Sore ini Sugeharto mendatangi rumah ku untuk berkeluh kesah sekaligus mengajakku untuk memihak dirinya. Karena aku saat ini memang tidak ada kegiatan ya senang-senang saja dapat teman ngobrol.
“Aku jengkel sama Wan. Sekarang dia beda. Tidak asik lagi diajak bicara.
Kelihatan menjauhiku. Seenaknya sendiri kalo ngomong”.
“Kalau aku mau, aku juga bisa kok dapat istri yang cantik” berkata dengan nada jengkel, matanya terlihat melotot sambil memonyongkan mulutnya yang berkumis lebat.
‘Ooo’
“Istri cantik itu tidak bisa menjamin kebahagiaan” ucapnya dengan nada sinis.
‘Apalagi yang jelek’.
Mencemooh seperti itu tapi perbuatannya lain. Indikator dirinya sedang sakit.
Berkali-kali mengatakan Aku kaya, beda dengannya.
Berkali-kali mengatakan Aku punya mobil, beda sepertinya.
Sudah punya cucu dan beragam kalimat sejenis lainnya.
Tapi kenapa Sikapnya seperti itu kepada Imron? Sangat tertarik kepada Imron?
“Aku ingin kamu membantu aku nyebarin kebenaran ini” Ucapnya antusias.
“Kamu tahukan Si Imron dengar-dengar mau menikah sama janda. Memangnya kenapa kalo dia cantik?. Huh, janda bukan perawan. Sudah punya anak umurnya 6 tahun lagi”.
‘Memangnya ada yang salah dengan status janda!?. Semua orang di kampung ini juga tahu dia perempuan baik-baik’.
Kasihan banget ya hidupmu.. dihabisin cuma buat hal semacam ini...
Berkali-kali mengatakan dirinya bisa mendapatkan istri yang cantik. Kenapa tidak dilakukan dari dulu? Daripada dirinya menjadi seperti sekarang’.
“Sudah ngerencanain pake mau dirahasiakan dari anaknya pula, tentang kebenarannya.
Namanya kebenaran itu harus disampaikan!. Biar anak tirinya tahu dia itu cuma bapak tirinya, biar anaknya tahu bapak tirinya itu pengrusak rumah tangga orang. Pengrusak pager ayu!” ucapnya sampai mulutnya monyong-monyong gitu, saking menggebu-gebunya ini pasti.
“Tunggu-tunggu. Kamu bisa berkesimpulan seperti itu darimana? Kamu sudah dengar sendiri cerita masa lalu keduanya bukan?. Kamu sadar apa yang kamu bicarakan?. Mereka mau menikah, serius membangun rumah tangga. Keduanya juga tidak pernah melakukan hal yang melanggar syariah. Orangtua kedua belah pihak telah mengetahuinya, terutama ayah si perempuan selaku wali telah merestuinya. Terus apa yang salah?”.
“Ya.. memang bukan selingkuhan tapi tetap saja Imron itu yang menjadi penyebab perceraiannya”.
‘Tentu saja dia dengan enteng mengatakan hal itu karena bukan anaknya. Sedangkan orangtua pasti selalu memikirkan kebahagiaan anaknya. Dan posisi dirinya mengatakan ini sebagai seorang pendengki'
‘Orang semacam dirinya hanya melakukan pembenaran. Seolah mengetahui segalanya. Sekalipun tidak tahu tetap saja tidak berniat mencari tahu. Apapun itu, ditujukan hanya untuk menyerang.
‘Bisa berbicara seperti itu padahal dia tahu beritanya juga dari Wan, dari ibu-ibu tetangga kanan-kiri’.
Bahkan saking penasarannya bukankah dia sampai minta tolong istrinya agar bisa tahu. Dari mulut istrinya berita itu sampai ke dia.
Tunggu...
Ada hal yang mengganjal dalam pikiranku..
Tapi kalau dipikir-pikir Kenapa dia memilih Imron?
