Menembus kegelapan malam. Suasana sepi, kabut dan hawa yang dingin masih menyelimuti bumi. Setapak jalan gelap itu tergeletak sebuah tubuh kaku tak bernyawa. Di kanan kirinya berbaris pepohonon rimbun yang menjulang tinggi. Seekor Gagak bertengger memandang dari sebuah cabang pohon disana. Menjeritkan kicauan yang menyayat hati, mengabarkan aroma kematian.
*****
Gerimis masih bersenandung diluar sana. Aura dingin merambat masuk kedalam rumahku. Aku membasuh mukaku dengan malas. Sebenarnya ini adalah saat yang tepat untuk bermalas-malasan, tiduran memejamkan mata sambil menikmati hawa sejuk yang ada. Tapi apa mau dikata, aku mempunyai tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Pagi-pagi buta tadi Dewi rekan wartawanku yang cantik menelponku... dia menyatakan cinta kepadaku. Kedua tanganku segera mengibas-ngibas angan-angan yang keluar dari kepalaku. Tidak-tidak, bukan itu yang terjadi. Aku hanya memimpikannya semalam. Dan saat dia menelponku kukira hal itu akan menjadi kenyataan. Namun impian liarku itu segera menguap begitu mendengar dirinya dengan nada tinggi dan antusias mengabarkan adanya penemuan mayat pria dalam keadaan cukup mengenaskan. Di sebuah jalan setapak di pinggir desa terpencil. Tempat itu masih bisa dibilang alas alias hutan walaupun tidak rimba.
Ya.. aku adalah seorang wartawan. Seorang wartawan senior yang seharusnya membimbing rekanku Dewi yang belum lama ini menjalani profesinya. Tapi kenyataan dilapangan justru dia yang lebih banyak menemukan berita hangat dibanding diriku. Delapan bulan aku mengenalnya, delapan bulan itu juga aku memendam perasaan kepadanya. Aku segera mandi lalu berpakaian dan membuat segelas kopi panas untuk menghangatkan badan. Sambil melahap sandwich kuseruput kopi yang masih mengepulkan asapnya itu. Hangatnya.. .Segera kuselesaikan. Tidak baik membuat seorang gadis menunggu lama. Dengan cekatan kupakai jaket tebalku yang terbuat dari bahan anti air, kuselempangkan tas kerjaku yang berisi berbagai macam peralatan jurnalistik termasuk kamera. Saat ku membuka pintu spontan sepoian angin lembab menyapa wajahku. Keluar rumah, mengunci pintunya lalu membuka jok sepeda motorku yang kuparkirkan di teras, terdapat jas hujan model Lowo/Kelelawar alias Poncho disana, aku mengenakannya. Panasnya kopi masih membakar dadaku membantuku untuk melawan terpaan gerimis, hawa dingin yang saat ini kuterabas bersama motor kesayanganku.
Jalanan terasa lenggang. Sekalipun gerimis, terpaannya tetap berhasil membuat jas hujan beserta motorku basah kuyup. Sekalipun sedikit, siraman air yang merata dan berkelanjutan itu tetap saja berhasil membuat aspal jalan menjadi becek.
Gerimis mulai menghilang. Aku melihatnya dari kejauhan. Dia berdiri di bawah pohon mengenakan mantel jaket berwarna hitam. Begitu dekat dengannya terlihat sorot mata yang berbinar indah itu.
"Tresno sini!". Dia menyuruhku menitipkan kendaraanku di balai desa setempat.
"Kamu selalu saja membuatku menunggu lama Tresno" ucapnya manyun menggembungkan sebelah pipinya.
