Tak lama setelah adzan subuh dikumandangkan. Terdengarlah sebuah berita lelayu dari speaker masjid. Aku awalnya tidak yakin atas nama yang disebutkan dalam berita. Sampai ibuku mendatangiku yang saat itu sedang berada di depan komputer, memastikanku akan hal itu. Sang pembicara yang membacakan berita tersebut mengulanginya sekali lagi. Dan akupun memasang telingaku benar-benar. Ia menyebut nama itu sekali lagi "Rendra Ika Buwana". Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, aku benar-benar terkejut. Ada apa gerangan yang menyebabkan Rendra meninggal dunia?.
Rendra adalah sebayaku. Kami beda gang, beda RT, beda RW tapi masih satu komplek perumahan. Ia adalah teman TK, teman SD dan teman SMP aku. Tidak ada banyak pilihan sekolah di lingkungan kami. Yang paling dekat hanya ada satu TK, dua SD dan Tiga SMP. Tapi kok bisa ketemu mulu ya?.
Selepas SMP aku ikut orangtuaku hijrah keluar kota. SMAku berada diluar kota. Itulah mengapa aku tidak punya banyak teman ngumpul dikotaku sekarang. Sedangkan ikatan paling kuat itu terjadi saat masa SMA keatas. Mengunjungi rumah dia adalah pikiran pertama yang terlintas dikepalaku saat berkunjung pulang ke kota ini. Bercerita banyak kepadanya mengenai hal-hal baru yang kualami menginjak masa SMA. Saling bertanya kabar dan lain sebagainya.
Namun dialah yang memutuskan pertemanan kami dengan alasan yang klise. Untuk detailnya tak perlulah aku menceritakannya. Cukup aku simpan untuk diriku sendiri.
Its fine. Aku nggak rugi apapun kok. Kamu tu nggak pintar, nggak ganteng, nggak populer, hanya beruntung terlahir dari keluarga berada. Tapi kamu sudah membuang salah satu harta terpenting kamu. Karena aku nggak yakin seberapa banyak orang yang mau sungguhan berkawan denganmu.
Meskipun begitu.. aku ingin mengiriminya undangan saat aku menikah nanti. Menunggu saat-saat itu. Saat aku bisa menggodanya dengan mengatakan kapan dia menyusulku. Bisa menanyakan kepadanya pertanyaan legendaris itu. Kapan nikah?. Sudah punya calon belum?. Pasti bakalan menyebalkan tuh.
Namun sepertinya hal itu tidak akan pernah terjadi. Hanya menjadi sebatas anganku belaka. Aku tidak pernah menyangka ia akan pergi secepat ini. Umur manusia memang tidak ada yang tahu. Manusia ibarat buah kelapa yang bisa diunduh kapan saja. Baik saat tua maupun saat muda sekalipun. Yang Maha Kuasalah yang memutuskannya.
Di rumah duka. Aku tak melihat ada orang lain seumuranku. Semuanya bapak-bapak. Mungkin aku hanya tidak melihat teman-temannya yang lain. Saat ini memang hari kerja dan jam kerja. Ikatan paling kuat dan berkesan umumnya terjadi saat masa SMA keatas. Teman-teman SMAnya, teman-teman kuliahnya mungkin baru akan datang mengunjungi keluarga yang berduka beberapa waktu setelah ini.
Saat mensholati jenazahnya. Dalam waktu singkat yang hanya beberapa menit saja itu. Pikiranku berputar kembali ke masa lalu. Waktu TK dan SD Rendra bukanlah teman yang baik. Seperti halnya yang dilakukan anak seusia itu. Contohnya waktu itu. Aku teringat waktu SD ada praktek menyikat gigi dan kami disuruh ibu guru untuk membawa peralatan dari rumah. Sikat gigi, odol dan mug plastik sebagai wadah air untuk berkumur.
Kami para anak kecil entah kenapa mempunyai pikiran yang sama. Sebenarnya aku juga merasa harus membawa pasta gigi yang masih baru. Karena aku yakin teman-temanku yang lain pasti juga memikirkan hal yang sama. Lebih ke show-off, bisa pamer saat dilihat teman yang lain. Tapi permintaanku ditolak begitu saja oleh ayah. Beliau berkata sama saja toh pasta gigiku masih ada isinya. Ibu juga mengatakan hal senada. Mungkin hal itu dinilai merepotkan bila harus pergi ke toko untuk membeli yang baru. Waktu itu tidak banyak toko yang menjual barang khusus anak kecil seperti milikku. Ya sudah, masa kayak gitu ngeyel. Aku memandang pasta gigiku yang sudah kurus itu.
