Entah ini yang keberapa kali aku berkunjung ke Psikiater. Dan seperti yang sudah-sudah, dia selalu menanggapiku dengan sikap yang sama. Padahal sudah berkali-kali aku berterus terang kepadanya bahwa aku sangat kecewa dengan kelakuanku selama ini. Yang aku butuhkan adalah nasehat-nasehat yang jujur, suatu terapi untuk memulihkan jasmani terutama rohaniku. Tapi apa yang selalu dikatakannya!?...
“Bapak adalah orang baik-baik dan bapak harus meyakini hal itu. Bapak hanya butuh istirahat, bapak terlalu sibuk bekerja membaktikan diri untuk negara. Mestinya bapak lebih menjaga kesehatan bapak sendiri. Ingat tenaga dan pikiran bapak sangat dibutuhkan oleh negara dan rakyat Indonesia. Oleh karena itu jangan lupa beristirahat yang cukup, jauhkan diri dari stress dengan tidak bekerja terlalu berat dan minumlah obat penenang ini.
Perkataan dihiasi senyum palsu yang terlihat dipaksakan. Membuatku ingin membogem mulutnya dan meludahi mukanya. Namun tidak kulakukan karena ia terlanjur mengatakan bahwa aku orang baik-baik dan amat dibutuhkan oleh nusa dan bangsa.
Padahal aku segerakan waktuku sesudah makan siang untuk pergi dari kantor dan pergi menemuinya. Ya walaupun pulang sebelum sore adalah hal yang biasa untukku. Karena semua pekerjaan kecil telah aku wakilkan kepada para anak buahku. Pucuk pimpinan seperti aku ini hanya menangani hal yang penting-penting saja dan yang urgen-urgen saja.
“Selamat siang pak” itulah hal yang selalu diucapkan para bawahanku ketika mereka berpapasan denganku saat masuk kantor. Aneh memang... aku tak pernah mendengar salam “Selamat Pagi pak...”.
Beginilah rutinitasku sehari-hari, aku adalah orang yang sibuk, mempunyai banyak tanggungjawab yang bahkan aku tidak pernah memintanya. Tanggungan yang menungguku di berbagai tempat dan waktu. Urusan yang tak pernah selesai.
Aku sibuk mengurus beberapa bidang bisnis baruku yang baru saja aku buka; Toko buku, Digital printing, rumah makan. Setelah sebelumnya aku mempunyai banyak bisnis yang sudah berjalan yang tidak mungkin bisa kulepas tangan begitu saja.
Sibuk dengan beberapa properti berupa rumah, vila, dan tanah yang luasnya beberapa ratus hektar yang beberapa waktu lalu aku beli.
Sibuk dengan model-model mobil terbaru yang akan aku pesan.
Sibuk dengan pencarian calon-calon simpanan, walaupun aku sudah punya beberapa dan sepertinya aku memang membutuhkannya.
Sibuk dengan rencana rekreasi keluarga untuk akhir pekan.
Bahkan di rumahpun aku ibarat jin lampu yang selalu sibuk mengabulkan keinginan anak-anakku yang meminta apa saja yang diinginkannya. Istriku apalagi; tidak jauh beda dengan anak-anak yang juga mempunyai banyak permintaan, sudah begitu cerewetnya minta ampun dan kalau sampai ngambek benar-benar menyebalkan dan membuatku kehilangan banyak waktu untuk menenangkannya.
Belum lagi urusan pekerjaan tempat aku menjabat di sebuah Departemen sebagai status sosialku: seorang pejabat. Itu semua membuatku lelah, kurang tidur karena banyak pikiran.
Ya, aku orang yang sangat sibuk sekali.
Beginilah kehidupan orang besar, begitulah orang-orang menyebutnya. Suatu hal yang sangat salah, munafik jika aku berani menyebut diriku orang kecil. Karena itulah kenyataannya. Seperti halnya bila diriku yang seorang pejabat Departemen ini berpapasan dengan seorang pemulung yang sedang berjalan kaki menggendong karung sedangkan aku mengendarai mobil "Jaguar" terbaru lengkap dengan sopir pribadi, lalu didepannya aku berhenti dan mengatakan kepadanya diriku hanyalah orang miskin papa. Bagaimana reaksi pemulung itu? Pasti orang-orang yang melihatnya akan langsung menyebutku orang yang sombong karena pengakuan itu.
