‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un’ begitu aku mendengar suara di seberang telepon yang mengabarkan telah meninggal seorang tetangga lama kami yang sekarang sudah menetap di pemukiman lain.
Aku segera memberi kabar kepada masyarakat kampung. Agar mereka bisa melayat, membantu menguatkan keluarganya dan memberikan penghormatan terakhir. Namun untuk para tetangga yang domisilinya sudah berbeda aku tidak mempunyai nomer kontak dan alamatnya. Database ada pada arsip RT. Segera kukesana untuk menindaklanjuti.
“Cklek” bunyi yang mengartikan telpon seberang telah diangkat.
“Halo Do. Ini dari Graha Indah(nama perumahan tempat kami berada). Sugeharto sudah tidak ada.
“Opo?. Mobil bekas mati!?. Sugeharto mobil bekas mati!?.
“Lambemu-mulutmu” Sugeharto melotot.
“Ini yang nelpon Sugeharto mobil bekas. Sugeharto mobil bekas itu aku, masih hidup!. Yang nelpon kamu ini Sugeharto mobil bekas!.
“Sing mati Sugeharto B!”.
Percakapan akhirnya berakhir dengan situasi Sugeharto masih ngedumel sendiri dengan bibir yang di monyong-monyongkan. Sepertinya dirinya tidak terima dikira sudah mati.
Aku cuma bisa tersenyum akan situasi ini. Hubungan keduanya memang tidak terlalu baik.
Sugeharto memang nama pasaran. Di kampung kami saja ada tiga orang yang mempunyai nama tersebut. Sugeharto A, Sugeharto B, Sugeharto C. Bahkan koruptor kasus pengadaan KTP kemarin saja namanya juga Sugeharto bukan?.
Ini disebabkan kejadian lama berbelas-belas tahun yang lalu yang masih membekas diantara keduanya. Terutama kepada pak Edo orang yang dihubunginya ini.
Waktu masih ABG, masih SMP. Kedua anak mereka pernah berkelahi karena masalah bermain bola. Beni anak dari Sugeharto dan Ferza anak dari Edo. Bukan perkelahian biasa, namun sudah ke tingkat penganiayaan. Sekalipun Ferza sudah berkali-kali meminta ampun. Beni masih terus menghajarnya bahkan menginjak-nginjak mulut Ferza sampai gigi- gigi depannya tanggal. Sedangkan keluarga Sugeharto hanya mengajukan permohonan maaf dan membiayai pengobatan Ferza. Sementara keluarga Ferza adalah keluarga yang sangat mampu. Cacat permanen yang bisa berdampak pada sisi psikologis. Mempengaruhi kepercayaan dirinya pada penampilan. Kejadian tragis itu tentunya membuat pak Edo sekeluarga muntab dan masih menyimpan dendam sampai sekarang. Perang dingin, mungkin itu nama yang tepat. Meskipun saat keduanya bertemu di acara RT masih saling bercakapan. Tapi dalam hatinya masih menyimpan amarah kepada Sugeharto. Kenapa begitu?
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” Itulah yang orang-orang katakan tentang hal ini.
Mereka menyebut Beni beringas dan sejenisnya. Namun Edo tidak serta merta hanya menyalahkan Beni sepenuhnya atas kejadian ini. Sekeluarga menunjuk Sugeharto juga ikut bertanggungjawab sebagai orangtua gagal yang tidak bisa mendidik anaknya.
Tahu nggak. Disaat Sugeharto sibuk mencela dan mengamati anak yatim dari Almarhum tetangga yang didengkinya. Membandingkan penghasilannya anak tersebut dengan dirinya yang sudah tua. “Aku punya mobil, aku punya rumah sendiri. Ujarnya membanggakan diri. Sedangkan dia? Paling UMR Rp 1 jutaan”.
Tanpa sepengetahuannya. Ada orang yang melakukan hal yang sama terhadapnya. “Huh, Beni jadinya cuma sales, sama kayak bapaknya. Buruh. Gaji UMR ditambah bonus. S1-S1 nan. Anakku Ferza sekarang kerja di Jakarta sebagai Direktur Utama perusahaan Finance. Gajinya Tidak kurang dari Rp50juta sebulan ucapnya sambil berbangga diri.
Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan panggung drama hiburan gratis di lingkunganku ini. Apa ini yang dinamakan efek karma?.
Dan akhirnya perkataan itu sampai juga ke telinga Sugeharto pasca Edo sekeluarga pindah dari lingkungan Graha Indah ini.