Teman-teman saling memamerkan pasta gigi yang dipakainya. Hampir semuanya, mungkin bahkan semuanya membawa pasta gigi baru. Belum pernah dipakai, baru beli dari toko. Namun sebagian besar membawa pasta gigi biasa, pasta gigi mint yang sangat umum. Kami menyebutnya pasta gigi rasa pedas. Sepertinya hanya aku dan Rendra yang membawa pasta gigi Junior, rasa buah yang mendominasi dengan rasa mint yang lemah. Rendra menunjukkan pasta gigi barunya yang mempunyai rasa Pisang. Beberapa teman mengerubungnya, kagum akan benda itu. Aku mengeluarkan pasta gigi lamaku yang sudah terpakai lebih dari setengah. Pasta gigi Junior rasa Stroberi. Ada seorang teman yang melihatnya dan mengatakan kepada anak-anak lainnya. Mereka ganti mengerubungku. Tapi tidak terlalu lama karena mungkin melihat bentuk pasta gigiku yang tidak begitu menarik. Tidak seperti iklan-iklan di TV yang mempraktekkannya saat barang itu baru keluar dari toko. Saat bodynya masih gemuk berisi. Sedangkan milikku sudah keriput -_- . Kalian tahukan wadah pasta gigi saat itu terbuat dari sejenis seng aluminium bukan karet seperti jaman sekarang.
Ada dua teman yang tetap stand bye disisi Rendra. Sama halnya dengan Rendra. Mereka menyangkal keberadaan odol rasa Stroberi. Tidak ada yang namanya pasta gigi rasa Stroberi. Mungkin bagi mereka itu adalah suatu barang khayalan yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Lha terus tulisan Strawberry ini, gambar buah Stroberi ini.. yang terdapat pada pasta gigiku.. masa aku gambar sendiri pakai spidol -_- (inikan jelas-jelas cetakan pabrik). Mereka juga langsung menolak saat aku suruh untuk mencicipi sendiri rasa odol Stroberi milikku. Tidak lupa mereka menyertakan aksi dan perkataan sangkalan mereka. Kedua pasta gigi kami berasal dari merk yang sama. Sebenarnya secara umum rasa Stroberi menjadi rasa pertama hampir semua produk. Setelah itu baru rasa lain menyusul.
Saat pulangpun, saat sepedaku melewati mereka bertiga, mereka masih mengatakan hal yang sama. Penyangkalan mereka. Kok adegannya mirip sinetron saat scene anak-anak dan gengnya.
Lalu pindah ke masa SMP. Ia juga menjadi teman ekstrakurikulerku. Keterbukaannya kepadaku waktu itu. Ia bercerita kepadaku perihal anak-anak yang mempunyai "cinta monyet".. kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum bila mengingat hal itu.
Tak terasa mataku berkaca-kaca.
Diperjalanan menuju pemakaman. Aku baru mengetahuinya. Ternyata ada budaya lokal bahwa bila yang meninggal masih bujang. Sepasang ayam dibawa serta. Yang membawanya adalah salah seorang tetangganya yang mengawal ambulan membawa bendera kuning. Sepasang ayam jantan dan betina itu terdiam tenang diikat di motor bagian tengah, atas mesin, depan jok.
Inilah pertama kalinya aku melayat seseorang yang masih lajang.
Aku melihat diriku sendiri. Sudah saatnya aku mengambil langkah. Menempuh tingkatan selanjutnya.
Tak terasa waktu berinteraksi bersamamu sudah terlewat lebih dari dua puluh tahun. Namun aku masih mengingatnya seperti halnya itu barusan terjadi kemarin .
Selamat jalan kawan. Semoga amal ibadahmu diterima disisinya.
Sang Pengasuh
Diposting oleh
tutorial
16.09
"Aku tidak terima kalo ada yang mengatakan cucuku bakalan mempunyai sifat yang buruk dan mendapatkan banyak hal melalui cara menyogok!." Itulah ucapan Sugeharto tahun lalu setelah ia mendengar desas-desus gosip orang kampung dari istrinya.
