Disuatu ruangan, terdapat empat orang yang duduk saling berhadapan. Tiga bapak-bapak dan seorang anak muda, anak dari salah satu diantaranya.
Gimana? Kita biarkan dia masuk?.
Kita memang bisa tetap bertahan walaupun tanpa dirinya. Tapi penanaman dana segar.. itu benar-benar sangat bermanfaat, dilihat dari sisi manapun.
Tom, Bapak akan menceritakan sebuah kisah pengalaman hidup.
Banyak pemberitaan soal siapa sebenarnya pencetus merek mi instan Indomie. Selama ini banyak orang mengira Indomie diciptakan oleh Sudono Salim alias Liem Sie Long karena perusahaan itu kini memegang produksi atas Indomie. Namun, belakangan mulai terkuak bukan Salim-lah yang berada di balik penciptaan Indomie, melainkan seorang pengusaha bernama Djajadi Djaja.
Benarkah demikian dan bagaimana peristiwa sebenarnya?
Awal mula industri mi instan Indonesia
Masyarakat Indonesia baru mengenal mi instan pada tahun 1968 usai PT Lima Satu Sankyu memproduksi Supermi. Dalam paparan majalah Historia dituliskan PT Lima Satu Sankyu adalah perusahaan hasil kerjasama perusahaan Jepang, Sankyo Shokuhin Kabushiki Kaisha dengan PT Lima Satu milik Sjarif Adil Sagala dan Eka Widjaja Moeis. Kerjasama ini berbentuk teknis hingga bantuan pengiriman tepung dari luar negeri.
Baca:Produsen Mie Gaga Buka Suara Soal Indomie dan Djajadi Djaja
Barulah dua tahun kemudian tepat pada 1970, Sarimi mendapat lawan baru, yakni Indomie. Indomie adalah merek mi instan produksi PT Sanmaru Food. Dalam paparan Arto Biantoro di Namanya Apa?: Memahami Kekuatan Nama Merek & Cara Menemukannya (2023) diketahui PT Sanmaru Food didirikan oleh Djajadi Djaja, Wagyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma, serta berada di bawah jaringan Grup Djangkar Djati. Grup ini didirikan oleh Djajadi Djaja, pengusaha asal Medan, pada 1964 yang kemudian juga ikut mendistribusikan Indomie lewat PT Wicaksana Overseas.
Persaingan bisnis mi awalnya berjalan biasa saja hingga akhirnya muncul pendatang baru, yakni Sarimi pada awal 1980-an. Sarimi didirikan oleh Sudono Salim lewat PT Sarimi Asli Jaya. Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), alasan Salim terjun ke industri mi berkaitan dengan kelangkaan beras di Indonesia pada akhir 1970-an.
Semua orang tahu beras adalah makanan yang tidak bisa tergantikan oleh masyarakat Indonesia. Pada saat krisis beras sudah pasti pemerintah dan swasta berputar otak untuk mencari pengganti beras. Kebetulan ketika itu industri tepung di Indonesia berjalan positif usai berdiri pabrik tepung pertama di Indonesia, yaitu PT Bogasari, yang juga didirikan oleh Salim, Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono. Keempatnya juga dikenal sebagai Gang of Four, persekutuan para pengusaha di era awal Orde Baru.
Pada titik inilah, Salim ingin memproduksi mi dengan tujuan mengganti beras sebagai makanan pokok masyarakat. Keinginan ini lantas disetujui oleh pemerintah sebagaimana dituturkan Piet Yap dalam memoarnya My Grains of My Life (2010). Pemerintah secara terang-terangan mendorong Grup Salim untuk mengkampanyekan kelebihan mi dan roti kepada masyarakat.
Dari sini, Salim rupanya cukup serius soal produksi mi. Mengutip paparan Richard Borsuk dan Nancy Chng, Salim rela memesan 20 lini produksi dari pemasok Jepang. Setiap lini bisa memproduksi 100 juta bungkus mi instan. Artinya, ada miliaran bungkus mi yang diproduksi Grup Salim. Atas dasar ini, Salim cukup percaya diri menyaingi Supermie dan Indomie.
Namun, rasa percaya diri itu sirna ketika situasi berubah di pertengahan 1980-an. Tanpa diduga, stok beras Indonesia kembali membaik, bahkan di tahun 1984 sudah bisa swasembada. Cita-cita Salim mengubah makanan utama masyarakat dengan mi akhirnya gagal total. Semua yang sudah dilakukan, dari mulai membangun pabrik, berinvestasi, dan kerjasama, menjadi sia-sia. Dan semua itu tidak bisa dibatalkan, alias harus tetap berjalan.
Sadar bingung mendistribusikan miliaran bungkus mi instan, Salim lantas mendekati pesaingnya, yakni Djajadi, yang merupakan pemilik Indomie.