Bagaimana Sugeharto yang pernah sempat bangga anaknya ia anggap "menang" dalam perkelahian tersebut menanggapinya?. “Salahnya sendiri anaknya kalah berkelahi. Dasar pecundang!. Sini mau diselesaikan sekarang secara jantan!? Tarung sama aku!. Ucapnya kepada orang didepannya yang menyampaikan hal itu. Tentu saja sebagai seseorang yang berpendidikan Edo mempunyai pola pikiran yang berbeda dengan Sugeharto. Apalagi istrinya berprofesi sebagai Guru. Sugeharto dengan entengnya mengatakan bahwa hal itukan sudah lama, belasan tahun yang lalu. Dari awal juga bukan anak yang ganteng pula. Sementara untuk Ferza selama itulah ia menderita lahir dan batin. Bukan hanya dari sisi psikologis dan penampilan saja.
Sebenarnya bukan Pak Edo saja sih orang yang pernah bermasalah dengan Sugeharto yang ini.
“Lha iya.. Punya rumah gedung besar. Hasil korupsi!. Memangnya bakalan dibawa mati!?". Ucapnya kepada kami khalayak umum di ruang publik. Ia tidak mengatakannya kepada kalangan sendiri, keluarganya misalnya namun kepada kami orang lain.
‘Aku tidak heran bila dia mengatakan hal semacam itu, karena memang sudah menjadi perangainya. Di lingkungan kami ia memang terkenal suka "memakan bangkai saudaranya sendiri". Apalagi hubungan diantara mereka juga tidak baik. Sudah saling diam menurut pengakuannya.
Apa dia anggota KPK atau badan pemeriksa keuangan lainnya?. Apa dia rekan kerjanya?. Atau dia pernah dicurhati oleh almarhum sendiri bahwa almarhum melakukan korupsi?. Bahkan bidang kerjanya saja sama sekali tidak bersentuhan dengan almarhum. Kenapa sampai berani berkata seperti itu?.
Ya kalau memang benar ya tidak apa-apa. Tapi kalau hal itu tidak benar, maka ia sudah melakukan fitnah, kepada orang yang sudah meninggal pula. Layaknya orang yang sudah meninggal, dia tidak kuasa membela diri, tidak lagi berdaya untuk membela kehormatannya.
Tapi bukankah itu hal yang tidak pantas mencela seseorang yang sudah almarhum seperti itu.
Apa dengan melampiaskan dendamnya dengan mencaci-maki almarhum(Sugeharto B) dirinya merasa terpuaskan?. Buktinya tidak bukan?. Ia masih melakukannya terus dan terus. Bagaimana bila selanjutnya yang meninggal itu Edo?.
Yang aku tahu orang yang iri itu cenderung menjadi pembenci/hater dan pembenci cenderung memfitnah untuk mengamalkan kedengkiannya. Yang paling berbahaya adalah ketika mereka pandai tampil sebagai sahabat, teman atau orang dekat.
Allah membenci pencela yang tidak memiliki harga diri.
Setiap orang pastinya memiliki dosa baik itu kecil maupun
besar. Ketika orang tersebut meninggal maka segala amal ibadahnya pun
sudah selesai. Oleh karena itu, tidak boleh kita membicarakan kesalahan
orang yang telah meninggal dunia. Apalagi sampai mencacinya.
Sebuah hadist mengatakan:
"Janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan".
Kalo yang mendengar yang bersangkutan sendiri ya tidak mengapa. Karena urusannya didunia sudah selesai. Tapi bagaimana kalau keluarganya yang masih hidup sampai mendengar hal ini? Pasti bakal merasa tersakiti, merasa terzalimi. Keluarga yang ditinggalkan; Istrinya sudah menjadi janda dan anak-anaknya sudah menjadi anak yatim.
Ingatlah bahwa orang yang tersakiti/terzalimi itu doanya tidak akan di tolak oleh Allah. Lalu bagaimana jika mereka sampai mendoakan kejelekan atau keburukan kepadanya? Walaupun hal itu memang pantas.
Kalau saya pribadi yang mengalaminya.. Saya bukan orang jahat. Maka janganlah mendoakan dirinya agar celaka/mengalami musibah. Sudah tua juga. Tapi saya akan mendoakan agar semua amalan baiknya dilimpahkan ke saya, bila masih tersisa. Bila tidak ada maka biarlah amalan buruk saya untuknya'.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).