Sore ini sore yang tenang, seperti halnya sore-sore sebelumnya. Matahari mulai meredup, ia mulai berjalan menjauh ke ujung barat. Beberapa warga sudah pada pulang. Beberapa warga kumpul lesehan di Pos Kampling kampung sekedar untuk saling bersendau gurau dan refresing. Ada Bude Tejo, Bu Wan dan Bu Man.
Percakapan diawali oleh bude Tejo yang silau oleh perkataan Pak Sugeharto tempo hari. Ia bercerita kepada Bude Tejo bahwa gaji anaknya sekarang naik menjadi rp15 juta. Hal itupun diceritakannya kembali oleh Bude Tejo kepada mereka yang berkumpul disana. Bude memang orangnya mudah takjub. Tipe yang menyenangkan untuk diceritani kesenangan orang. Jawaban dan ekspresinya yang polos sangat tergambarkan. Benar-benar orang yang sangat berbaik sangka.
"Lho bukannya Bude sebelumnya bilang gajinya itu Rp20 juta?. Katanya naik kok malah jadi lebih sedikit?." sela Bu Wan. Ia masih mengingat betul perkataan Bude tempo hari kepadanya.
Bu Man menengahi.
"Mungkin maksudnya ditambahkan. Dulunya Rp20juta lalu kemarin naik Rp15 juta. Jadinya Rp20juta ditambah Rp15juta. Total gajinya menjadi Rp35juta sebulan."
"Oh begitu ya." Bude Tejo manggut-manggut.
"Hebat". Bude Tejo masih kagum.
'Kalau dipikir-pikir Sugeharto senang sekali over show kepada Bude Tejo. Mungkin karena menganggap Bude Tejo secara ekonomi jauh berada dibawahnya. Hal itu didukung dengan sikap Bude yang sangat mengagumi hal yang terkesan "wah" yang diungkapkan kepadanya. Padahal Bude sendiri selain mendapatkan pensiun, bukankah setiap bulannya juga menerima kiriman dari anak-anaknya sebesar rp3juta dan rp2juta setiap bulannya. Sugeharto belum tahu bahwa kedua anak laki-laki Bude adalah pengusaha dengan omset ratusan juta rupiah sebulan.
Pak Man yang ada disekitar situ ikut bergabung. Ia menuturkan.
"Tidak ada perusahaan yang berani menggaji karyawannya sebesar itu Bude. Apalagi perusahaan tempat anaknya bekerja itu hanyalah perusahaan kecil. Saya saja yang seorang pegawai negeri paaling mentok hanya Rp4juta."
"Tapi katanya segitu kok". Bude masih bersikukuh.
"Ya bisa sih dapat segitu kalo nyambi. Nyambi gesek-gesek".
"Gesek-gesek?" Bude tidak mengerti.
Sebelum Pak Man menjelaskan lelucon karangannya. Datanglah seorang anak kecil. Anak itu adalah Nana, cucu Sugeharto datang membopong mainan berupa senapan kecil. Semuanya seolah kompak tidak ada yang mengarahkan matanya untuk menyorot si kecil itu.
Kecuali Bude Tejo.
"Eh anak manis. Sini". Bude Tejo menanggapi.
Si kecil itu mengarahkan senjatanya kepada Bude Tejo.
"Bude nggak punya mobilkan?. Bude nggak punya laptopkan?. Nana punya". Dibarengi dengan aksinya menembak-nembakkan senjatanya ke arah Bude Tejo.
'Tuh kan. Salahnya sendiri sih'. Semua yang ada disitu seolah sudah menyangka apa yang akan terjadi.
"Nana punya Pajero. Bude nggak punya. Rumah Bude kecil. Rumah Nana besaar. Bude miskin!."
'Eh buset. Ini bocah siapa yang ngajarin!?. Anak sekecil itu memang sudah bisa lancar mengeja huruf?. Sudah bisa membaca?.' pertanyaan itu terlontar walaupun sudah terlintas akan jawabannya.
'Si pengasuh' adalah jawaban yang terlintas dikepala mereka.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya adalah ungkapan lama yang masih relevan sampai sekarang.
Pola pengasuhan memiliki efek pada perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak kelak.
Pengasuh berperan langsung terhadap pertumbuhan karakter anak.