Kenapa tidak memilih warga lainnya yang rata-rata juga taraf kehidupannya lebih baik dari dirinya?.
Kenapa tidak memilihku?. Padahal jelas-jelas aku ini mentereng. Ganteng, Kaya, Istriku juga cantik.
Apa karena mobilku hanya satu?.
Mobil ku walaupun cuma satu tapi aku belinya baru. Harganya juga jauh lebih mahal dari mobil bekas miliknya. Modelnya juga.. jangan ditanya, jelas lebih baguslah.
Yaa kalo mau eksis sekalipun bekas minimal beli yang merk BMW yang maksimal 5 tahun kebelakang-lah, jadi agak kelihatan dikit. Lupakan, yang 10 tahun kebelakang bekas tabrakan juga paling gak kuat beli.
Semua hal dalam kehidupanku melampaui segala hal miliknya.
Aku pensiunan pegawai negeri, pejabat. Sedangkan dia cuma pensiunan buruh.
Tingkat pendidikan dan kepandaianku juga jauh lebih tinggi darinya.
Otomatis kedudukan sosialku juga jelas tidak bisa dibandingkan dengan dirinya.
Istriku juga cantik, bukan cantik relatif tapi cantik universal dan absolute dimana semua orang mengakuinya.
Beda sama istrinya yang cantik relatif hanya bagi dirinya.
Anak-anakku juga ganteng dan cantik mirip bapak dan ibunya.
Apa dia berfikir kalau kehidupanku tidak lebih baik darinya?
Apa dia berfikir kehidupanku tidak layak untuk dia iri kan?
Kurang ajar!
Jadi selama ini.. ternyata dia memandang rendah diriku!?.
Memangnya dirinya siapa!?
Jangankan dalam hal materi, hal duniawi yang jelas-jelas dirinya jika dibandingkan dengan diriku itu.. Meh..
Dalam hal amal ibadah pun aku yakin seyakin-yakinnya dirinya jika dibandingkan dengan diriku itu tetap... Meh..
Jauh bagaikan langit dan sumur bor(karena Bumi kurang dalam).
Kenapa dirinya tidak iri kepadaku tapi justru kepada si Imron yang.. memang kuakui dirinya sedikit lebih ganteng daripada aku. Calon istrinya juga sedikit lebih cantik daripada istriku setidaknya melalui sudut pandangku.
Tapi tetap saja itu namanya melangkahiku!.
Tiba-tiba darah didadaku bergejolak. Diriku menjadi marah atas standart perlakuannya itu.
Pandanganku terhadapnya tiba-tiba menjadi sangat berbeda. Bajingsai!.
Lantunan suara Adzan berkumandang. Kami, lebih tepatnya diriku menghentikan sejenak percakapan kami. Hatiku yang tadinya dipenuhi amarah berangsur-angsur menjadi sejuk.
Aku mengucapkan istighfar dalam hati atas kekhilafanku barusan.
...
Kami kembali melanjutkan percakapan kami yang sempat tertunda barusan.
Betapapun, seorang pendengki itu tetap seperti ular hitam berbisa yang tidak akan pernah diam sebelum menyemburkan bisanya pada tubuh yang tak berdosa.
“Lha memangnya apa salah anak itu sama kamu sampai-sampai kamu tega kepadanya. Itu berarti kamu mau merusak mentalnya, merenggut kebahagiannya untuk merasakan tumbuh sebagai anak dari keluarga normal.
“Normal gimana!? Jelas-jelas bercerai gitu! Ya harus diterangkan sejak awal!”
“Dalam islam tidak ada istilah anak tiri. Kalau Imron sudah menikahi ibunya berarti itu sudah menjadi anaknya. Hak mereka pula untuk melakukan apa yang diperlukan demi kebahagiaan keluarga mereka”.
“Bukan tempat kita untuk mengomentari bahkan mencampuri keputusan itu”
“Lho kamu kok nggak memihak aku to Man!? Aku ini temanmu!.
