Hari ini adalah hari Minggu, hari dimana sebagian besar rider ojol mengambil libur beristirahat untuk keluarga mereka. Hari dimana aku sangat bersemangat bekerja karena ekstra cuan yang bisa kudapatkan bisa lebih dari hari-hari kerja biasa.
Dan pagi ini terjadi suatu peristiwa yang tak terduga. Aku mengantarkan paket yang sepertinya berupa makanan/sarapan dari sebuah katering, dua tempat sekaligus dalam satu arah. Di rumah tujuan yang terakhir kudatangi itulah.. aku bertemu dengannya.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, dan bagiku ini sungguh suatu kejutan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Setelah sekian lama, entah sudah berapa puluh tahun berlalu. Saat ini, dia berdiri dihadapanku. Teman satu SMPku. Histi ada dihadapanku yang sedang mengantarkan paket untuknya.
Suasananya sepi.
Kepalanya dibalut handuk, disebelahnya terdapat ember dan tongkat pel, dia berdiri didepan pintu rumahnya yang berada dipojokan gang yang nampak seperti bangunan baru dibangun, temboknya masih acian belum dicat, lantai halaman rumahnya juga masih plesteran belum rapi dan ada sebuah mobil tipe keluarga berwarna putih yang dikrukupi plastik bening terparkir masuk di dalam rumah bagian samping. Sosok ibu rumah tangga sekali. Ya.. usia kami sebaya, apalagi dia seorang perempuan jadi dirinya pasti sudah menjadi istri dari seseorang, entah itu siapa.
Sosoknya masih sama dari terakhir kami bertemu, perempuan cantik berkulit sawo matang dengan tubuh gempal. Wajahnya benar-benar masih sama seperti dirinya saat SMP, hidungnya yang mungil mbangir itu menjadikan wajahnya semakin enak untuk dipandang. Ya, tidak salah lagi, apalagi nama yang tertera sebagai penerima adalah Histi, nama dirinya.
Rata-rata teman-teman perempuanku yang berusaha ingin dekat denganku mempunyai hidung mbangir.
Apa oleh sebab itu hal tersebut secara tidak sadar menjadi terpatri dalam alam bawah sadarku?. Sehingga aku bisa begitu terpesona saat pertama kali melihat gadis Apotek itu?.
Saat itu aku tidak melepaskan helmku dengan alasan kepraktisan, jadi setelah serah terima paket aku bisa langsung kembali meluncur. Dan aku benar-benar tidak menyangka kejadian ini.
Aku bercakap-cakap dengannya dengan bahasan standart antara proffesional dengan customer, seperlunya. Moment yang berlangsung hanya sekian detik saja.
Mata kami saling bertemu. Menatap mata lawan bicara adalah suatu adap.
Diriku yang bermasker dan masih mengenakan helm fullface. Apa dia bisa mengenaliku hanya dari sorotan mata?. Sepertinya itu akan sulit. Sedangkan aku.. akhirnya aku bisa melihat lagi sosoknya secara penuh, setelah sekian lama. Apa ini bisa dianggap sebagai suatu keberuntungan?.
Semasa SMP, para tetanggaku yang berhati busuk berusaha merusak nama baik dan kehidupanku sampai ke lingkungan sekolah. Beredar rumor-rumor negatif tentangku dan Histi juga pasti sudah mendengarnya.
Waktu aku absen dari sekolah sampai beberapa lama karena sakit, dia adalah satu-satunya teman perempuan yang menjengukku ke rumah. Bisa dibayangkan usaha dirinya untuk bisa mengetahui rumahku, diusianya yang saat itu masih SMP. Tentu aku terkejut dengan kehadirannya di kamarku, yang tentunya sudah dipersilahkan masuk oleh Ayahku pada waktu itu. Sayangnya saat itu aku juga sedang sakit cacar air, membuatku malu, nggak pede karena hal itu sangat mengganggu penampilanku. Namun dia bersikap biasa saja, sama sekali enggak ada mimik jijik atau gimana gitu, misalnya takut ketularan.
Entah bagaimana caranya aku nggak tahu. Saat SMA aku bersekolah diluar kota dan dari dirinyalah aku menerima surat yang ditujukan kepada diriku untuk pertama kalinya, dari seorang perempuan pula. Aku jadi kepikiran sahabat pena sih.
Amplop bernuansa pink dengan sedikit gradasi putih yang memasang tema Eropa steampunk dengan gambar sepasang kekasih, kita bisa menyadari itu hanya dari melihat pose keduanya; seorang gadis yang menyambut kedatangan seorang pemuda turun dari kereta api, bau kertasnya juga harum, wangi-wangi, stiker penutup amplopnya juga berbentuk hati merah(love gitu).
