"Nggak apa-apa. Nanti pasti tetap aku bayar. Ia boleh kok ngambil dari amalanku. Pastinya juga nggak seberapa bila dibandingkan dengan semua amalan jariyahku yang beranak pinak sampai hari akhir nanti." Ujar Toying memasang wajah sinis.
"Jadi bapak tidak merasa bersalah sama sekali?".
"Sampai sekarang rezekiku terus mengalir dengan deras, sekalipun aku cuma ongkang-ongkang kaki. Itu tandanya aku tidak berbuat salah!. Toh aku cuma membiarkan semuanya berjalan, tanpa memperdulikannya, terserah akibatnya bagaimana. Yang melakukan sisanya itukan anakku.".
Pertanggungjawaban orangtua selesai pada saat anak laki-laki mencapai akhir baliq. Tapi tanggungjawab terhadap anak perempuan selesai saat anak perempuannya itu menikah. Bagaimana kalau setelah menikah bercerai?. Ya kali, mantan suaminya yang bertanggungjawab. Ya kalau sampai begitu.. tanggungjawabnya kembali lagi ke orangtuanya terutama ayahnya sebagai wali, apalagi ia masih hidup.
Dirinya bukan mualaf kan?. Sudah dari lahir sebagai orang Islam bukan?, ikut agama orangtuanya. Sudah setua ini kok bisa nggak tahu?. Memalukan.
"Ternyata yang ada didepanku ini bukanlah seorang laki-laki, tapi seorang pengecut."
Senyap untuk beberapa saat.
Suara dering telpon membuyarkan suasana hening. Oleh Toying diangkatlah telpon didepannya. Ternyata itu istrinya.
Dengan nada tinggi seakan memberikan penekanan Toying menyerukan pada gagang telpon.
"Aku perintahkan kamu sekarang juga pulang kerumah!. Kamu itu dosa!. Berani menentang keputusanku, berani membantah perintahku!. Aku ini suamimu!. Dosamu itu banyak!.
"Dosa kamu lebih banyak!. Sengit suara dari seberang.
"Anakmu sampai meratap-ratap tapi kamu nggak peduli. Bapak macam apa kamu!".
Istrinya sama sekali tidak keberatan bila Toying hendak menceraikannya. Ya mana mau.. Toying juga sadar bahwa istrinya adalah wanita terbaik yang bisa ia kawini. Karena opsi selain istrinya sekarang ini.. yang mau dengannya hanyalah pelacur(sejak dulu sih ini).
Mungkin Toying memang menganggap aku layaknya serangga. Jadi ia abai terhadapku, tidak menganggapku ada dan membiarkan aku mendengar semua ini". Istrinya pergi dari rumah bersama putrinya karena sudah cukup bersikap sabar secara pasif. Diapun mulai melakukan pergerakan yang seharusnya sudah ia lakukan semenjak dahulu. Itulah yang aku simpulkan dari semua kejadian ini.
"Ingat!, aku nggak akan memberikanmu uang belanja!. Akan kublokir semua akses kartu kreditmu sebelum kamu kembali!. Aku sudah kepingin!. Kamu dosa!. Lagi-lagi hal itu yang dilontarkan oleh Toying. Perkara dosa. Sungguh picik, bahwa suatu dosa bila sampai menentang keinginannya. Benar-benar dangkal.
"Pokoknya kamu kembali dulu!. Itu persoalan gampang!."
"Aku nggak akan kembali sebelum kamu berani melaksanakan janjimu terlebih dahulu!". Ujar suara dari seberang.
Aku bisa mengetahui bagaimana perasaan istri dari Toying. Karena bagaimanapun juga "Janji seorang pendusta tidaklah berharga".
Kami sebagai pegawainya saja tahu bagaimana pribadi sebenarnya darinya dan yang mana pribadi yang ditampilkannya didepan kami sebagai pencitraan. Apalagi istrinya sendiri, tentu lebih tahu bagaimana tabiat asli dari Toying. Seorang yang gemar menjilat ludahnya sendiri.