Lha wong suaminya itu masih hidup kok. Bagaimanapun juga dia itu perusak rumah tangga orang!”
"Mantan suami" ralatku.
Sebelumnya hal ini juga pernah terjadi. Ketika dia membanggakan dirinya yang baru saja mempunyai cucu pertamanya dari putri bungsunya.
Saat anak bungsunya melahirkan cucu pertamanya.
Ia sempat tak peduli tentang putri sulungnya yang sampai sekarang belum berkeluarga. Tidak peduli perkataan tetangga, tidak peduli keadaan dirinya. Kasarannya, dia tidak akan menikahpun tidak masalah baginya. Yang penting baginya sekarang(saat itu) dia sudah berhasil mempunyai cucu. Berkeliling memamerkan cucunya keliling kampung. Berharap warga yang belum mempunyai cucu iri kepadanya. Yang ditanggapi positif oleh para warga dengan menanggapnya mengajak bercanda cucunya.
Salah satunya adalah Bu Tejo yang bahkan mengajak tetangga yang lain melakukan hal yang sama. Tetangga yang lain tidak keberatan dengan hal itu sekalipun ada diantaranya yang juga sudah mempunyai cucu. Dirinya juga puas dengan keadaan itu. Sering menyampaikan kepada para tetangga membandingkan dirinya dengan Imron yang usianya terpaut jauh dengan dirinya. Ia menepuk dadanya bahwa kebahagiaannya telah lengkap. Membanggga-banggakan hal itu. Sudah mempunyai anak, sekarang sudah mempunyai cucu. Tak jarang dia membandingkan dirinya saat itu dengan orang yang didengkinya yang telah meninggal dunia. Bangga dirinya berhasil menjadi Tua.
Aku menghela nafas..
Bahkan sampai-sampai saat ia sempat berprasangka bahwa Budhe Tejo(Kami memanggilnya Budhe karena usianya jauh lebih tua dibandingkan kami) memihak pada pihak orang yang didengkinya. Dirinya mengatakan tidak tidak akan membiarkan dirinya dolan dengan cucunya. Mencemooh anak-anaknya yang tidak bisa memberinya cucu karena mandul(masalah kesuburan). Namun dirinya tidak melakukannya, tetap membiarkan Budhe Tejo menanggap cucunya saat diedarkan olehnya. Karena sikap Budhe Tejo yang seperti itulah yang memberikannya kepuasan batin.
Aku tak percaya kalau tidak mendengarnya sendiri. Dia benar-benar laki-laki busuk yang jahat.
Seorang pendengki itu tetap seperti ular hitam berbisa yang tidak akan pernah diam sebelum menyemburkan bisanya pada tubuh yang tak berdosa.
Mereka bahkan belum menikah. Namun dirinya sudah mempunyai rencana keji yang sudah disiapkannya jauh kedepan untuk mereka.
Hal yang disampaikannya kepadaku ini memang bukan pertama kalinya. Pernah juga disampaikan kepada bapak-bapak warga sini saat mereka berkumpul.
Berbagai omongan dia tularkan. Sebagai bentuk usaha agar mereka tidak jadi menikah. Yang tentunya sama sekali tidak mempunyai efek apapun. Lha menunjukkannya saja sudah salah alamat. Kepada kami yang tidak berkepentingan.
Itukan masalah pribadi, mau menikah dengan siapa itu bukan urusannya, tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, dengan kami. Keluarga juga bukan.
Kita berbicara ngawur. Kalau saja petisi bisa mengabulkan keinginannya itu. Pasti bukan hanya petisi saja yang diusahakannya. Ditambah pula oleh referendum. Dalam hati aku hanya bisa ngakak guling-guling.