Para warga mengetahui dengan jelas bahwa sang Embahlah yang menjadi pengasuh anak itu. Mbah Sugeharto.
Pak Man teringat dulu pernah bercakap-cakap dengan bapak dari si kecil Nana. Penasaran oleh alasannya mengambil perempuan yang sekarang sudah menjadi istrinya. Amir sang suami sekaligus menantu dari Sugeharto memberikan jawabnya. Ia mengambil istri yang berpendidikan tinggi agar kelak bisa mendidik anak-anaknya. Sebenarnya jawaban ini terkesan jawaban yang bijak. Namun jawaban tersebut tidak sreg menurut Pak Man. Apabila seperti itu. Jadi dengan hasil pendidikan S1nya itu sang istri bisa mengajarkan pelajaran semacam Aljabar Linear dan Fisika Kuantum kepada anak-anaknya?. Eh?. Lha terus kenapa bukan dia yang mengasuh? melainkan sang embah. Kalau begitu kapan dong dia bisa mengajarkan pendidikan Aljabar Linear dan Fisika Kuantum kepada anak-anaknya?.
Bisa diartikan pula bahwa mereka yang pendidikannya rendah tidak bisa menjadi ibu yang baik?.
'Dulu aku pernah bercakap-cakap dengan ibu guru Tk dari Awan anak lelakiku. Bu guru itu bercerita bahwa dia dulu pernah lolos ujian masuk jurusan kedokteran dari universitas negeri terbaik di kota ini. Sayangnya waktu itu uang yang dikumpulkan orangtuanya untuk membayar uang gedung jauh dari cukup. Dengan berat hati ia mengurungkan diri untuk menjadi mahasiswa disana. Setelah menikah, ia rajin menghadiri seminar-seminar gratis dan yang biayanya tidak mahal. Demi meningkatkan kualitas dirinya. Seminar yang ada hubungannya dengan profesinya yaitu mendidik anak-anak.
"Aku tidak pernah mendidik anakku untuk menjadi orang kaya. Aku mendidiknya agar bisa memperoleh hidup yang bahagia. Sehingga ketika dewasa. Mereka bisa mengetahui dan menghargai nilai suatu barang dibanding harganya."
Sore ini sore yang tenang, seperti halnya sore-sore sebelumnya. Matahari mulai meredup, ia mulai berjalan menjauh ke ujung barat. Beberapa warga sudah pada pulang. Beberapa warga kumpul lesehan di Pos Kampling kampung sekedar untuk saling bersendau gurau dan refresing. Ada Bude Tejo, Bu Wan dan Bu Man.
Percakapan diawali oleh bude Tejo yang silau oleh perkataan Pak Sugeharto tempo hari. Ia bercerita kepada Bude Tejo bahwa gaji anaknya sekarang naik menjadi rp15 juta. Hal itupun diceritakannya kembali oleh Bude Tejo kepada mereka yang berkumpul disana. Bude memang orangnya mudah takjub. Tipe yang menyenangkan untuk diceritani kesenangan orang. Jawaban dan ekspresinya yang polos sangat tergambarkan. Benar-benar orang yang sangat berbaik sangka.
"Lho bukannya Bude sebelumnya bilang gajinya itu Rp20 juta?. Katanya naik kok malah jadi lebih sedikit?." sela Bu Wan. Ia masih mengingat betul perkataan Bude tempo hari kepadanya.
Bu Man menengahi.
"Mungkin maksudnya ditambahkan. Dulunya Rp20juta lalu kemarin naik Rp15 juta. Jadinya Rp20juta ditambah Rp15juta. Total gajinya menjadi Rp35juta sebulan."
"Oh begitu ya." Bude Tejo manggut-manggut.
"Hebat". Bude Tejo masih kagum.
'Kalau dipikir-pikir Sugeharto senang sekali over show kepada Bude Tejo. Mungkin karena menganggap Bude Tejo secara ekonomi jauh berada dibawahnya. Hal itu didukung dengan sikap Bude yang sangat mengagumi hal yang terkesan "wah" yang diungkapkan kepadanya. Padahal Bude sendiri selain mendapatkan pensiun, bukankah setiap bulannya juga menerima kiriman dari anak-anaknya sebesar rp3juta dan rp2juta setiap bulannya. Sugeharto belum tahu bahwa kedua anak laki-laki Bude adalah pengusaha dengan omset ratusan juta rupiah sebulan.
