Krisis moneter...
Indonesia mengalami guncangan berat. Saat sendi-sendi
ekonomi lumpuh. Diawali dari nilai krisis nilai tukar bath yang akhirnya
menjadi efek bola salju yang dengan cepatnya berkembang tidak hanya menjadi
krisis ekonomi, menyebar menjadi krisis sosial, krisis kepercayaan bahkan
krisis politik. Krisis total yang melumpuhkan seluruh sendi-sendi kehidupan. perekonomian
yang berantakan telah membuat banyak perusahaan berjatuhan. Yang masih
bertahanpun mengurangi jumlah
karyawannya secara besar-besaran. Dan
aku termasuk didalamnya.
Apa-apaan ini, kenapa aku tereliminasi? Memang benar aku
masuk ke perusahaan itu karena koneksi. Itu adalah perusahaan milik ayah teman
kuliahku. Tapi seperti itukah sikapnya kepadaku saat ini!? Setelah ia merecruitku?
Temannya sendiri? Apa yang seperti itu yang dinamakan teman? Membuang aku yang
dahulu selalu berada di sampingmu. Suka duka duka kita hadapi bersama dan
sekarang... apa seperti ini caramu memperlakukan temanmu!? Apa ini balasanmu!?
Aku yang memang sejak kecil tidak pernah hidup susah
sekarang harus berkeringat pergi kesana kemari melamar pekerjaan. Ditemani
terpaan sengatan matahari dan semburan debu jalanan. Aku tidak seharusnya
diperlakukan seperti ini. Di jalanan itu aku melihat seorang pengamen jalanan.
Kakek kakek pengemis cacat dan pemuda penjual koran. Berhenti di POM bensin
aku melihat petugas pom, lalu seorang cleaning service yang baru saja berjalan
keluar Toilet. Apa-apaan ini! Aku berbeda dengan mereka, sangat berbeda. Aku
seorang sarjana! Dan orangtuaku telah membayar mahal demi ijazah di tanganku
ini. Aku tidak bisa menyia-nyiakan jerih
kedua almarhum orangtuaku yang telah menurunkan warisan berupa biaya kuliah
hingga aku lulus.
Aku berhenti di sebuah taman kota. Disana aku keluarkan pak
rokok yang aku simpan di dalam tas. Aku ambil sebatang dan... kenapa aku tidak
menemukan korek api yang seharusnya aku simpan satu tempat dengan pak rokok.
"Sial! Sial!" Aku menghardik. Pikiranku sangat lelah dan aku butuh rokok untuk
meringankannya.
Seorang kakek-kakek berpenampilan eksentrik, (ia memakai tutup
kepala berupa iket , kacamata hitam , berkumis dan berjenggot putih lebat.
Kemeja bermotif batik yang tidak dikancingkan menampakkan kaos putih
bertuliskan Free. Berjelana panjang dan bersandal jepit) melintas , ia
menyalakan Zippo(sebuah merk korek api tahan angin) didepanku, dia pasti orang
kaya.
“Biar aku nyalakan rokokmu nak” ujarnya. Ia terlihat ramah.
“Hidup ini berat ya?” tanyanya. Aku diam tak menjawab karena
pertanyaan itu terlihat seperti menyindirku.
“Kamu bisa membuatnya menjadi mudah”.
“Kamu punya potensi, bila kamu tertarik, kapan saja kamu
boleh menemuiku” sembari memasukkan kartu namanya ke saku kemejaku. “Diperlukan
pengorbanan yang besar untuk meraih sesuatu yang besar. Namun pengorbanan tadi
bukalah sesuatu yang sulit”.
Dasar orangtua sinting, aku tidak mengerti apa
yang dikatakannya. Setelah menepuk punggungku, kakek itupun berlalu.
Sudah lebih dari setengah tahun aku belum mendapat pekerjaan.
Mertuaku semakin hari semakin
memperolokku karena hal itu. Istriku yang cantik juga semakin
tidak
menghargaiku. Suatu hari dia berbicara soal perceraian kepadaku. Apa dia
tidak
sadar kalau dirinya sekarang sedang mengandung anak kami!? Nampaknya ia
sudah
mulai melirik laki-laki lain atau teman laki-lakinya itu yang masih
mengejarnya?. Entah itu teman SMUnya ataupun teman kerjanya terdahulu.
Kuakui
aku memang memperistrinya karena kecantikannya. Bagaimanapun juga hal
itu
tetaplah cinta, tidak memerlukan banyak alasan. Aku bahkan tidak peduli
walaupun
dia bukan dari keluarga berada.. , ya dia dari keluarga miskin. Kami
bertemu
saat istriku menjadi pegawai laundry tempat aku sering melaundykan
pakaian, aku tidak punya waktu untuk mencuci pakaian, lebih tepatnya itu
bukan pekerjaan untukku. Apa mereka tidak
sadar bahwa aku telah menjunjung derajat keluarga mereka dengan
menjadikannya
istriku. Aku bahkan tidak berfikir dua kali untuk memutuskan pacarku yang berpendidikan tinggi sebagai calon Bidan saat itu juga ketika dia memintaku untuk melamarnya saat aku menembaknya untuk menjadi pacarku. Dengan alasan aku dijodohkan orangtuaku.