Kenapa Imron tidak boleh bahagia? Apa di dunia ini hanya dia seorang yang boleh berbahagia? Sedangkan dunia ini bukanlah mliknya. Silahkan lakukan di dunia mimpi, jika kenyataan tidak bisa diterimanya. Ingat saat anak bungsunya berhasil mendapatkan suami? Lalu bagaimana sikap kami menangapinya? Biasa saja bagi kami, nggak penting. Tapi bagaimana dengan dirinya?.
Setelah Imron tidak bahagia. Bagaimana tanggapannya? Terpuaskankah dirinya? Diatas penderitaan orang lain?
Gila, semua demi memenuhi kepuasan kedengkiannya!? Dia hanyalah makhluk fana, bukan sang pencipta.
Muncul kesimpulan dari pergulatan batinku sebelumnya. Sebuah peribahasa dari Amerika
“Jika tidak bisa mengalahkannya , maka bergabunglah”.
Mungkin itulah yang dilakukannya. Dia merasa takkan pernah mampu bisa melampaui ku, begitu juga dengan banyak warga disini. Jelas-lah, tahu diri juga dia. Maka dipilihnya mangsa yang lebih mudah, yang masih muda. Berusaha menggalang kekuatan kami agar memeranginya. Demi memuaskan hawa nafsunya. Ciri khas seorang pecundang.
Namun sepertinya mangsanya tidak seperti yang dia pikirkan. Ternyata levelnya justru masih terlalu tinggi ada di atasnya sekalipun secara material masih kalah dengannya. Kan Imron masih muda dan menjadi Self entrepreneur. Beda dengan dirinya yang menghambakan diri ikut majikannya yang sudah kepalang kaya. Mungkin pada saat itu ada sebuah cerita penyebab dirinya menjadi rasis. Apa karena dirinya tidak bisa melampaui majikannya itu dalam segala hal?.
Supir angkot dengan supir KBRI juga beda jauh penghasilannya.
Para pentolan di kampung ini sudah meninggal dunia dan sisanya sudah bertaubat. Hanya dirinya seorang yang masih hidup dan kelakuannnya masih sama.
Tidak ingatkah dirinya pada dosa masa lalunya?. Apa yang dilakukannya pada Imron kecil.
Apalagi tentang manuver “patner in crime”nya yang didukungnya secara penuh. Seorang wanita yang sifatnya tidak ubahnya seekor ular. Gemar menyebarkan kebencian. Wanita tukang kutuk yang sifatnya sebelas-dua belas dengannya.
Tuhan tidak tidur.
Sifatmu cerminan pasanganmu adalah bukan sesuatu yang kebetulan. Hal umum yang sudah menjadi ketetapan. Bisa saling melengkapi dalam menjalankan kedengkiannya. Persentase kemiripan fisik dengan istrinya pun juga mencapai lebih dari 70%. Sama-sama berbadan gendut dan berkacamata. Selera dirinya. Mungkin inilah yang dinamakan fetish.
Kalau saja istrinya merestuinya aku yakin pasti sudah ia jadikan istri keduanya. Sayangnya istrinya tidak berpendapat demikian.
Ia masih ingat bukan kejadian beberapa tahun silam. Drama yang terjadi ketika anak lelakinya yang nomer dua menyeretnya pulang kerumah. Semoga ia tidak pura-pura lupa. Karena kami para warga kampung yang menjadi saksi pada malam hari itu masih mengingatnya dengan jelas. Saat itu kampung mengadakan acara dangdutan dan dia seperti biasa sangat antusias dengan acara tersebut. Diiringi lantunan musik, di atas panggung sedang asik berasoi ria dengan seorang perempuan “partner in crime”nya yang saat itu sudah menjanda, dilakukannya secara berlebihan. Karena dari awal sikap keduanya memang sudah click. Menjadi pasangannya, asik berjoget dengannya, saling menempel, penuh gairah. Istrinya pulang dari sana dalam keadaan sedih. Tak lama kemudian putranya mendatanginya dengan amarah. Mengetahui hal itu, musik segera dimatikan. Hal itu membuat kami bisa lebih fokus menyaksikan drama yang terjadi secara live ini. Dan feel-nya memang lebih terasa. Anaknya itu membentaknya, mengacung-acungkan senjata pemukul disertai ancaman agar ia turun dari panggung lalu menyuruhnya pulang. Hal itu terjadi di depan umum, di depan kami para warga kampung.