Pak Man yang ada disekitar situ ikut bergabung. Ia menuturkan.
"Tidak ada perusahaan yang berani menggaji karyawannya sebesar itu Bude. Apalagi perusahaan tempat anaknya bekerja itu hanyalah perusahaan kecil. Saya saja yang seorang pegawai negeri paaling mentok hanya Rp4juta."
"Tapi katanya segitu kok". Bude masih bersikukuh.
"Ya bisa sih dapat segitu kalo nyambi. Nyambi gesek-gesek".
"Gesek-gesek?" Bude tidak mengerti.
Sebelum Pak Man menjelaskan lelucon karangannya. Datanglah seorang anak kecil. Anak itu adalah Nana, cucu Sugeharto datang membopong mainan berupa senapan kecil. Semuanya seolah kompak tidak ada yang mengarahkan matanya untuk menyorot si kecil itu.
Kecuali Bude Tejo.
"Eh anak manis. Sini". Bude Tejo menanggapi.
Si kecil itu mengarahkan senjatanya kepada Bude Tejo.
"Bude nggak punya mobilkan?. Bude nggak punya laptopkan?. Nana punya". Dibarengi dengan aksinya menembak-nembakkan senjatanya ke arah Bude Tejo.
'Tuh kan. Salahnya sendiri sih'. Semua yang ada disitu seolah sudah menyangka apa yang akan terjadi.
"Nana punya Pajero. Bude nggak punya. Rumah Bude kecil. Rumah Nana besaar. Bude miskin!."
'Eh buset. Ini bocah siapa yang ngajarin!?. Anak sekecil itu memang sudah bisa lancar mengeja huruf?. Sudah bisa membaca?.' pertanyaan itu terlontar walaupun sudah terlintas akan jawabannya.
'Si pengasuh' adalah jawaban yang terlintas dikepala mereka.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya adalah ungkapan lama yang masih relevan sampai sekarang.
Pola pengasuhan memiliki efek pada perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak kelak.
Pengasuh berperan langsung terhadap pertumbuhan karakter anak.
Para warga mengetahui dengan jelas bahwa sang Embahlah yang menjadi pengasuh anak itu. Mbah Sugeharto.
Pak Man teringat dulu pernah bercakap-cakap dengan bapak dari si kecil Nana. Penasaran oleh alasannya mengambil perempuan yang sekarang sudah menjadi istrinya. Amir sang suami sekaligus menantu dari Sugeharto memberikan jawabnya. Ia mengambil istri yang berpendidikan tinggi agar kelak bisa mendidik anak-anaknya. Sebenarnya jawaban ini terkesan jawaban yang bijak. Namun jawaban tersebut tidak sreg menurut Pak Man. Apabila seperti itu. Jadi dengan hasil pendidikan S1nya itu sang istri bisa mengajarkan pelajaran semacam Aljabar Linear dan Fisika Kuantum kepada anak-anaknya?. Eh?. Lha terus kenapa bukan dia yang mengasuh? melainkan sang embah. Kalau begitu kapan dong dia bisa mengajarkan pendidikan Aljabar Linear dan Fisika Kuantum kepada anak-anaknya?.
Bisa diartikan pula bahwa mereka yang pendidikannya rendah tidak bisa menjadi ibu yang baik?.
'Dulu aku pernah bercakap-cakap dengan ibu guru Tk dari Awan anak lelakiku. Bu guru itu bercerita bahwa dia dulu pernah lolos ujian masuk jurusan kedokteran dari universitas negeri terbaik di kota ini. Sayangnya waktu itu uang yang dikumpulkan orangtuanya untuk membayar uang gedung jauh dari cukup. Dengan berat hati ia mengurungkan diri untuk menjadi mahasiswa disana. Setelah menikah, ia rajin menghadiri seminar-seminar gratis dan yang biayanya tidak mahal. Demi meningkatkan kualitas dirinya. Seminar yang ada hubungannya dengan profesinya yaitu mendidik anak-anak.
"Aku tidak pernah mendidik anakku untuk menjadi orang kaya. Aku mendidiknya agar bisa memperoleh hidup yang bahagia. Sehingga ketika dewasa. Mereka bisa mengetahui dan menghargai nilai suatu barang dibanding harganya."
Langganan:
Postingan (Atom)