Pagi ini aku membaca sebuah berita secara online dengan judul "Luhut mengatakan Singapura Bajingan!".
Begitu membaca judul tersebut.. pikiranku langsung mengarah ke Toying.
"Itu bajingan Singapura, jangan berpikir..." Belum selesai membaca saja pikiranku sudah langsung diarahkan pada Toying.
Mumpung belum di takedown, aku coba membaca lagi dari awal.. pelan-pelan.. dan lagi-lagi langsung teringat Toying.
Dan berita yang ditulis ini bukanlah Hoak.
Singapura bajingan. Yang dibanyak media sepertinya sedikit diperhalus, diganti dengan kata "Brengsek".
Berapa kalipun aku membacanya.. otakku langsung mengarah pada Toying.
Apa karena keduanya mempunyai kesamaan yang sama?. Jadi ketika ada dua hal yang serupa atau sama, pikiran kita langsung mengasosiakannya.
Singapura adalah surganya para koruptor, surganya para pengusaha pengemplang hutang dan pajak. Tempat mereka melarikan diri dengan membawa banyak uang untuk diputar disana tanpa takut kena tangkap sama negara sini. Sudah berapa lama coba Singapura menolak perjanjian ekstradisi sampai akhirnya mereka bisa kaya raya seperti sekarang?. Kalau sekarang kan sudah terlanjur kaya. Jadi tobatpun nggak masalah, lha wong sudah jadi terlalu kaya, sampai-sampai mau dimiskinkan pun sangatlah sulit, kalau tidak bisa dibilang mustahil.
Yang aku temukan.. keduanya sama-sama muterin duit haram. Yang penting cuan, sing penting aku sugeh. Nggak peduli sama yang lain, bodo amat ama yang dirugikan oleh hal tersebut.
Sudah terbiasa memakan yang haram, jadi rasanya ya biasa saja. Malah muterin duit haram itu bikin makmur. Kaya raya, hidup jadi serba enak, semua keinginan bisa gampang didapatkan, plus merasakan pandangan dihormati oleh orang-orang sekitar. Kalau tetap merasa kurang kan itu sebenarnya memang sifat dasar manusia(rakus) yang notabene kaum Angkara. Jadi ya wajar-wajar saja. Toh semua bisa terpenuhi.
Kalaupun mau tobat pun duit nya masih adem, masih melimpah, masih bisa tetap hidup enak tanpa kerja, tanpa capek. Hmm, memangnya dia kerja?
Turunan duit haram tuh adem. Lihat saja oknum-oknum yang tertangkap. Bisa punya barang-barang mewah, branded. bahkan sampai bisa umroh dan menyantuni orang-orang miskin hasil turunan duit haram. Adem sampai tujuh turunanpun masih bisa tetap kaya raya. Nggak perlu saya sebutkan contoh nama keluarga nya kan?.
Masih ingat gelang power balance?. Penjualnya ada dua golongan. Mereka yang tahu ternyata mereka sendiri dibohongi lalu berhenti menjualnya kepada orang lain dan tipe orang-orang semacam Toying yang tetap menjualnya dengan harga tinggi sekalipun mereka tahu barang tersebut bohongan. Mereka tetap menjualnya sekalipun tahu trik dibalik itu semua.
Yang penting cuan 🤑.
Itulah kenapa banyak yang berlomba-lomba untuk menjadi orang kaya, meskipun harus menggunakan cara haram. Karena orang bisa dihormati salah-satunya gara-gara hartanya. Dan Toying memilih satu-satunya jalur yang punya kemungkinan paling besar bisa didapatkan olehnya. Mau jalur kecerdasan dan kreatifitas jelas nggak mungkin. Tipe berani mengambil resikopeluang, disaat orang-orang berakhlak ragu untuk melakukannya.
Dan tipe Angkara semacam Toying inilah yang paling banyak jumlahnya dimuka bumi ini. Mereka yang hanya berorientasi kepada harta. Aku?. Aku berbeda dengan mereka para hamba uang itu. Budak materi, tipe Angkara rendahan. Diriku adalah Angkara yang terobsesi pada kesaktian. Makanya aku bisa berpikir waras mengenai materi. Hal ini tentu berbeda dari kebanyakan orang yang mempunyai angkara materi.