Alamat rumahku di Surabaya dulu hanya berupa nama jalan dan RT-RW, tidak ada alamat tepatnya seperti nomor rumah. Jadi surat-surat yang datang, berkumpul di tempat pak RT yang kebetulan rumahnya berupa toko kelontong dan lokasinya strategis berada di depan jalan raya. Nanti beliaulah yang meneruskan ke warganya. Dan aku menerima amplop tersebut dari ayah sudah dalam keadaan dibuka. Ternyata Papa Mamaku sudah menginspeksinya terlebih dahulu -_- . Nggak ada deh yang namanya privasi -_-. Padahal aku kan sudah gede.
Itu adalah surat dari Histi.
Tentu aku bertanya-tanya bagaimana cara dia bisa berkirim surat kepadaku?. Aku pernah mengisi alamat baruku dimana?. Sedangkan saat itukan aku masih SMP, dan memang Ayah sudah mengawali hidup dan mengambil kontrakan di Surabaya sana sebelum kedatangan lengkap kami.
Dari pembungkusnya saja sebenarnya sudah bisa ditebak arah surat tersebut. Ayahku tersenyum penuh arti kepadaku.
Aku cuma bisa membalasnya dengan bahasan yang biasa saja. Nggak mungkin aku nulis yang macam-macam seperti untaian kalimat puitis gitu -_-. Bikin malu, intinya aku hanya menulis pertemanan. Karena sudah bisa dipastikan ayah ibu ku pasti akan membacanya terlebih dahulu sebelum dikirimkan. Ya, saat itu wawasanku masih minim jadi semua hal mau nggak mau pasti aku serahkan lewat ayah.
Aku tunggu lama, tidak ada surat balasan lagi darinya. Apa karena balasanku sebelumnya tidak memberikannya harapan atau terlalu biasa saja?. Atau dia sudah mengirimkan balasan, tapi suratnya tidak nyampai?, hilang di tengah jalan?. Bisa jadi, karena waktu itu juga tidak ada telepon jadi cara berkomunikasi pada waktu itu sangatlah terbatas.
Saat berkunjung ke Semarang. Selalu ada dua hal yang terlintas dikepalaku. Yang pertama mengunjungi Hendra, dan yang kedua adalah mencari alamat Histi berbekal alamat SIP(Si Pengirim Surat). Ditemani Ayah yang mengantarku berkeliling dalam mencari alamat rumahnya. Cuma beliau lah yang bisa kuandalkan dalam mencari. Namun hasilnya nihil, kami tidak bisa menemukannya. Padahal nama jalannya sudah sama lho, Mukti mukti gitu dibelakangnya. Aku sampai bertanya kepada warga yang ada, namun tidak ada hasil. Karena waktu berkunjung kami sangat terbatas, jadi aku anggap gagal menemukan rumahnya. Saat itu belum ada akses internet apalagi Google Map, semua serba manual dan itu sulit. Saat itu juga enggak sampai kepikiran untuk bertanya kepada pak Pos juga. Aku tidak bisa menyalahkan ayah ku juga karena beliau bukan orang lapangan yang mengetahui banyak nama jalan kecil. Paling cuma tahu nama jalan besar/utama. Makanya dulu(sampai sekarang juga sih) saat memberikan alamat, sebaiknya juga disertakan ancer-ancer nya. Dari jalan besar apa ke arah mana gitu, dari nama bangunan terkenal apa gitu disebelah mananya.
Beberapa tahun lalu aku baru tahu bahwa perumahan dengan nama mukti dibelakangnya bukan cuma satu. Ada dua, dari dua Kecamatan, juga berada di dua Kelurahan yang berbeda, sekalipun bersebelahan selisih beberapa km. Itupun setelah mendengar pelanggan printerku yang mengungkap bahwa dulu tanah milik owner perusahaannya dijual dan diberi nama perumahan yang sama.
Aku tidak akan menyapanya. Biar seperti ini saja.
Tentu saja terlintas pikiran andai saja dia masih lajang, aku pasti akan langsung melamarnya. Sayang saat bertemu nya kok saat kami berdua sudah setua ini.
Karena sekarang, dia juga pasti sudah menjalankan perannya sebagai istri seseorang. Tidak ada yang namanya teman lawan jenis selain pasangan hidup kita.
Aku sudah cukup senang kok melihatmu menjalani hidup dengan baik.
Senang bertemu lagi denganmu Histi. Senang, bisa lihat kamu lagi.
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).