Seperti biasa aku memulai ibadah menjelang malamku di bulan Ramadhan ini dengan berangkat menuju masjid. Seperti biasa Sugeharto yang terkadang bersama menantunya kalau tidak duduk-duduk di halaman ya duduk-duduk di beranda rumah sembari menyaksikan kami orang-orang yang berlalu-lalang menuju masjid untuk mencari pahala sebesar-besarnya di bulan yang penuh barakah ini.
Namun yang mengganggu pikiranku adalah kenapa setelah aku lewat. Sempat-sempatnya Sugeharto mengucapkan kalimat
"Dasar Para pencari Takjil".
'Kenapa bukan Para Pencari Tuhan?'
Aku tahu dia pasti sudah tidak menyukaiku semenjak aku memberikan nasehat yang pantas untuknya tempo hari.
Tapi kalimat diatas itu kok seperti dia menganggap rendah orang yang berbuka puasa di masjid. Memang sebelum azan maghrib tiba aku segerakan diriku berangkat ke masjid. Disana kami bisa ngabuburit mendengarkan pengajian dan bisa menanyakan banyak hal yang berhubungan dengan teknis agama. Sebelum akhirnya berbuka puasa menikmati minuman dan cemilan yang sudah disediakan lalu menunaikan shalat maghrib berjamaah.
Sedangkan dirumahku sendiri sebenarnya semuanya juga sudah lengkap tersedia kok.
Justru yang harusnya senang adalah orang-orang yang sudah mau berbagi takjil tersebut. Bayangkan saja semisal satu hari saja ada tiga puluh orang yang berbuka puasa di masjid itu. Dikalikan tiga puluh hari. Padahal satu kali saja, pahalanya sebesar pahala puasa orang yang diberikannya berbuka tanpa mengurangi pahala orang tersebut. Bayangkan berapa besar itu pahala yang diterima. Kalau orang sadar akan hal itu. Pasti mereka justru berlomba-lomba untuk memberikan takjil kepada para jamaah. Dan bayangkan bagaimana perasaaan mereka bila tidak ada satu orangpun yang mau menyentuh takjil itu.
Pernah juga dia mencibir salah satu keluarga disini yang kelima anaknya masih lajang semua. Iya aku tahu Sugeharto ini beruntung sudah mendapatkan pasangan hidup yang sepadan dengannya, yang setipe, sesuai dengan selera dirinya. Mungkin inilah yang dinamakan fetish. Harusnya dia bersyukur akan hal itu. Malahan harus banyak-banyak bersyukur. Nikmat manalagi yang engkau dustakan?.
Bahkan sebenarnya belahan jiwanya tidak hanya satu, bisa dua. Tapi sayangnya istrinya waktu itu tidak mengizinkannya. Sedangkan dia sendiri di depan kami malahan malu mengakuinya bahkan sampai marah-marah, sampai menghina-hina perempuan itu dengan menyebutnya babu. Wajar sih kalau dia juga sampai menghinanya dengan juga menyebutnya murahan dan sejenisnya, akibat kemarahan hatinya yang terluka mendengar kenyataan tentang "partner in crimenya"tersebut. Berusaha menyangkal dengan mengatakan bahwa wanita itu yang suka padanya, bukan sebaliknya. Kenapa nggak sekalian saja bilang bahwa istrinya yang naksir dia duluan, bukan dianya -_- . Sekarang saja bisa ngomong seperti itu, setelah yang bersangkutan sudah tiada. Dia malu karena profesinya sebagai pembantu?. Gaya. Kenapa malu?. Toh dirinya sendiri profesinya dulu juga tidak jauh beda. Sopir.
Huh, sekarang saja lagaknya semugih-sok kaya.
Dia sih enak, gampang nemuin perempuan yang sepadan dengan dirinya. Lha kalau misal itu aku?. Susah banget nemuin yang kualitasnya sama kayak ibunya anak-anak.
Aku tahu dia mengetahui lelucon yang aku lontarkan kepada bude Tejo tempo hari. Reaksiku akibat pola tingkahnya itu. Lelucon ditujukan bukan kepada orang yang tersinggung. Entah kapan ia mencuri dengar hal itu. Itulah jadinya kalau membaca hal yang bukan ditujukan untuknya, itulah jadinya bila mendengar hal yang bukan ditujukan untuknya. Merasa tersinggung sendiri, terus heboh sendiri. Padahal dari awal itu bukan untuk dia, jadi ya harus nya dia nggak perlu kepo.
Kenapa ia tersinggung mengenai lelucon nyambi gesek-gesek?. Kok rumongso banget-kok merasa sekali. Jelas-jelas itu hanyalah omong kosong. Reaksiku begitu mendengar kelakuannya. Sebuah omong kosong yang teramat jelas. Semua orang sini juga sudah teramat jelas tahu mengenai hal itu. Sebuah omong kosong.
Apa dia pikir orang-orang disini buta!?. Apa dia pikir orang-orang disini tidak bisa melihat!?.
Macam anaknya punya fisik artis saja. Kalau artis jelas hasilnya jauh jauuuh lebih besar dari hanya sekedar cuma Rp35 juta sebulan.