Mau aku kasih contoh?. Ada seorang bapak yang dihadapannya terdapat dua pemuda yang hendak melamar puterinya. Si bapak langsung memilih menikahkan puterinya dengan pemuda yang berprofesi sebagai pegawai swasta (bukan pegawai negeri, apalagi pemilik perusahaan) sambil mencela/menghina profesi pemuda yang satunya lagi seorang wiraswasta. Ia melihat kestabilan ekonomi itulah yang terpenting kalau dibandingkan dengan pendapatan yang tidak menentu. Sekalipun hati puterinya lebih tertaut dengannya. Ia bilang "Yang penting duitnya" sambil terkekeh-kekeh, tak lupa memainkan kedua jarinya dengan cara menggesek-gesekkan tapak ibu jari dengan tapak telunjuk. Sekilas mirip ungkapan Korea Saranghaeyo. Tapi bukan.. Ya... mirip sih artinya, tapi bukan. Yang ini lebih original, ungkapan bangsa kita yang artinya (cinta)duit 🤑.
Inilah pola pikir orang bermental miskin. Padahal kalau dipikir-pikir, dirinya sama sekali tidak miskin. Dirinya bahkan mempunyai warisan berupa property di tengah kota, yang hanya dengan mendengar lokasinya saja, sudah membuat orang berpikir pasti sangat-sangat lah mahal.
Padahal kalau dipikir dengan nalar, ada banyak variabel yang harus dipertimbangkan, bukan hanya masalah materi. Ia mengesampingkan itu semua.
Jadi teringat, tempo hari aku membaca berita online secara acak yang muncul di beranda browser handphone ku.
Dalam berita tersebut dituliskan bahwa Ayah mertua dari seorang artis yang cukup dikenal namanya, berbicara kepada media bahwa dirinya sakit hati karena menantunya itu sering berbicara kasar dan tidak sopan kepadanya.
Memangnya dulu menerima dirinya jadi menantu dengan motivasi apa?. Padahal tahu ia hobi kawin cerai. Anaknya sudah jadi istrinya yang keberapa?. Jadi artis juga bukan karena fisik nan rupawan, melainkan karena fisik yang kelainan, tubuhnya cebol. Dia nggak buta kan?. Dengan semua latar belakang dan apa yang nyata dilihat matanya. Cih, aku jadi enek membacanya.
"Halah, ditampol duit juga mingkem".
Tidak semua orangtua bisa menjadi orangtua.
Kembali ke cerita awal.
Ia sadar dengan penuh kesadaran mengetahui bahwa pilihan tersebut adalah untuk satu hal terpenting dalam sesi kehidupan anak perempuannya. Satu kali yang tidak bisa diputar kembali. Satu langkah yang tidak bisa ditarik kembali. Dan ia memutuskannya hanya karena satu variabel itu.
Syukur-syukur bila rumah tangga putrinya bertahan hingga akhir hayat. Karena kalau enggak.. dengan penyebab putrinya kecewa akan pernikahannya. Belum tentu ada lelaki lain yang mau dengan putrinya itu. Selain Pemuda "gatel" dan duda beranak minimal satu.. itupun dengan mengesampingkan jumlah harta yang mereka miliki. Karena kalau berduit.. ya, maaf-maaf saja.. Bisa jadi standarnya sudah bukan putrinya lagi.
Tidak semua orangtua pantas menjadi orangtua.
Dirinya sendiri saja saat ditanya bila dulu keadaan istrinya sama seperti keadaan putrinya sekarang ini, apakah ia mau menerimanya?. Langsung dijawabnya tanpa ragu "Nggak mau. Cari yang lain. Kayak nggak ada perempuan lain saja". Ini bapaknya sendiri lho..(nggak tahu ini bapak kandung atau bapak angkat) tapi ini.. straight to the poin. Jangan harap laki-laki lain punya jawaban yang berbeda.
Padahal kalau memang orang beriman, seharusnya yakin bahwa Tuhan menjamin rezeki setiap makhluknya.
Tapi ya balik lagi.. kalau ada yang gampang, enak. Cukup dengan berdiam saja. Let it go. Ngapain ngambil cara yang susah, rekoso. Harus mengeluarkan usaha. Extra.
Terus...
Kalau nggak kompeten, nggak bisa bersaing, solusinya gampang.. tinggal nyogok. Seperti yang sudah-sudah, yang biasa dilakukan Toying terhadap para pribumi bodoh pengkhianat bangsa dan negara. Iseng-iseng berhadiah.. bisa dapat anjing bekingan juga, yang biaya memeliharanya cukup dikasih sebatang tulang(bukan daging) saja. Murahan.