Ndang mari Om, ndang iso dolan meneh neng Graha" aku melambaikan tangan beranjak dari sana. Beliau membalasnya dengan mengangguk.
Tanpa aku tahu... bahwa itu ternyata adalah percakapan terakhirku dengannya.
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).