Pikiranku melayang-layang mengingat kejadian tempo hari. Dadaku terasa bergejolak.
Aku baru mengetahui secara jelas bila ternyata seseorang yang ada di dekatku itu sangat berbeda dengan yang aku kira. Benar kata peribahasa "Dalamnya laut dapat diukur dalamnya hati siapa yang tahu". Seorang pelanggan baruku yang ternyata mantan pegawai di perusahaan rekanan yang dulu pernah aku tangani saat menjadi pegawai di toko Komputer membeberkan informasi yang diketahuinya saat secara tidak sengaja aku membahas sebuah kisah dari masa lalu.
"Mas kenapa dulu tidak pernah mampir lagi ke Bank Artha Daya?".
"Kan outlet kami tidak pernah dihubungi lagi oleh bagian IT mas Bagiyo. Saat dihubungi follow up selalu mengatakan stoknya masih". Ujarku mengingat.
"Tapi teman mas setiap bulannya selalu datang kesana lho. Itu yang orangnya pendek, potongan rambutnya cepak kayak gundul".
"Boby?"
"Nggak hafal namanya mas. Tempat duduk saya ada ditengah tidak jauh dari tempat duduk kerja mas Bagiyo makanya seringkali melihatnya".
"Oh dia waktu itu memang sudah keluar duluan dari outlet jauh sebelum saya keluar mbak.
"Kalau tidak salah dulu saya memang pernah mendengar percakapannya dengan Bagiyo. Membahas masalah servis.. katanya terserah Bagiyo mau lewat toko atau langsung ke dia. Kalau lewat toko katanya nanti juga bakalan ke dia, karena dia yang nyervis. Bagiyo menjawab wah ya mending langsung ke dia saja katanya". Padahal mas kan yang melayani BAD sejak awal berdiri dan beroperasi"
Kalau masalah ngambil mengambil pelanggan aku kira itu hanya masalah bisnis saja. Namun tetap aku sayangkan karena ia telah melanggar etika yang tidak tertulis untuk menjaga agar toko tempat kerjanya sebelumnya tetap hidup. Aku memang mengetahui ia mengambil beberapa pelanggan toko. Mungkin dari segi pandangnya, yang penting bagaimana aku bisa ada pemasukan untuk menjalankan usahaku. Ia sudah berpikiran ia sudah tidak mempunyai gaji lagi dan harus mendapatkan pemasukan bagaimanapun caranya. Sementara kami yang masih menjadi orang gajian mulai berfikir bagaimana toko bisa menggaji kami bila pelanggan semakin sedikit, penjualan semakin menurun, selalu merugi ? . Sepertinya ia tidak mau mengambil pusing akan hal itu.
Hanya masalah kebaikan dari Boss pemilik usaha yang masih melakukan kewajibannya menggaji kami tepat waktu. Sampai kesabarannya mulai habis. Lingkungan kerja menjadi tempat yang tidak menyenangkan. Membuatku terpaksa keluar dari lingkungan yang sudah tidak sehat ini. Memulai bisnisku sendiri.
Ya.. sejujurnya aku memang sudah lelah akan semua itu. Disanapun aku seolah-olah bekerja sendiri. Dari mencari pelanggan, mengantarkan barang hingga mengatasi complain. Sedangkan rekan kerjaku yang seharusnya berbagi tugas denganku hanyalah si gendut yang pemalas. Dari "lambe turah"nya juga aku bisa mengetahui desas desus disekitarku yang mereka bicarakan dibelakangku, yang mereka rahasiakan dariku. Ya.. apa bedanya dengan bekerja sendiri? malahan hasilnya bisa lebih besar karena kita sendiri yang mengatur pendapatan.
