Ini terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Di sebuah kompleks pertokoan. Sore hari menjelang, sebentar lagi jam pulang.
"Si Andika masih keluar ngirim barang?" tanya seorang berpakaian kemeja kepada pegawai toko komputer didepannya. Dia biasa ikutan ngadem di toko menjelang jam pulang. Dan penghuni toko justru senang dengan sikap tetangga mereka ini, sekalian menyemarakkan suasana, biar toko tidak terlihat sepi juga.
"Ia lagi kirim barang, baru saja keluar." jawab seorang pegawai yang menjaga di depan, Erwin namanya.
"Asmuni juga lagi keluar?". tanya Baskoro lagi, pegawai ruko sebelah, kantor koperasi simpan pinjam.
"Iya, katanya ada urusan sebentar".
"Kemarin bucin nya Andika mampir nanyain mas Bas. Katanya karena mas dekat sama Andika. Sudah ketemu?"
"Bucin itu apa?" Baskoro bingung sama istilah asing.
"Budak cinta, secret admirer nya Dika."
"Memang cewek musti gitu ya?. Nggak mau terus terang aja langsung saja sama orangnya." Ujar Baskoro.
"Yang seperti itu memang stylenya cewek jaman dulu ya mas?. Jaman sekarang mah cewek banyak yang agresif". Dia ngombinasiin keduanyakah?.
"Jadi bingung sebenarnya si Eli itu agrresif tapi kok nanggung. Maunya Andika yang nembak dia duluan gitu?. Sedangkan Dikanya sendiri bukan cowok peka. Diuntilin gitu juga percuma kagak bakalan bisa tahu kalau enggak terus terang langsung ama orangnya." Tambal Baskoro.
"Makanya dia senang sama mas yang masuk menjadi pemain pendukung demi membangun kepekaan si Dika."
"Aku cuma nyampein yang seharusnya aku sampein. Udah itu aja. Nggak ada pamrih kok."
"Malu mungkin. Dimana-mana itukan cewek seharusnya nunggu".
"Nggak juga sih, sebenarnya sudah dari jamannya Rosul sudah ada yang memberi contoh. Fatimah yang mencintai dalam diam, atau Khadijah yang datang kepadanya untuk menyatakan rasa. Hanya saja budaya kita dan sebagian besar masyarakat di dunia itu menyatakan seperti itu. Laki-laki menang nembak, perempuan menang nolak. Jadi secara norma umum ya itulah yang semestinya terjadi. Berhubung kita orang Islam juga, maka harusnya tidak menjadi masalah bila sang perempuan menampakkan perasaannya terlebih dahulu."
"Terus gimana?. Mas Bas terima tawarannya buat jadi pegawai di perusahaan dia?. Gajinya kan gede mas."
"Aku juga masih punya pikiran Win. Aku ini Sarjana seperti halnya dengan sarjana kebanyakan. Disana banyak yang lebih pintar dariku. Enggak kekurangan orang pinter kok. Malahan penampilan fisik mereka rata-rata paling juga jauh diatasku. Bagaimanapun juga itu perusahaan bapaknya, bukan dia. Jelas-jelas bapaknya itu rasis. Dika yang gantengnya seperti itu saja, yang gagah, agamanya baik, akhlaknya bagus, otaknya cerdas kayak gitu saja ditolak hanya karena bukan dari keluarga kaya, enggak "sejenis" pula ama dia. Gimana coba bapaknya itu memandangku yang nggak cuma "satu jenis" sama Dika, tapi juga punya tampang pas-pasan, sarjanapun dengan nilai yang biasa-biasa saja?. Dijadiin keset paling (Keset adalah alat pembersih kaki yang diletakkan di lantai)."
Erwin tertawa terpingkal-pingkal.
"Malah ketawa".
"Sampeyan lucunya realistis mas." Erwin masih tertawa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).