Bagaimanapun juga semua ciri munafik nampak kepada pimpinan kerja kami ini. Mungkin saja hal itulah yang mengangkat karirnya sebagai pengusaha sampai sejauh ini, dalam waktu yang bisa dibilang singkat pula. Karena ia tega dan tidak tahu malu. Yang penting bisa berhasil.
Aku masih terus mendengar percekcokan mereka. Dan Toying nampaknya memang tidak peduli mengenai hal ini. Nampaknya ia benar-benar menganggap keberadaanku layaknya serangga.
Saat dirinya berani melakukan maksiat secara terang-terangan, sedangkan jelas ia tahu bahwa Tuhannya sedang melihatnya, juga mendengarnya. Aku penasaran, saat itu Tuhan ia anggap apa?.
Toying berisikeras bahwa ia bisa menutup semua dosanya dengan amal jariahnya bahkan masih lebih-lebih karena amal tersebut terus beranak-pinak sampai hari akhir nanti, berbeda dengan istrinya yang punya harta saja pemberian darinya.
Apa ia pikir Tuhan memberikannya umur panjang agar ia bisa berkata seperti itu?. Agar ia bisa berpikir seperti itu?.
Toying menyuruh istrinya untuk mengingat bahwa semua harta yang sekarang dipunyai dan dinikmati olehnya, semua adalah pemberian dari Toying.
Perdebatan diakhiri dengan pemutusan telpon secara sepihak. Toyingpun meletakkan gagang begitu saja.
Sungguh ia benar-benar miskin, sehingga satu-satunya yang ia punya hanyalah uang.
Toying boleh menyebut dirinya calon penghuni surga. Tapi bagi kami yang mengenalnya, ia tak lebih dari calon ahli kubur.
Aku seorang proffesional. Seperti halnya reaksi kami saat ia memamerkan kepada kami boneka robot anjing yang ia bawa pulang dari Jepang. Kamipun membalasnya dengan bersikap manis, tertawa memuji seperti yang ia harapkan, karena bagi kami itu adalah bagian dari profesionalisme.
Aku tak peduli bagaimana tabiat dari Boss yang menggajiku. Aku tak keberatan menjadi pegawai yang digajinya, selama yang kulakukan memang profesionalisme pekerjaan. Saling menguntungkan.
Walaupun ia menganggap berkat dialah kami bisa makan, aku tak akan mempersoalkannya karena bagi kami sendiri ia cuma perantara. Lalu ia anggap apa customer dan klien yang memberikannya laba?. Dewa?.
Justru karena ia tidak bisa mengerjakan semuanya sendiri, makanya ia membayar kami untuk melakukannya, kamilah yang bisa melakukannya. Dan dengan cara itulah perusahaan bisa berjalan dan berkembang.
Coba satu kasus kecil saja. Sekalipun ia pemilik restoran. Apa ia bisa memasak, mencuci piring, membersihkan tempat, sampai menyajikan makanan ke customer sendiri?. Jawabannya bukan hanya tidak bisa, tapi juga mana mau ia melakukannya. Susah lho itu, capek harus berkeringat bekerja keras. Yang ada malah nggak jadi buka. Bukapun pasti sepi. Merugi. Nggak bisa dia menarik customer ketempat itu. Karena itulah ia membutuhkan kami untuk bekerja kepadanya, sebagai "wajah" yang mengerjakan semuanya. Ia cukup duduk manis dan membiarkan uang bekerja untuknya. Suatu kelas yang tidak banyak orang yang beruntung bisa menempatinya. Pemilik modal. Kalaupun ada yang ia lakukan sendiri ya paling riset pasar.
Dan kami juga sadar kok sebagai pegawainya sekeras apapun kami bekerja keras, sekuat apapun kami memeras keringat, sekeras apapun kami membanting tulang, kami tidak akan pernah bisa lebih kaya darinya selaku pemilik modal. Kami tahu itu, tapi kami tidak iri, tidak pernah mempersoalkannya, karena kami yakin penghasilan yang kami dapatkan jauh lebih berkah darinya.
Diatas semua itu. Tuhanlah yang memberikan kami rezeki. Andai dipecatpun, itu tidak akan membuatku mati kelaparan, karena rezeki sudah ada yang mengatur. Bukan dirinya yang memberikanku rezeki, tapi Tuhan.