Aku masih ingat saat Boby berkunjung ke outlet untuk mengambil barang servisan outlet untuk diservisnya. Posisi dia sebelumnya memang teknisi toko dan kami belum punya teknisi pengganti yang punya kemampuan sama dengannya. Salah satu rekan berkata sebentar lagi bulan Ramadhan. Dia langsung menyeletuk "Dadi pegawai sing diarep-arep THR terus, pikirane kok THR wae. Sing iso diandalke kok cuma THR"(Jadi pegawai yang diharap-harap hanya THR melulu, pikirannya THR melulu, yang bisa diandalkan hanya THR) sambil tertawa sinis. Padahal rekan yang berkata demikian tidak berpikiran ke arah itu. Ia terlihat sombong dan merendahkan kami dengan berkata demikian.
Aku sambi mengerjakan printer di depanku.
"Dia sekarang sudah menikah mas".
Perkataan itu membuat jantungku seakan berhenti sejenak. Untuk beberapa detik aku hanya terdiam tidak tahu bagaimana sebaiknya merespon.
"Dia menangis seharian buat mas".
Aku menghentikan sejenak pekerjaaanku. Perlahan menengok ke arahnya.
"Apa maksud mbak?..."
"Bagiyo tahu dari Boby mengatakan pada saat itu mas sebentar lagi mau dilamar teman SMA mas yang punya perusahaan besar. Terlihat jelas saat itu dia menunduk, matanya berkaca saat mendengarnya. Tetap berusaha tegar. Sambil mengatakan ya sudah kalau gitu dia akan tetap jadi dengan pacarnya. Tapi tetap saja yang namanya perempuan tidak lama berselang ia kebelakang, air matanya meleleh dengan derasnya. Sampai-sampai pak Heru General Manager kami mengomando kami untuk membiarkannya sendirian, tidak mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang malah membuatnya semakin sedih.
"Mas sekarang sudah menikah?" ucapnya ragu.
Aku hanya bisa tersenyum.. sebuah garis lengkung yang patah.
Betapa aku tidak menyangka dipermainkan oleh orang-orang disekitarku.
Boby tidak mengatakannya kepadaku tapi mengatakannya kepada orang lain, kepada kekasihku. Sementara aku adalah orang pertama yang berhak mengetahui hal itu. Aku tak pernah membahasnya karena bagiku ia bukanlah hal nyata. Tidak lebih dari sebuah delusi yang menggangu kehidupanku.
Bagaimana aku bisa menyebutnya nyata sedangkan dia sampai detik ini tidak pernah mau menampakkan diri kepadaku. Bagaimana aku bisa menyebutnya nyata sedangkan dia sampai detik ini sama sekali tidak pernah menghubungiku. Dan kenyataannya hal itulah yang terjadi. Dia hanya mempermainkanku dengan segala omong kosongnya tentang.. entah apa ia menyebutnya untuk dirinya sendiri.
Lelaki juga punya hati, punya airmata untuk diteteskan dikala ia merasa
sakit. Wanita memang menangis dengan air mata, tapi lelaki lebih sering
menangis dalam hati. Dan itu jauh lebih sakit.
Aku bisa mengatakan aku memang mengenal Boby, karena aku telah menjalin hubungan perniagaan dengannya selepas ku mengundurkan diri dan membangun usahaku sendiri. Saat ia memasuki penawaran ke perusahaan-perusahaan sekitar lingkungan rumahku, walaupun beberapa lama sebelum itu ia tahu domisiliku akan berpindah ke daerah situ. Tak mengapa bagiku kalau dia mau susah-susah, jauh-jauh datang ke daerah sini dari domisilinya untuk mendapatkan pelanggan. Ujung ke ujung sih kalau aku menyebutnya. Aku pribadi lebih suka efektifitas wilayah pemasaran. Teringat saat ia langsung menjatuhkan harga sparepart yang sudah terpasang di sebuah printer A3, sebuah benda kecil bernilai sekian ratus ribu rupiah, nominal yang wow pada saat itu. Membuatku merasa bersalah kepada pelanggan karena pelanggan merasa tidak dikonfirmasi terlebih dahulu. Padahal akupun mengalami hal yang sama. Akhirnya pelangganku itu tidak pernah menghubungiku sama sekali. Entah ia mengambil untung berapa, sementara bagiku merupakan sebuah kerugian karena kehilangan pelanggan yang merupakan aset. Begitu juga saat aku sakit dan meminta bantuannya mengatasi keluhan seorang pelanggan. Aku tidak meminta keuntungan jasa, itu haknya dia. Aku hanya berharap menjaga pelanggan agar tidak ke lain hati. Ternyata ia tidak menganggapnya sama sekali. Dan aku baru mengetahuinya setelah beberapa hari, setelah aku sehat kembali saat mengkonfirmasikan hal tersebut ke pelanggan. Lagi-lagi aku kehilangan aset. Kalau memang benar-benar tidak bisa kan bisa mengatakannya kepadaku. Sehingga aku bisa menyerahkan kepada yang lain. Bukan hanya diam dan pura-pura lupa, seperti tidak pernah terjadi.