Aku bersyukur sekali orangtuaku memberikanku nama Tresno Sajiwo. Sehingga Dewi bisa leluasa memanggilku sepuasnya tanpa merasa malu sekalipun di depan umum. Tresno adalah nama lain "Cinta" dalam bahasa Jawa. Ya.. walaupun saat ini memang belum disertai oleh perasaan kesitu saat memanggil. Tapi aku yakin suatu hari aku bisa membuatnya memanggilku Tresno dalam arti yang sebenarnya. Suatu hal yang tidak mustahil dengan bekal dasar wajahku yang tamfan rupawan menawan ini(preet). Lagi-lagi aku tersenyum sendiri menikmati angan yang kubuat.
Mulai dari sana kami berjalan melangkahkan kaki ke dataran tinggi. Medan disana berlumpur dan becek. Tidak cocok dilalui oleh kendaraan. Kaki kami berjingkrak beriringan mencari pijakan yang aman dari lumpur sekalipun alas sepatu kami tidak lepas dari gumpalan tanah yang menempel pekat.
Di Lokasi kejadian sudah ada mobil polisi dan ambulan dengan roda yang sangat berlumpur. Aku mengeluarkan kameraku dari tas. Kami berpisah. Dewi hendak mewawancarai warga setempat yang berada di lokasi.
Sedikit berlari aku mendekati TKP. Disana aku mulai mengambil beberapa gambar keadaan lokasi. Beserta keadaan mayat korban yang badannya tercabik-cabik, terdapat luka menganga yang sangat dalam di lehernya sehingga membuatnya nyaris terlepas dari badan. Darahnya yang mengalir meresap ke tanah masih menyisakan bekas. Kusapukan pandangan ke alam sekitar, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjadi jejak atau barang bukti. Berjalan mengitari TKP sambil menjepret-jepret gambar yang kuanggap menarik. Hingga aku kembali ke lokasi semula tempat posisi mayat tergeletak. Kutatap ke atas, ke arah pepohonan yang dahannya rimbun menghijau. Aku melihat sesuatu yang janggal. Kubidikkan kameraku kesana, menekan tombol zoom. Dari lensanya aku melihat gumpalan darah di bagian bawah salah satu dahan pohon tidak jauh dari tempat ditemukannya mayat. Aku menjepretnya beberapa kali dari berbagai macam sudut. Apakah ini suatu petunjuk? Bagaimana bisa jejak darah itu ada disana?. Kuperhatikan lebih cermat ternyata mirip dengan cengkraman tangan dari sebuah makhluk. Kalaupun iya, makhluk apa yang cukup besar bisa bergelantungan disana?. Aku ragu karena jejak darah berupa telapak itu seukuran manusia. Bagaimana hal ini bisa terkait?. Kenapa jejak darah itu tidak dimulai dari posisi tubuh mayat yang tergeletak di jalan?. Banyak pertanyaan memenuhi benakku.
Aku keluar dari sana mendapati Dewi sedang mewawancarai saksi yang mendengar jeritan di tengah malam. Menurut penuturannya korban malam ini mendapatkan jatah ronda malam. Ia dan seorang lagi pemuda warga sini yang saat ini belum ditemukan keberadaannya melakukan ronda keliling.
Korban dikenal sebagai orang yang ramah, ringan tangan dan berjiwa sosial tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Berbeda dengan si pemuda teman rondanya yang justru dikenal sebagai pemuda berandal yang saat ini sedang diburu polisi sebagai tersangka dalam kasus ini.
Aku terdiam.. sedang menimbang-nimbang ragu antara melaporkan kejanggalan yang kutemui ini kepada polisi atau diam agar bisa kuselidiki sendiri. Karena bisa jadi pemuda tersebut bukan pelakunya, ia justru berhasil melarikan diri dari sesuatu itu. Dan saat ini sedang bersembunyi takut dituduh dan dihakimi massa. Disamping itu bila aku berhasil memecahkan misteri ini sendiri aku bisa menerbitkan berita ini secara ekslusif. Tidak menutup kemungkinan akan penemuan species baru.
Berita bombastis yang akan membuat uang mengalir deras mengisi kantung kosongku ini menjadi pundi-pundi uang. Hasilnya akan kupersembahkan kepada Dewi, mengajaknya candle light dinner dan memberinya hadiah cincin berlian.