Aku tahu aku sedang menjalani hidup di dunia yang fana, aku sadar hidup ini cuma sebentar. Namun justru itu yang mendorongku untuk menjadi seperti yang sekarang. Dulu waktu masih polos, dengan lugunya aku sangat menginginkan hidup yang seperti ini; jadi orang, orang gede, punya segalanya. Dan saat ini, setelah Yang Maha Kuasa mengabulkannya... kok terasa biasa-biasa saja? Malahan kehidupanku kini malah sering membuatku berkunjung ke berbagai macam jenis dokter; dari dokter syaraf sampai psikiater(aka dokter jiwa).
Setiap harinya aku bertemu para bawahanku atau di sebut juga anak buahku. Mereka banyak membantuku dalam pekerjaan, meringankan pekerjaanku, walaupun aku tak pernah merasa kalau kesibukanku berkurang. Perintah sana, perintah sini itu pekerjaan yang berat lho, karena yang kita perintah, yang kita atur itu manusia; punya nyawa dan keinginan, bukan benda mati. Seringkali menjengkelkan, tidak berani ngomong yang sesungguhnya; hanya mengatakan ya pak!, siap pak!, beres pak!. Rata-rata sifat mereka itu penjilat.
Entah sudah berapa lama terbesit di benakku untuk memanggil seorang Alim Ulama. Akhirnya hal ini kuucapkan juga kepada salah seorang bawahanku. Dengan serta merta iapun segera mencarikan dan menghadirkan seorang ustad lulusan luar negeri ke rumahku saat petang tiba. Terkejut akan kedatangannya, kusuruh anak-anak dan istriku pergi keluar untuk makan dan bahkan berbelanja apapun yang mereka inginkan; kalau perlu beli sekalian mallnya. Tinggal gesek.
Kuadukan seluruh ganjalan hatiku , semua dosa-dosaku. Kuminta petuah, nasehat-nasehat darinya bagaimana baiknya. Ustad itupun memulainya dengan sebuah ayat dan diakhiri dengan nasehat.
“Saya baru pertama kali bertemu dengan bapak. Bapak orang yang jujur. Tidak segan mengutarakan keinginan bapak untuk bertaubat. Suatu hal yang jarang ditemui. Niscaya bapak adalah calon penghuni surga. Perlu bapak ketahui; apa-apa yang bapak lakukan selama ini juga masuk kategori berbuat baik terhadap sesama manusia. Sebagai contoh para bawahan bapak yang patuh kepada bapak. Itu karena bapak perhatian dan senang memberikan bantuan salah satunya dalam hal materi. Selain itu kepercayaan bapak kepada merekalah yang telah membuat mereka bekerja maksimal hingga mampu membuat derajat hidup mereka jauh dari garis kemiskinan. Kita pasti setuju kemiskinan adalah musuh setiap manusia. Dan bukankah dalam sebuah hadist Nabi dikatakan bahwa kemiskinan itu mendekatkan orang kepada kekafiran".
"Mengenai dosa-dosa bapak seperti berzina misalnya. Harus dihentikan. Karena tobat yang sebenar-benarnya itu adalah meninggalkan jalan yang selama ini salah untuk kembali kepada jalan yang benar".
"Tentunya jalan untuk kembali tidak bisa langsung secara drastis. Seperti kebiasaan orang merokok. Untuk bisa berhenti ia harus menguranginya sedikit demi sedikit. Agar nanti tidak mengalami gangguan fisik dan mental. Pikirkan juga anak istri bapak, jangan sampai mereka terlantar gara-gara bapak terkena gangguan. Bukankah mendidik anak dan menafkahi istri adalah suatu ibadah juga. Coba bapak kurangi dulu saja. Sampai akhirnya bisa pulih total".
Sebuah nasehat yang masuk akal, walaupun cara ini kurasa adalah cara mainstream. Kukira ia akan mengatakan sesuatu seperti “jauh tidak bisa dibandingkan antara memakan daging segar di rumah sendiri dibanding daging busuk di luar rumah”. Syukurlah ia hanya mengatakan untuk mengurangi sedikit demi sedikit. Aku sangat lega. Beban pikiranku sedikit berkurang.
Saat ia memohon diri untuk pulang. Dengan serta merta aku keluarkan dan aku selipkan gelondongan uang kertas seratus ribuan yang entah berapa puluh lembar, aku terlalu malas dan tak punya waktu untuk menghitungnya. Mulanya ia menolak uang tersebut, tapi aku terus mendesaknya dan mengatakan bahwa bukankah rezeki itu tidak boleh ditolak?. Akhirnya ia menerimanya dan mendoakan agar aku selalu dilindungi dan rezekiku selalu dilimpahkan.
Sejenak aku merasa lega.
Berlanjut ke Orang besar (bagian akhir)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).