Potongan-potongan puzzle itu mulai tersusun. Saat ia mencoba menawarkan jodoh dengan seseorang perempuan yang tidak sepadan dengan ku. Ia memperlihatkan fotonya di layar HP miliknya. Aku waktu itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepala isyarat menolaknya. Setelah aku pamit dan berlalu dari tokonya dari jauh aku mendengar istrinya mengatakan "Yah, kamu tu lucu. Temanmu tuh ganteng, gagah, bagus. Kamu tawarkan yang seperti itu. Apa kamu mau dengan perempuan yang kamu tawarkan itu?. Ia menjawab "Emoh" sambil tertawa terkekeh. Lalu saat ia menasehati anak lelakinya yang saat itu baru saja masuk SMP. Masalah jodoh. Agar tidak boleh putus kontak bila nantinya ada teman perempuan yang dia taksir. Ia mencontohkan diriku. Hal itu aku dengar setelah beberapa jauh meninggalkan rumahnya. Mozaik-mozaik itu mulai terlihat jelas, tidak lagi buram.
Sikapnya terhadapku saat awal aku merintis usaha, menganggap aku hanyalah beban. Menjawabku dengan nada sinis. Ternyata itulah dirinya yang sebenarnya. Aku yang saat ini bukan lagi seorang naif yang hanya melihat dia sebagai satu satunya rekan. Aku bersyukur akan hal itu. Kesombongannya akan keahliannya, padahal dirinya bukan satu-satunya teknisi diluar sana. Diatas langit masih ada langit. Masih ada banyak langit dan aku menemukannya. Membuka wawasanku, pergaulanku ke arah yang lebih luas. Tidak hanya berkutat kepada ia seorang. Dan bagi mereka aku juga merupakan rekan kerja, seorang aset.
Kami terpedaya dengan sosoknya yang kelihatannya jujur. Saat-saat susahnya bersama kami saat menjadi sesama rekan pegawai outlet.
Aku tidak menyangka bahwa Boby..
ia ternyata tak lebih dari manusia tamak yang hanya memikirkan dirinya
sendiri. Keluarganya itu termasuk kepentingan pribadinya. Ia tidak
peduli kepada kepentingan selain kepentingan dirinya.
Malangnya aku masuk ke dalam lingkup kehidupannya.
Didepanku telah tergeletak sesuatu yang terbakar oleh api hitam dan hampir hilang tak berbekas.
Tidak seperti biasanya aku tidak ingat apa yang barusan terjadi.
"Ketemu!"
Aku memalingkan wajahku ke arah suara barusan. Sosoknya terlihat sedikit berbeda dengan para angkara yang biasa kulenyapkan. Wujudnya lebih kekar, Susunan armor di tubuhnya terlihat lebih kompleks dan tebal berisi. Ia berjalan ke arahku.
"Jangan kau pikir aku ini sama dengan mereka-mereka yang telah kau kalahkan sebelumnya" ucapnya penuh percaya diri. Kau pasti belum pernah bertemu lawan sepertiku. Akan aku tunjukkan perbedaan level 3.