'Kaulah pelakunya!' Sambil menunjuk ke depan.
"Hahaha" Aku cengar-cengir sendiri, tidak menyangka bahwa Dewi berada tidak jauh dariku memandangku seperti melihat orang aneh.
"Kamu kenapa Tresno?"
Langsung tersadar dan menggosok-gosok kamera. "Aku laper. Yuk ke kafe sekalian segera kita susun berita ini. Kamu pasti belum sarapan kan?". Ajakku.
"Santai, Belanda masih jauh. Lihat deh nggak ada wartawan lain yang meliput selain kita disini. Keadaan masih aman. Cek dan ricek dulu siapa tahu masih ada tambahan berita yang bisa kita tulis".
"Panjang umur deh. Barusan diomongin". Dewi melihat beberapa wartawan yang baru sampai.
"Tapi tetap saja mereka terlambat. Jasad sudah dipindahkan, para polisi tidak lagi sebanyak tadi". Ujarku.
Kami duduk semeja di Kafe langganan kami. Sekalipun bukan candle light dinner tetap saja ini merupakan keadaan istimewa buat aku.
Aku memakan nasi sup buntut dengan lahap. Sebuah sandwich kecil memang sama sekali tidak cocok buat sarapan. Lelaki dewasa sepertiku membutuhkan porsi yang jauh lebih berat. Sementara Dewi masih saja mengaduk-aduk sambal kacang dari Gado-gado pesanannya.
"Kenapa nggak dimakan Wik?"
"Gak selera"
"Gak selera karena apa?"tanyaku sambil mengunyah.
"Tresno, barusan kita melihat orang yang hampir putus kepalanya. Aneh rasanya kalau masih lapar setelah melihat hal itu". ucapnya lesu.
Aku terbelalak saat mulutku terbuka, tidak jadi menelan nasi sudah kusendok dan hampir masuk ke dalam mulutku. Serta merta aku menurunkan sendokku. Perlahan aku memandangnya... .
"Hahaha" Tawanya terdengar renyah.
"Sori-sori, aku cuma bercanda kok. Wartawankan memang harus kebal sama hal itu. Sudah ah, aku menulis dulu". Imbuhnya sambil mengeluarkan notebook dari tas kecilnya.
'Aku bersukur bisa membuatnya tertawa walaupun dengan cara"nya" sendiri'.
*****
Senja menjelang. Semua persiapan telah kukepak. Aku membulatkan tekadku untuk memecahkan misteri ini sendiri. Saatnya kembali ke TKP.
Malam ini terlihat terang sekalipun bukan Purnama. Peninggalan hujan deras tadi siang masih menyisakan genangan air berlumpur disana sini. Kabutnya lumayan tebal membuat bulu kudukku merinding, padahal jaket yang kukenakan sudah cukup tebal. Aku coba menemukan bukti-bukti lain yang bisa mendukungku untuk menguak misteri ini. Sebuah garis polisi melintang di mulut hutan diikatkan berkeliling ke beberapa pohon di areal tersebut. Aku menunduk dan sedikit mengangkat pita berwarna kuning itu untuk melewatinya. Keadaan tidak banyak berubah dari tadi pagi. Mungkin memang sengaja dibiarkan apa adanya guna keperluan penyelidikan.
Cahaya senterku menerabas kegelapan malam melibas kesana kemari, mencari-cari barang bukti. Keadaannya mirip dengan game-game survival horror yang sering kumainkan. Hingga terlintas dalam pikiranku. Bagaimana bila pelakunya bukan sesuatu melainkan memang manusia? Ia pasti akan kembali untuk melenyapkan barang bukti. Jejak darah di atas cabang pohon itu. Nyaliku menjadi ciut. Namun segera kutepis mengingat roman picisan dalam mimpiku.