Sesumbar mau nyumbang sepasang ayam hitam saat pemuda yang didengkinya meninggal dunia dalam keadaan lajang. Suatu keadaan yang ia laknatkan/sumpah serapahkan kepada orang yang tidak dia sukai. Dia berpikir bahwa dia bisa mengakali Tuhan dengan melaknat seperti itu. Dia merasa sudah menikah, punya anak dan sekarang sudah punya cucu. Kebahagiaannya sudah lengkap, sempurna. Dia menganggap enteng Qisas. Dia berpikir karena orang yang disumpah serapahinya berbeda keadaan dengannya yang ia anggap bahwa dirinya sudah mempunyai segalanya. Kalaupun nanti sumpah serapahnya itu berbalik kepadanya. Apa coba yang mau dituju?. Jadi dia berpikir lebih baik nyumpahin karena menurut Sugeharto ini dirinya tidak akan rugi apapun. Entah Sugeharto ini tidak sadar atau memang tidak peduli. Bahwa ia mempunyai seorang anak sulung, anak perempuan yang masih belum menikah sampai saat ini. Dengan semua keadaan ini. "Orang-orang yang berpikir" pasti menemukan bahwa ini adalah suatu kebetulan yang menarik, suatu kebetulan yang terlalu mencolok untuk disebut kebetulan.
Semoga saja Sugeharto lebih memilih kebahagiaan anak perempuannya itu daripada kesengsaraan pemuda yang didengkinya. Walaupun aku sendiri tidak yakin karena pernah mendengarkan "kalimat itu" keluar dari mulutnya.
Kalau kedua pilihan itu disodorkan kepadanya. Aku yakin 100% dia bakalan bilang milih keduanya agar terkabul. Tapi kalau hanya bisa satu saja. Aku tidak yakin ia akan memilih pilihan pertama. Semoga saja keyakinan aku itu salah.
Sesumbar mau nyumbang sepasang ayam hitam saat pemuda yang didengkinya meninggal dunia dalam keadaan lajang. Sedangkan dirinya sendiri saja tidak mengetahui apa dirinya bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. Rendra, anak muda dari RW sebelah saja barusan kemarin kembali kehadapan-Nya. Padahal hanya jeda sebulan sebelum Ramadhan tiba. Apa sih yang membuatnya yakin bahwa umurnya masih sangat panjang?. Sudah lebih dari setengah abad lho umurnya. Sepertinya kepala enam. Old age, bukan middle age lagi.
Ah mengenai Ramadhan. Entah mengapa aku melihat tidak ada perubahan dalam pola hidupnya. Padahal sekarang sudah memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dimana banyak orang yang memburu malam Lailatul Qadar. Malam seribu bulan.
Dia merasa sudah banyak orang yang mendoakan agar dirinya diambil amalan baiknya dan bila memang sudah tidak ada.. maka biarlah amalan buruk mereka-mereka itu untuknya. Dihantui oleh perbuatannya sendiri!. Padahal aku yakin seyakin yakinnya!. Tidak ada orang yang tega mendoakannya seperti itu. Dan tidak perlu mereka mendoakannya seperti itu.
Karena tanpa didoakanpun. Itu sudah menjadi janji Tuhan kepada mereka, orang-orang yang dia dzolimi.
Lebih baik dia menunaikan yang wajib dulu saja deh. Tempo hari waktu pemakaman pakde Tejo dia mengatakan ikhlas kalau ada salah biar nanti pakde mengambil pahala shalat Jumatnya. Dia sadar nggak sih, dengan berkata seperti itu secara tidak langsung dia juga mengatakan bahwa dia hanya mengerjakan shalat Jumat?. Lalu kemarin siang di bulan puasa ini aku melihatnya makan dengan lahap bersama temannya di sebuah warung tidak jauh dari pemukiman kami. Berbaik sangka saja deh, mungkin dia puasa bedug. Eh.. kan sudah bukan anak-anak. Masa gitu?.
Tidak ada satu manusiapun yang tahu kok amalannya saat ini ada berapa banyak.
Ia mau pasrah dan beralasan mengenai orang-orang yang memberatkannya itu?. Jangan-jangan besok di akherat dia ikut mencakot, menyalahkan kedua orangtuanya yang tidak mengajarkannya shalat dan mengaji!?. Sehingga tabiatnya menjadi seperti sekarang ini. Daripada seperti itu. Kenapa tidak punya pikiran sendiri sih!?. Kenapa tidak mengambil inisiatif sendiri!?.
Berani berbuat, berani bertanggungjawab!.
Berani berbuat, berani menerima konsekuensinya!.
Sudah bangkotan, masa cara berpikirnya sekelas bocah.
Sebuah lagu dari band Wali mengiringi langkahku..
Disuruh tobat galakan situ
Diajak bener marahan situ
Hari gini kok masih begitu
Ayo hijrah jangan pake nunggu
Bocah ngapa ya
Bocah ngapa ya
Bocah ngapa ya
Bocah ngapa ya
Udah tua masih aja malas sholat
Lah bocah ngapa yaa...
Udah tua bolong bolong puasanya
Lah bocah ngapa yaa...
Udah tua masih aja hura hura
Lah bocah ngapaa yaa...
Udah tua masih aja kaya bocah
Lah bocah ngapaa yaa...
Bocah ngapa ya
Bocah ngapa ya
Bocah ngapa ya
Bocah ngapa ya
Giliran kejedot aduh aduh
Malaikat sewot kau baru tau
Gue gulung ....oii
Gue gulung ....oii ...oii
Pake otak jangan pake nafsu
Bocah ngapa ya
Bocah ngapa ya
Bocah ngapa ya
Bocah ngapa ya
NB: Bocah ngapa yak? = Waktu bocah ngapain saja?.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).