Aku tidak memikirkan apa yang ada didepanku ini. Aku sama sekali tidak menganggapnya. Ingatanku masih berputar dalam alam bawah sadarku.
Dari sana aku juga mengetahui Bagiyo memiliki visi yang sama dengan Boby. Mereka menilai harta memiliki peran yang sangat besar akan
kebahagiaan hidup seseorang. Semua ditentukan hanya oleh harta, tidak ada variabel lainnya. Bila Boby berfikir doi tidak akan bahagia denganku karena pengalaman pribadinya. Maka ia salah. Ia tak
berhak menghakimiku!. Doi berbeda, ia adalah seorang yang mandiri. Doi pasti mau berjuang denganku membangun kehidupan dari awal. Berbeda dengannya yang merasa seorang suami yang harus mengerjakan dan mencukupi semuanya, menahan segala bebannya sendiri. Sekalipun harus mengorbankan orang lain. Padahal pendidikan yang dimilikinya tidaklah tinggi. Ia terlalu sombong bila berfikiran demikian lalu menghakimiku. Lalu mengapa ia meneruskan perkawinannya dengan istrinya sampai saat ini?. Bukankah harta yang menjadi tolak ukurnya? Apa ia sudah kaya dari dulu? sekarang?.
Aku juga berhak untuk bahagia!
Aku membalikkan tubuhku menyongsong serangan makhluk yang menerjang kearahku itu. Menangkap tangan kanannya, memeluknya lalu menerkamnya ke tanah. Nampaknya ia terkejut begitu mudahnya diriku menjatuhkannya. Ia kutindih dan kembali aku hujamkan cakarku berkali-kali. Dengan sekuat tenaga ia berhasil mendorong tubuhku kesamping lalu bergegas bangkit.
"Apa-apaan ini!?" Ia mundur menjauh sambil meraba luka terkamanku. Tampak dirinya mulai gentar menghadapiku.
Aku yakin jauh dalam lubuk hati Bagiyo ia juga pasti merendahkan Boby yang memiliki tingkat pendidikan jauh lebih rendah dibawahnya. Sedangkan Boby hanya melihat apa yang menguntungkan bagi dirinya. Kalau ia juga menganggapku sebagai orang susah. Aku justru melihatnya sebagai orang susah yang sebenarnya. Ia tega menjual kebahagiaanku demi beberapa lembar rupiah setiap bulannya yang pastinya mempunyai nominal yang saangat besar bagi orang semacam dia. Ikatan bagi ia hanyalah masalah untung dan rugi. Dan ikatan seperti itu tidak bertahan selamanya. Terbukti, semenjak Bagiyo risen, Boby tidak digunakan lagi oleh BAD.
Amarah, rasa kecewa bergejolak mengaduk-aduk dadaku membuatnya terbakar meledak-ledak tak karuan. Perlahan kesadaranku mulai menghilang.
Bukan di sinetron-sinetron maupun film-film drama. Aku menemuinya di dunia nyata, di dekatku. Ada manusia sebusuk itu.
Tak kuberi kesempatan ia bernafas. Aku melesat dengan kecepatan yang belum pernah aku capai sebelumnya. Mengaum lalu menerjangnya. Baru kali ini aku menggunakan style bertarung seperti ini. Liar, ganas dan tanpa ampun.
Perlahan tapi pasti aku mengikis semua armor pertahanan yang menempel ditubuhnya. Sedangkan ia hanya bisa bertahan.
"Jangan remehkan aku!!!" Ia yang sudah kewalahan membuka pertahanannya dan mencoba adu pukulan denganku. Sepertinya itu adalah kesalahan yang fatal.. untuk saat ini.
Kesadaranku lenyap tak berbekas.. seolah ada kekuatan asing yang mengambil alih tubuhku. Cakaran, tusukan, terkaman. Tubuh yang terkoyak-koyak lamat-lamat membekas dalam ingatanku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).