Kalau dipikir-pikir aku tidak akan kuat menjalani kehidupan sepertinya. Karena aku punya rasa malu, entah dirinya.
Wanita tukang kutuk itu telah dipanggil duluan oleh Yang Maha Kuasa. Meninggalkan dirinya di dunia yang fana ini.
Tuhan tidak tidur.
Barusan beberapa waktu lalu, di suatu malam setelah pertemuan RT selesai, terungkap sosok wanita itu yang sebenarnya. Seorang warga sini yang merupakan mantan majikan wanita itu akhirnya membuka alasan kenapa ia memecatnya sebagai pembantu di rumahnya. Karena wanita itu menawarkan tubuhnya kepada yang bersangkutan, sementara saat itu status wanita itu bersuami dan sudah mempunyai dua orang anak laki-laki. Bagaikan tersambar geledek, mungkin itulah penyebab Sugeharto tidak seperti biasanya, tumben ia diam tidak banyak berkomentar pada waktu itu. Padahal biasanya dia yang paling vokal dan nampak sumringah(berbinar bercahaya) bila ada materi seperti ini.
Hal yang dikuburnya selama ini diungkapkannya demi kebenaran dan keadilan. Aku tidak terkejut karena aku sebenarnya telah mengetahui hal itu sejak lama, istriku dekat dengan istri yang bersangkutan.
- Dan kemungkinan anak-anak dari wanita itu menjual rumah lama mereka disini lalu pindah dari kampung sini. Karena cepat atau lambat, mereka merasa bahwa perilaku sundal ibunya akan berpengaruh terhadap keluarga mereka nantinya. Terutama terhadap tumbuh kembang anak-anak mereka dilingkungan sini.
Ada perkataan seorang ulama yang sampai sekarang masih aku ingat.
Kedengkian tidak akan mengubah sesuatu menjadi lebih baik, melainkan akan mengubah keadaan diri menjadi sengsara, hina, dan cenderung menzalimi orang lain.
Bukti nyata kebenaran ucapan tersebut sekarang berada di hadapanku. Tepat didepan kedua mataku.
Ia mengajakku untuk menjadi sekutunya. Seperti yang terjadi pada masa lalu. Lebih tepatnya menjadi pengikutnya. Orang semacam dirinya berusaha membawa kita agar menyepelekan nikmat-nikmat Allah. Menanggalkan semua kepribadian baik kita, melepaskan ciri kehormatan kita, dan meninggalkan semua sejarah baik kita. Aku yakin diriku bukanlah satu-satunya orang yang diajaknya.
Mengajak agar sepaham dengannya, demi memuaskan kedengkiannya. Menuduh Allah tidak adil dalam ketentuannya.
Sudah saatnya aku mengakhiri percakapan ini.
“Begini ya Su. Kita sudah sama-sama beruban”.
‘Apalagi gelambir di pipimu sudah pada melorot ke bawah’
“Lebih baik mengurusi dapur masing-masing.
Dari pada kamu cawe-cawe mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Lebih baik kamu pikirkan itu anak pertamamu yang sampai saat ini masih gadis sementara umurnya sudah tidak bisa dikatakan muda lagi. Kamu masih punya beban tanggungan untuk menikahkannya”.
‘Semoga Su sadar dan tahu bahwa dirinya itu penyebabnya’.
Su masih terdiam dihadapanku.
Aku tak peduli pandangannya terhadapku. Aku mengatakan apa yang seharusnya aku katakan.
Aku bersyukur bisa mengatakan hal itu. Ini adalah suatu pertanda baik, membuktikan diriku masihlah seorang manusia yang masih mempunyai hati nurani dan rasa kemanusiaannya.