Aha... diluar sana aku melihat sebuah tebing yang lebih tinggi permukaannya. Syukurlah aku tidak lupa membawa lensa telekonverter atau extender yang bisa membuat bidikan kameraku menjangkau jarak yang lebih jauh.
Aku menengkurapkan diriku diatas bukit kecil ini. Mencoba posisi yang membuatku nyaman demi menunggu pelaku kembali ketempat kejadian. Sambil menggenggam erat kameraku yang saat ini bisa menjangkau sampai jarak 30 meter ke depan. Yah.. kocekku saat ini masih belum mampu untuk membeli extender yang bisa menjangkau lebih jauh lagi. Apalagi aku memang tidak terobsesi menjadi Paparazzi. Untunglah keadaan disana masih bisa terlihat dari sini. Ini adalah cara aman untuk mengetahui pelaku tanpa harus kontak dari dekat. Masih ada jeda 30 meter untuk aku melarikan diri apabila sampai ketahuan.
Aku menekan tombol zoom, meneropong dari kamera. Posisiku sudah tepat. Aku bisa melihat pohon itu dari sini. Untung saja tidak ada pohon yang tumbuh menutupi jarak pandang ku dari tempat persembuyianku ini. Keadaanku sekarang ini mirip seperti seorang sniper yang bersiap membidik targetnya.
Sudah berapa lama ya aku menunggu? Lolongan anjing dan suara burung hantu menemaniku.
Masih belum ada suatu apapun yang mendekat. Masih belum ada tanda-tanda yang mencurigakan. Tapi aku masih berharap.
Perutku sudah mulai lapar. Aku sudah mulai bosan. Ternyata pekerjaan seorang detektif itu memang menuntut kesabaran.
Diriku dikejutkan oleh suara langkah kaki yang merayap mendekat dari arah pepohonan sana. Burung gagak yang sebelumnya diam mulai bersahut-sahutan menambah kental suasana mistis. Aku bersiap menyalakan record pada kameraku. Disuasana yang dingin ini keringat dinginku menetes begitu melihat sosoknya yang berukuran manusia tapi terlihat bukan manusia. Ia tidak memakai pakaian, tubuhnya bewarna kehitaman. Sebagian kecil tubuhnya berwarna lebih terang, seperti pada bagian muka dan sebagian tangannya. Lengannya ada sesuatu seperti selaput.. eh apakah itu sayap?. Saat ia berjalan, tangan kirinya terlihat seperti memegang.. kain lap berwarna putih. Berjalan tepat ke arah pohon jejak darah. Sekarang dia sudah berada di bawahnya. Terlihat dari samping kepalanya yang mempunyai telinga seperti kucing mencuat ketas. Menengadahkan kepalanya keatas seolah mencari sesuatu.
Mataku terbelalak menyaksikan makhluk itu menempelkan kakinya ke batang pohon lalu berjalan secara horizontal seperti biasa layaknya kita berjalan di lantai. Kaki kirinya lantas mencengkram cabang membuat dirinya bergelantung. Tangan kirinya memindahkan kain lap ke kaki kanannya. Lantas sambil bergelantung dengan satu kaki kiri, kaki kanannya bekerja mengusap-usap cabang pohon yang terdapat jejak darah. Ternyata itu adalah jejak kakinya. Sesaat ia tiba-tiba berhenti.. kepalanya menengok kearahku!. Kini terlihat dengan jelas muka makhluk mengerikan itu. Benar-benar mirip makhluk jejadian. Matanya merah menyala seperti sorotan lampu laser yang digerakkan saat kepalanya menoleh kearahku, membuat jantungku berdetak lebih kencang. Lubang hidungnya mengarah kedepan seperti seekor babi. Mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Membuatku bergidik ketakutan. Kelelawar raksasa jadi-jadian?. Jangan-jangan dia tahu keberadaanku disini!?.
