Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un . Telah berpulang ke rahmatullah selepas maghrib salah seorang dari tetangga kami. Di penghujung tahun tepat sebelum pergantian hari ke tahun yang baru. Berita lelayu itu datang menghampiri.
Beliau adalah salah satu tetua di kampung ini. Kami memanggilnya dengan sebutan Pakde Tejo.
Tratak tenda sudah disiapkan beserta deretan kursi yang tertata rapi. Kebetulan rumah almarhum berdekatan dengan tempat tinggalku. Dari pengamatanku, di malam yang dingin itu masih ada tiga orang berumur yang tersisa ikut bergadang. Sampai akhirnya malam semakin larut dan meninggalkan hanya seorang kakek yang sendirian terduduk, sesekali berdiri dan berjalan-jalan disekitar rumah. Ternyata beliau adalah saudara laki-laki dari bude Tejo, istri Almarhum.
Aku sendiri bukan orang yang gemar berbaur dengan kerumunan. Sekalipun begitu dengan semua panca indera yang kumiliki, kamu bisa mengatakan bahwa aku adalah seorang pengamat.
Asal kau tahu.. duniaku ini.. lebih bising daripada duniamu.
Keadaan almarhum sendiri sebelum meninggal memang sudah cukup memprihatinkan. Beliau terkena stroke, tidak bisa apa-apa. Tubuh yang mulanya berisi itu sekarang menjadi kurus, tubuh bagian belakang almarhum sudah menjadi penyet akibat terlalu sering dalam posisi tidur.
Esok paginya orang-orang mulai berdatangan untuk berbelasungkawa. Dari para tetangga hingga kerabat yang berduka. Sugeharto masuk didalamnya. Ia memang benar-benar makhluk yang "unik". Setiap ada dalam kerumunan orang selalu saja ngomongin orang -_- . Selalu mengasah berbagai macam potensi demi mengeksplorasi semua “bakat” kemaksiatannya dimanapun ia berada. Bermacam inovasi ia cetuskan untuk memodifikasi ragam perbuatan dosa.
Kelakuannya itu membuatku murka. Aku masih ingat saat almarhum pertama kalinya "jatuh", keadaanya tergolong parah sehingga Bude Tejo panik meminta bantuan ke para tetangga bagaimana baiknya.
"Yang punya mobil nanti mbayar berapa nggak papa. Aku sewa buat ngantar ke rumah sakit." ucap Bude Tejo gemetaran.
Salah seorang tetangga berinisiatif menghubungi ambulan.
Sesaat setelah ambulan pergi membawa Pakde Tejo ke rumah sakit. Sugeharto berkata:
"Ayo taruhan, ini umurnya bertahan sampai berapa lama? 1 hari atau 2 hari?. Tapi ini antara kita saja lho". Ujarnya dalam kontek bercanda.
'Apa dia tidak pernah diajarkan bahwa tembok bisa mendengar?. Sekalipun sebagai candaan, rasanya itu hal yang tidak pantas untuk dilontarkan. Apalagi menjadikan orang sedang sekarat sebagai obyek.'
Memangnya dia sendiri bakalan hidup selamanya?. Makhluk abadi?. Yaa bisa saja sih kalau dia menjadi salah satu Angkara. Walaupun "abadi" bukan suatu kata yang tepat. Lebih tepatnya ditangguhkan kematiannya.
Akupun memutar ingatanku saat acara tasyukuran Tujuhbelasan(HUT RI) yang lalu.
Sugeharto membawakan acara sebagai salah satu panitia RT. Dalam susunan acara yang dibacakannya. Ia meminta Pakde Tejo yang notabene pensiunan tentara untuk sedikit bercerita mengenai perjuangannya dalam menggapai kemerdekaan Indonesia.
Pakde Tejo terkejut, beliau menolak dan mengatakan tidak, pose telapak tangannya juga melakukan hal yang sama.
"Saya tidak terlibat dengan perang" ucapnya lalu menundukkan wajah, beliau terlihat malu. Selang tak lama kemudian beliau meninggalkan acara tanpa pamit. Ya, beliau memang saat aktif tidak diberangkatkan ke wilayah konflik seperti Irian Jaya ataupun Timor Timur. Dan itu juga merupakan suatu berkah tersendiri bagi keluarganya.
Tahukah kamu bahwa lontaran semacam "Tidak pernah perang tapi pangkat naik terus. Apa yang bisa dibanggakan!". Itu adalah pernyataan orang yang jengkel, yang biasanya ditujukan kepada oknum tentara yang arogan kelakuannya. Yang secara langsung mempunyai masalah dengan warga sipil yang melontarkannya.
Suatu pernyataan yang cukup menyentil.
Bukankah dia juga melakukan hal yang sama tahun lalu? kepada Pakde Tejo. Untuk menyampaikan pidato tentang hal yang sama, pada acara yang sama. Dan waktu itu Pakde Tejo juga menjawab dengan jawaban yang sama. Kenapa diulangi lagi?.
Ada dua alasan yang kita bisa ambil.
Yang pertama; Ingatan Sugeharto buruk.
Yang kedua; Ia memang sengaja. Ingin membuat Pakde malu."Menghinanya" .
