Tiga puluh menit pertama saya sangat menikmati penyajian film ini dari kisah masa kecil Tjokro sampai masalah pernikahannya. Saat mertuanya menuduh beliau tidak bertanggung jawab karena meninggalkan istrinya. Dari sini saya agak blank... karena tidak dijelaskan lebih detail mengenai hal itu. Dia kerja apa? dan pergi dengan tujuan apa?. Lalu kisah pindah ke Surabaya. Ditampilkan disana ada pertikaian yang lagi-lagi tidak digambarkan dengan jelas penyebabnya. Tiba-tiba ada adegan pertikaian yang kesannya kok ecek-ecek ya buat saya. Terjadi tepat di depan gedung pertunjukan dimana Tjokroaminoto dan seorang tokoh Tionghoa yang tidak dikenal namanya sedang menikmati pertunjukan. Langsung saja keduanya keluar dan hanya berbekal beberapa patah kata bisa diredakan begitu saja. -_-
Cerita sampingan pedagang dingklik(bangku pendek) dan seorang Indo(keturunan Belanda-Bali) yang diperankan oleh Chelsea Islan tampil cukup apik mengisi permasalahan minor. Cukup berhasil dan tidak kalah dari dua orang pengisi radio dari film Soegijapranata.
Lalu setelah tiba-tiba berorganisasi... adegan yang membuat saya lagi-lagi heran. Itu kok Tjokroaminoto bisa langsung begitu terkenal?. Saat dia lewat orang-orang pada merubung dan mengenali dirinya. Padahal harus ada pencampaian tertentu untuk mendapatkan fame. Tidak diceritakan apa saja yang dilakukannya. Dan saya yakin jaman dulu sebagian besar masyarakat kita tidak bisa membaca, dan yang membaca koran hanyalah kalangan terbatas; media pada saat itu. Tentang hijrahnya sih oke. Sayang tidak dijelaskan dengan gamblang alasan hijrah dan perjuangan dalam hijrahnya. -_-
Mungkin bagi penulis cerita ini sendiri masih sulit menggambarkan cerita yang sesungguhnya karena data yang didapat terbatas. Tapi... ini malah menjadi lubang dalam plot. Karena sebenarnya fungsi dari kita menonton filmnya adalah mendapatkan informasi mengenai perjuangan beliau dengan cara yang bisa dinikmati.
Ada juga adegan rembug an(sidang) yang dipimpin oleh Agus Salim, disana diperdebatkan mana yang lebih penting antara agraria atau pendidikan yang diakhir kok kesannya malah jadi debat kusir. Kok malah jadi nggak kelihatan inteleknya -_- .Yaa tapi masuk akal juga sih kalo kita lihat kesamaannya dengan sidang para anggota dewan.
Yang bisa saya tangkap adalah Tjokroaminoto berjuang tanpa menggunakan kekerasan. Berbeda dengan Semaoen yang menggunakan cara Ekstrem.
Sisi positif dari film ini, dialeg yang digunakan benar-benar pas. Enak didengar, bisa dinikmati. Suroboyoan banget seperti yang dicontoh kan oleh mbok Toen pembantu di rumah Tjokroaminoto.
Selebihnya... saya merasa film ini masih kurang dalam segi kejelasan cerita. Setidaknya film ini jauh lebih bagus dari film Soekarno yang saya anggap film jelek. Tidak begitu menceritakan perjuangannya; malahan masalah rumah tangganya yang disorot -_- . Terlalu banyak adengan fiksi. Seperti adegan para tentara Jepang yang menggandeng para perempuan pribumi untuk dijadikan budak nafsunya. Dan ada Soekarno disitu tapi tidak berbuat apa-apa -_- . Scene ini malah menurut saya membuat pandangan orang terhadap dirinya menjadi rendah. Nggak usah pake scene itu aja lah mendingan.
Akhir-akhir ini juga menjadi trending nonton bareng film G 30 S PKI. Gimana ya?...
Terus terang walaupun film ini menjadi tontonan wajib di masa saya masih SD dulu. Saya sampai sekarang tidak pernah menontonnya secara penuh. Padahal waktu itu semua guru wanti-wanti agar semua murid wajib menontonnya dan bahkan akan ada kuis nantinya -_- dengan materi film tersebut (kenyataannya juga tidak pernah ada pertanyaan mengenai film tersebut).
Jaman SD cuma nonton 5 menit pertama. Setelah itu saya disuruh tidur oleh nenek saya. Keluarga saya yang lainpun juga mendukung keputusan tersebut. Menurut mereka itu adalah film yang tidak pantas ditonton oleh anak-anak. Hal itu berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Orangtua saya pun menyuruh saya untuk tidak menontonnya dan langsung tidur. Mereka menyebutnya propaganda.
Seperti biasa keesokan harinya teman-teman disekolah menceritakan ulang film tersebut dengan bersemangat. Dan saya cukup menjadi pendengar. Ada yang mengatakan tentang ada orang Belanda yang baik karena tidak mau menjajah. Sampai ada anak yang membawa silet dari rumah sambil mengatakan "Darah itu merah!" yang saya dengar itu adalah salah satu adegan film. Untunglah dia masih punya nalar yang sehat untuk tidak mempraktekannya kepada teman didekatnya.
Jadi bagaimana bila di jaman sekarang film itu kembali diputar?. Gimana ya?...
Nggak bakalan ada perubahan besar sih.. Kids jaman now saja mainnya GTA(
Grand Theft Auto).
Sedangkan anime semacam Naruto malah di ban tidak boleh ditayangkan dengan alasan adegan kekerasan -_- (Syukurlah sudah ada internet).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).