Aku segera lari dari situ. Lari sekencang-kencangnya sebelum dia sempat memergokiku dan melesat ke arahku. Kugeber gas sepeda motorku sekuat tenaga, kuterjang bebatuan yang bergeronjalan disepanjang perjalanan. Aku sudah tak mempedulikan apapun. Badanku gemetar hebat. Kalau sampai bannya bocor maka habislah riwayatku. Rasa takut sudah menguasaiku.
Aku hampir sampai di wilayah perkampungan rumahku.
Kubuka pengunci pintu rumah dengan bergesa-gesa. Malah seakan lebih lama dibandingkan saat membukanya secara normal. Tanganku berkeringat, tidak berhenti bergetar.
Sampai di dalam kuhirup nafas sedalam-dalamnya, lalu kekukeluarkan. Begitu seterusnya sampai diriku mulai tenang.
"Makhluk apa itu tadi?. Kenapa dia bisa langsung mengetahui keberadaanku yang bersembunyi disana?".
Aku menonton ulang rekaman dari kameraku dengan tangan gemetaran dan jantung berdebar. Ternyata benar itu adalah hal nyata. Diriku tidak bermimpi. Makhluk ini nyata, benar adanya. Melihat tingkahnya bisa jadi itu adalah mahluk jejadian.
Suara ketukan pintu membuatku terlonjak kaget.
"Si.. siapa!? perkataanku masih terbata.
Pengetuk pintu tidak menjawabnya. Dia malah mengulangi mengetuk pintu rumahku sampai tiga kali lagi.
'Jangan-jangan makhluk itu?. Mati aku. Tapi kenapa dia bisa sampai kesini?'
Aduh gimana ini.. pikiranku sangat kacau.
Bisa-bisa besok aku yang menjadi berita. Telah ditemukan... AKH!! Tenangkan dirimu Tresno. Kamu tidak boleh seperti ini.
Terdengar ketukan itu lagi. "Siapa diluar sana!? Kalau tidak menjawab tidak akan kubuka!".
"Ini aku Dewi Tresno!".
Aku menarik nafas lega. Ternyata Dewi.. itu memang suaranya. Kenapa malam-malam begini kemari? ada apa gerangan?.
"Sebentar Wik"
Aku langsung bercermin. Menyeka keringat didahiku dan merapikan rambutku seadanya. Juga menata bajuku yang tadi sedikit berantakan.
Perlahan kubuka pintuku. Terlihat Dewi disana tersenyum manis.
"Tumben Wik, ada apa malam-malam begini?
"Aku nggak kamu persilahkan masuk dulu nih?"
"Oh iya maaf. Silahkan masuk.
Dewi duduk di satu-satunya sofa diruang tamuku yang minimalis ini. Aku juga langsung duduk disebelahnya.
'Jangan-jangan dia mau membuat pengakuan kepadaku?. Apalagi malam ini dia terlihat sunguh seksi. Ah.. andai saja benar begitu... . Ihh apaan sih! singkirkan jauh-jauh pikiranmu yang tidak-tidak itu Tresno!'.
Dewi menggapai kameraku yang kugeletakkan di meja. Segera aku merebutnya. Dia menatapku.
"Maaf Wik, disini cuma ada foto-foto mayat tadi pagi yang mengerikan itu. Sebaiknya tidak usah dilihat lagi, nanti malah bikin nggak bisa tidur" ujarku berkilah.
"Aku buatkan kopi ya?" Aku berbalik. Saat itu entah mengapa ruanganku berubah menjadi dingin. Apa hanya perasaanku saja ya? Akukan masih memakai jaket tebal. Bulu kuduk di tengkukku berdiri. Seakan ada hal yang tidak beres.
Selesai mengaduk kopi aku berbalik kembali. Kutemukan Dewi berdiri sambil tersenyum kepadaku. Namun itu bukan senyuman manis yang sama yang selalu aku lihat saat bersamanya. Senyumannya terasa aneh. Senyumannya terasa mengerikan.
"Benarkah hanya foto-foto tadi pagi saja? Apakah tidak ada hal penting lainnya?".
