"Aku tidak terima kalo ada yang mengatakan cucuku bakalan mempunyai sifat yang buruk dan mendapatkan banyak hal melalui cara menyogok!." Itulah ucapan Sugeharto tahun lalu setelah ia mendengar desas-desus gosip orang kampung dari istrinya.
Sore ini sore yang tenang, seperti halnya sore-sore sebelumnya. Matahari mulai meredup, ia mulai berjalan menjauh ke ujung barat. Beberapa warga sudah pada pulang. Beberapa warga kumpul lesehan di Pos Kampling kampung sekedar untuk saling bersendau gurau dan refresing. Ada Bude Tejo, Bu Wan dan Bu Man.
Percakapan diawali oleh bude Tejo yang silau oleh perkataan Pak Sugeharto tempo hari. Ia bercerita kepada Bude Tejo bahwa gaji anaknya sekarang naik menjadi rp15 juta. Hal itupun diceritakannya kembali oleh Bude Tejo kepada mereka yang berkumpul disana. Bude memang orangnya mudah takjub. Tipe yang menyenangkan untuk diceritani kesenangan orang. Jawaban dan ekspresinya yang polos sangat tergambarkan. Benar-benar orang yang sangat berbaik sangka.
"Lho bukannya Bude sebelumnya bilang gajinya itu Rp20 juta?. Katanya naik kok malah jadi lebih sedikit?." sela Bu Wan. Ia masih mengingat betul perkataan Bude tempo hari kepadanya.
Bu Man menengahi.
"Mungkin maksudnya ditambahkan. Dulunya Rp20juta lalu kemarin naik Rp15 juta. Jadinya Rp20juta ditambah Rp15juta. Total gajinya menjadi Rp35juta sebulan."
"Oh begitu ya." Bude Tejo manggut-manggut.
"Hebat". Bude Tejo masih kagum.
'Kalau dipikir-pikir Sugeharto senang sekali over show kepada Bude Tejo. Mungkin karena menganggap Bude Tejo secara ekonomi jauh berada dibawahnya. Hal itu didukung dengan sikap Bude yang sangat mengagumi hal yang terkesan "wah" yang diungkapkan kepadanya. Padahal Bude sendiri selain mendapatkan pensiun, bukankah setiap bulannya juga menerima kiriman dari anak-anaknya sebesar rp3juta dan rp2juta setiap bulannya. Sugeharto belum tahu bahwa kedua anak laki-laki Bude adalah pengusaha dengan omset ratusan juta rupiah sebulan.
Pak Man yang ada disekitar situ ikut bergabung. Ia menuturkan.
"Tidak ada perusahaan yang berani menggaji karyawannya sebesar itu Bude. Apalagi perusahaan tempat anaknya bekerja itu hanyalah perusahaan kecil. Saya saja yang seorang pegawai negeri paaling mentok hanya Rp4juta."
"Tapi katanya segitu kok". Bude masih bersikukuh.
"Ya bisa sih dapat segitu kalo nyambi. Nyambi gesek-gesek".
"Gesek-gesek?" Bude tidak mengerti.
Sebelum Pak Man menjelaskan lelucon karangannya. Datanglah seorang anak kecil. Anak itu adalah Nana, cucu Sugeharto datang membopong mainan berupa senapan kecil. Semuanya seolah kompak tidak ada yang mengarahkan matanya untuk menyorot si kecil itu.
Kecuali Bude Tejo.
"Eh anak manis. Sini". Bude Tejo menanggapi.
Si kecil itu mengarahkan senjatanya kepada Bude Tejo.
"Bude nggak punya mobilkan?. Bude nggak punya laptopkan?. Nana punya". Dibarengi dengan aksinya menembak-nembakkan senjatanya ke arah Bude Tejo.
'Tuh kan. Salahnya sendiri sih'. Semua yang ada disitu seolah sudah menyangka apa yang akan terjadi.
"Nana punya Pajero. Bude nggak punya. Rumah Bude kecil. Rumah Nana besaar. Bude miskin!."
'Eh buset. Ini bocah siapa yang ngajarin!?. Anak sekecil itu memang sudah bisa lancar mengeja huruf?. Sudah bisa membaca?.' pertanyaan itu terlontar walaupun sudah terlintas akan jawabannya.
'Si pengasuh' adalah jawaban yang terlintas dikepala mereka.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya adalah ungkapan lama yang masih relevan sampai sekarang.
Pola pengasuhan memiliki efek pada perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak kelak.
Pengasuh berperan langsung terhadap pertumbuhan karakter anak.
Para warga mengetahui dengan jelas bahwa sang Embahlah yang menjadi pengasuh anak itu. Mbah Sugeharto.
Pak Man teringat dulu pernah bercakap-cakap dengan bapak dari si kecil Nana. Penasaran oleh alasannya mengambil perempuan yang sekarang sudah menjadi istrinya. Amir sang suami sekaligus menantu dari Sugeharto memberikan jawabnya. Ia mengambil istri yang berpendidikan tinggi agar kelak bisa mendidik anak-anaknya. Sebenarnya jawaban ini terkesan jawaban yang bijak. Namun jawaban tersebut tidak sreg menurut Pak Man. Apabila seperti itu. Jadi dengan hasil pendidikan S1nya itu sang istri bisa mengajarkan pelajaran semacam Aljabar Linear dan Fisika Kuantum kepada anak-anaknya?. Eh?. Lha terus kenapa bukan dia yang mengasuh? melainkan sang embah. Kalau begitu kapan dong dia bisa mengajarkan pendidikan Aljabar Linear dan Fisika Kuantum kepada anak-anaknya?.
Bisa diartikan pula bahwa mereka yang pendidikannya rendah tidak bisa menjadi ibu yang baik?.
'Dulu aku pernah bercakap-cakap dengan ibu guru Tk dari Awan anak lelakiku. Bu guru itu bercerita bahwa dia dulu pernah lolos ujian masuk jurusan kedokteran dari universitas negeri terbaik di kota ini. Sayangnya waktu itu uang yang dikumpulkan orangtuanya untuk membayar uang gedung jauh dari cukup. Dengan berat hati ia mengurungkan diri untuk menjadi mahasiswa disana. Setelah menikah, ia rajin menghadiri seminar-seminar gratis dan yang biayanya tidak mahal. Demi meningkatkan kualitas dirinya. Seminar yang ada hubungannya dengan profesinya yaitu mendidik anak-anak.
"Aku tidak pernah mendidik anakku untuk menjadi orang kaya. Aku mendidiknya agar bisa memperoleh hidup yang bahagia. Sehingga ketika dewasa. Mereka bisa mengetahui dan menghargai nilai suatu barang dibanding harganya."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).