Seperti biasa hari ini juga nihil. Hujan turun dengan derasnya,
sederas perasaan hatiku yang kelam. Aku benar-benar putus asa. Aku mulai
berjalan menerabas hujan. Aku menjerebabkan diri ke tanah, bersujud apa yang
harus aku lakukan. Kartu nama pemberian kakek-kakek tempo hari merosot keluar
dari sakuku. Ternyata kartu namanya anti air karena terbuat dari sejenis mika.
Merosot tepat di depan aku bersujut. Kenapa tidak coba aku lakukan dari dulu,
pergi ketempatnya.
...
Sutarko seorang Ahli spiritual begitulah tertulis di
selembar kartu nama putih berbingkai mawar tersebut.
Aku terkejut alamat di kartu nama tersebut menunjuk ke
sebuah perumahan elite. Bahkan saat memasuki daerah tersebut aku juga harus
menunjukkan identitasku kepada satpam yang berjaga untuk dicatat dan baru bisa
melanjutkan perjalanan.
Terpampang di depanku sebuah rumah mewah dengan dua patung
Dwarapala di depan gerbang pagarnya. Pagar berwarna Hitam itu bergeser otomatis
seolah mengetahui aku hendak berkunjung. Halaman berupa taman yang terhampar
luas yang ditanami berbagai tanaman hias dari berbagai spesies dan berbagai
patung buto di tengah taman menghiasi perjalanan menuju Pintu utama. Rumah
megah bertingkat 3 bergaya kuno seperti arsitektur gaya kerajaan Majapahit.
Dengan Tembok bermotif batu bata merah, ada 2 payung berundak 2 berwarna kuning
di sisi kanan dan kiri pintu utama. Aku pikir pintu yang ini juga akan terbuka
secara otomatis, ternyata dugaanku salah. Seseorang lelaki muda berkaos putih dan
bercelana hitam sepanjang dengkul membukakan pintu, mungkin dia pembantu
disini.
Setelah aku dipersilahkan masuk, aku melihat banyak sekali
patung-patung karya seni sepertinya yang bagaimanapun juga diantaranya membuat
buluk kuduk merinding. Kakek itupun keluar menemuiku, kali ini tanpa mengenakan kacamata. Kakek-kakek itu membuka percakapan dengan memperkenalkan
diri sebagai guru spiritual, sudah banyak pejabat bahkan artis yang berguru
kepadanya. Dan ia tidak mau dipanggil Kakek atau pak apalagi Mbah. “Panggil
saya Eyang” lebih berkelas katanya sambil tersenyum mengelus-elus jenggotnya
yang putih panjang.
Pertama-tama beliau menyinggung soal cara mudah mendapatkan
semua yang ada dii dunia ini bila aku mau bergabung dan mengikuti dia. Dia
bahkan menyinggung soal keabadian. Sulit bagiku untuk tidak mempercayainya
begitu saja, karena begitu terlihat suatu keseriusan di wajahnya, sesuatu yang
membuat kita yang memandangnya bergetar ketakutan. Ia mengeluarkan sebuah
kertas bergambar seekor ular yang memakan ekornya sendiri; Ouroboros. Setahap
demi setahap ia mengatakan hal2 tabu yang mengerikan. Ketamakan dan konspirasi
“Dosa apa yang belum pernah kamu kerjakan?” tegasnya dengan tatapan mata setengah melotot saat
melihatku bimbang. Seakan dia tahu segala hal tentang masa laluku.
“Ya tentu saja aku akan menerimanya. Itu sama sekali bukan hal
yang sulit. Dibandingkan dengan apa yang akan aku dapatkan setelahnya”.
“Ingat meskipun banyak makanan lezat diluar sana. Sisakan
beberapa yang terlezat untuk menjadi salah satu dari kita. Kita jadikan mereka
agen-agen kita.
“Apa sudah terlintas dipikiranmu siapa tumbalmu yang
pertama?”
Aku tersenyum penuh kepuasan mengingat dia yang dulunya
mengaku sebagai temanku, sementara dialah yang membuat keadaanku seperti
sekarang. Segala kesulitan yang kuhadapi.
“Ya, Saya sudah ada Eyang”
“Bagus-bagus”...
“Oh iya siapa nama manusiamu tadi?”
“Nama saya Fandi eyang, Afandi Harassin."
0 komentar:
Posting Komentar
Teman-teman, komentar yang sopan ya (jangan bikin sampah). Mohon jangan memberi komentar beserta link. Terima kasih (^-^).