"Hal lainnya seperti apa?"
"Foto atau rekaman yang malam ini barusan kamu ambil dari TKP".
'JLEB!' Aku seolah tersambar petir, jantungku seakan berhenti berdetak.
'Bagaimana Dewi bisa mengetahui hal itu?. Perasaan tidak ada seorangpun disana kecuali aku dan..'
Dewi merebut merebut paksa kameraku dari lenganku sehingga kopi yang sedang kupegang jatuh. Cangkirnya pecah.
Dewi memutar rekaman itu dan menunjukkannya kepadaku.
"Ini!" dengan nada tinggi, suara Dewi berubah menjadi serak.
Aku mulai ketakutan suaraku tercekat.
"Kamu pasti bertanya bagaimana aku bisa tahu?"
"Karena yang kamu rekam itu adalah AKUU!!! Muka Dewi berubah menjadi pucat kebiruan. Begitu juga dengan tubuhnya. Matanya merah menyala, bilah-bilah taring muncul dari bibirnya. Tangannya berubah serupa cakar dan terdapat membran di sisi lengannya.
Aku tak mempercayai apa yang aku lihat ini. Berharap ini hanyalah satu mimpi buruk diantara banyak mimpiku bersama Dewi. Mimpi yang aku impikan setiap malam. Karena aku terlalu mencintainya namun hanya bisa memendamnya diam-diam. Aku menutup mataku lalu membukanya lagi. Sosok menyeramkan itu masih berada tepat di depanku. Aku menampar-nampar pipiku berharap bisa keluar dari mimpi buruk ini. Namun hanya sakit yang terasa. Sosok itu masih berdiam di hadapanku.
"Kau harus mati!" suara Dewi sudah sangat berbeda. Terdengar serak seperti sayatan kuku di papan tulis. Jemari tajamnya melesat hendak menghujam tenggorokanku.
"Dewi aku mencintaimu sayang!. Aku mau menerimamu sekalipun kau adalah siluman!". Aku berteriak kepadanya. Entah bagaimana suaraku berhasil keluar.
Jemari tajamnya berhenti tepat 1 cm di depan leherku.
'Apa barusan aku menyatakan cintaku dalam keadaan seperti ini?'.
"Tidak.. tidak ada yang boleh mengetahui keberadaan kami".
"Kami? jadi masih ada yang seperti dirimu diluar sana?"
"Sayang.. cinta tidak bisa membuat umurku menjadi lebih panjang. Orangtua yang menjadi mayat itu tidak bisa kukonsumsi. Nekat memakannya malah bisa membuatku mati keracunan. Maka aku melenyapkannya sebelum dia membuat keributan dengan kentongan di tangannya. Berbeda dengan pemuda disebelahnya, sekalipun rasanya tidak terlalu lezat. Mereka memergokiku saat aku sedang menyantap mangsaku yang melarikan diri cukup jauh. Kejadian itu membuatku kekenyangan.
"Kau memang bukan orang suci. Namun aku masih tidak bisa memakanmu. Orang tanggung sepertimu rasanya tidak enak bahkan bisa membuat kami sakit perut".
Dewi menebaskan jemari tajam dari tangannya yang lain ke leherku. Aku roboh dengan kepala nyaris putus. Mataku terbelalak dengan mulut menganga seakan masih tidak mempercayai hal itu. Benar-benar mengerikan, kondisiku sama persis dengan mayat pria yang kufoto tadi pagi.
*****
Dewi menerobos kerumunan polisi yang berjaga pagi itu di depan rumahku. Mengambil beberapa fotoku yang tewas mengenaskan. Lalu mewawancarai beberapa tetangga dan polisi yang bertugas. Dia tersenyum memandang mayatku sebelum akhirnya membalikkan badan pergi berlalu untuk menulis berita kematianku. Sekali lagi dia menjadi wartawan pertama yang menginjakkan kaki di TKP untuk meliputnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).