Untuk alasan pertama sepertinya tidak mungkin, karena kami tahu ia sering berghibah secara detail. Seolah mengingat apa saja yang mau dibicarakan, diluar kepala.
Sepertinya alasan yang nomer dua lebih masuk akal.
Aku mengetahui perangai Pakde yang bahkan tidak akan membicarakan hal itu kepada istrinya sendiri. Mungkin Sugeharto menyadari hal ini dan memanfaatkannya. Dan saat pakde sakit ia malah bertambah yakin dan lega hal itu tidak akan terkuak. Bukannya memperbaiki kesalahannya.
Dan seperti biasanya Sugeharto menjalani kembali kehidupannya bagai air yang mengalir. Seakan itu hal yang biasa saja baginya. Hal biasa yang sering ia lakukan juga terhadap orang lain.
Dosa terhadap sesama manusia terbagi menjadi dua.
Yang pertama terhadap hartanya.
Yang kedua, terhadap kehormatannya. Seperti memfitnahnya, memakinya, atau menghinanya.
Yang dilakukannya kepada Pakde termasuk ke dalam golongan yang nomer dua. Sedangkan sepengetahuanku yang bersangkutan tidak mempunyai salah terhadap Sugeharto ini.
Beberapa hari kemudian Pakde Tejo pulang kerumah. Tentunya dengan kondisi yang memprihatinkan. Beliau positif terkena Stroke yang lebih berat. Setidaknya nyawa beliau berhasil diselamatkan. Walaupun biaya rumah sakit yang dikeluarkan mencapai ratusan juta rupiah.
Waktu sebelum "jatuh" beliau masih bisa berdiri dan berjalan walaupun anggota tubuh yang dimilikinya kaku. Sekarang hanya bisa terbaring lemah.
Orang-orang disekitarnya masih diberi kesempatan untuk meminta maaf dan berinteraksi apabila ada hal yang perlu dibahas. Walaupun ingatan Pakde semakin menurun.
Sugeharto berpikir semua itu hanyalah suatu "dosa kecil".
Jadi bisa mengulanginya berkali-kali ya?. Dan bisa dilakukan kepada orang yang berbeda lagi?. Jadi nggak apa-apa ya?.
Kesombongan seseorang dapat diukur dari seberapa susahnya ia meminta maaf atas kesalahannya.
Untuk kasus Sugeharto ini. Ia hanya akan menunggu saat Idul Fitri tiba. Ia berpikir bahwa itu adalah satu-satunya cara meminta maaf yang "tidak akan melukai harga dirinya". Sedangkan semua orang juga tahu, acara kumpul-kumpul warga se-RT silahturahmi Idul Fitri sehabis liburan lebaran yang diadakan pada malam hari itu hanyalah suatu bentuk formalitas. Tidak benar-benar ada spirit untuk menjalankannya secara nyata. Hanya membentuk lingkaran, berkeliling tersenyum saling menempelkan tangan tanpa ada rasa apapun. Apa dia pikir hanya dengan menempelkan tangan kepada yang bersangkutan otomatis semua dosanya sudah termaafkan? Tanpa tuturan kata apapun apa yang menjadi permasalahannya?. Sungguh orang yang picik.
Kamu meminta maafpun. Orang yang bersangkutanlah yang akan memutuskan akan memberikan maafnya atau tidak. Apalagi melakukannya dengan cara.. yang tidak niat. "Apa yang kamu dapatkan adalah hasil dari apa yang kamu berikan". Ia sungguh tidak tahu posisi dirinya.
Menggampangkannya. Karena dia sendiri saja dengan bangganya mengatakan
bahwa ia tidak mau mengemis maaf. Sedangkan kalau dari sudut pandangan aku pribadi sebagai salah satu korbannya
sih.. bodo amat. Bukan aku yang butuh. Toh yang punya tanggungan dia.
Mungkin Sugeharto menyadari bahwa dibalik permintaan maaf ada janji untuk menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ia tidak siap bahkan mungkin tidak mau menjalani konsekuensi akan hal itu. Diusianya yang sudah mulai meredup, sepertinya ia masih menikmati cara hidupnya ini.
Kesombongan tidak akan menjadikan seseorang tinggi derajatnya. Justru
dengan kesombongan itulah ia akan terperosok dalam kerendahan.
Sekarang Pakde Tejo sudah tiada. Sudah tertutup gerbang maafnya secara langsung.
Terlintas dalam pikiranku. Sugeharto ini pasti menjadi santapan favorit para Angkara. Suatu menu special yang kelezatannya membuat mereka meneteskan liur begitu melihatnya.
Bagaimanapun juga, jelas aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Selama ia masih berada dalam perimeter jangkauanku. Ia tetap berada dalam lindunganku.
Tidak pula menutup kemungkinan ia juga akan dijadikan salah satu Angkara. Bila melihat segala potensi yang dimilikinya. Mereka tidak melulu merekrut manusia yang cerdas atau yang mempunyai kekuasaan. Mereka tetap membutuhkan orang bodoh untuk dijadikan bidak. Sebagai pesuruh sekaligus perisai para Lv tinggi mereka.
Hmm.. gimana ya kalau dia aku jadikan umpan saja, untuk menarik keluar para Angkara.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).