Persekutuan Salim & Djajadi
"Kalian konsumen [tepung] saya, kami punya kelebihan lini. Bisakah kalian melakukan sesuatu? Sebab saya tidak mau bersaing dengan kalian," tutur ulang Anthony Salim saat mendekati Indomie, dikutip dari riset Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Tawaran itu membuat Djajadi berada di posisi sulit. Dia tahu bahwa produksi Indomie bergantung pada Bogasari, tetapi dia juga tidak mau menerima tawaran itu. Alhasil, terjadilah penolakan oleh Djajadi, meski dia tahu menjadi pesaing Salim di Orde Baru bukan hal mudah. Dari sinilah, Sarimi bertarung melawan Indomie. Dalam pertarungan ini, Salim berani mengeluarkan biaya fantastis hingga US$ 10 juta untuk memasarkan produk mi dengan harga di bawah Indomie.
Singkat cerita, strategi ini pada akhirnya membuat Indomie takluk. Sarimi sukses menguasai 40% pasar mi instan Indonesia. Berkat kesuksesan inilah, Salim percaya diri dan kembali menawarkan proposal kerjasama kepada Djajadi. Namun, kali ini Djajadi terpaksa harus mengakui kehebatan Salim. Dia menyetujui tawaran tersebut dan sepakat membentuk perusahaan patungan bernama PT Indofood Interna pada 1984. Di perusahaan itu Djajadi punya 57,5 % saham dan Salim 42,5% saham. CEO-nya pun masih orang dekat Djajadi, yakni Hendy Rusli.
Sebenarnya, apa yang terjadi antara Salim-Djajadi adalah strategi umum dari bisnis Grup Salim. Salim sering melakukan pengelolaan bersama dengan mitra bisnis dalam suatu grup usaha. Menurut Yuri Sato dalam Chinese Business Enterprise (1996), tujuan Salim melakukan ini untuk mencari keahlian teknis dari mitra-mitra tersebut di bidangnya masing-masing dan mencari dukungan finansial.
Dalam kasus PT Indofood Interna, strategi ini berjalan lancar. Bahkan, perusahaan patungan ini sukses menguasai pasar dan mampu mengakuisisi merek kompetitor, yakni Supermi besutan PT Lima Satu Sankyu. Namun, seiring waktu terjadi perubahan pengelolaan di tubuh perusahaan.
'Perceraian' Salim & Djajadi
Masih mengutip paparan Richard Borsuk dan Nancy Chng, perlahan tapi pasti kontrol PT Indofood Interna bergeser dari Djajadi ke Salim Group hingga menguasai seluruh perusahaan. Pada titik ini, Djajadi terpaksa angkat kaki.
"Karena mereka bertikai sendiri dan akhirnya kami mendapatkan mayoritas... Ada lima atau enam orang dalam kemitraan mereka dan mereka tidak akur... Bola jatuh berserakan dan kami memungut keping-kepingannya," tutur Anthony Salim saat ditanya Richard Borsuk soal perubahan kelola PT Indofood Interna.
Sejak itu, Salim menguasai Indomie dan memasukkannya ke dalam induk perusahaan PT Indofood Sukses Makmur pada 1994. Ketika itu terjadi tak ada perlawanan dari Djajadi. Dia diam seribu bahasa menyikapi peristiwa itu. Dan ini menjadi kewajaran sebab Salim dekat dengan Presiden Soeharto. Jadi, tidak ada gunanya mengeluh dan protes atas kejadian itu, sehingga lebih baik diam untuk terhindar dampak lanjutan.
Barulah setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, Djajadi mulai buka suara dan berani melawan balik Salim yang ketika itu bisnisnya 'berdarah-darah'. Genderang perang pun dimulai.
Dalam laporan Wall Street Journal (2 Februari 1999), Djajadi mengaku terpaksa menjual perusahaannya beserta 11 mereknya, termasuk Indomie dan Chiki, kepada PT Indofood Interna Corp. dengan harga yang sangat murah pada tahun 1986. Seluruhnya dijual dengan harga hanya Rp 30.000.
"Pak Djajadi menuntut agar transaksi penjualan tersebut dibatalkan karena ia menuduh perjanjian jual belinya diambil dengan paksa. Dia bersikeras bahwa merek tersebut adalah miliknya secara pribadi dan tidak seharusnya dimasukkan sebagai aset Sanmaru. Jadi, meski Sanmaru sudah dijual, dia tetap menjadi pemilik sah merek tersebut, kata Pak Djajadi," tutur kuasa hukum Djajadi kepada jurnalis Wall Street Journal.
Dalam momen ini pula, Djajadi berani melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan menuntut ganti rugi sebesar Rp 620 miliar kepada Indofood, Anthony Salim, Sudwikatmono, Ibrahim Risjad, dan Djuhar Sutanto. Meski begitu, PN Jakara Selatan menolak tuntutan ini.
Djajadi pun melakukan perlawanan ke tingkat pengadilan lebih tinggi hingga ke Mahkamah Agung dalam kurun waktu 7 tahun. Hingga akhirnya, pada 2005 Mahkamah Agung menolak tuntutan Djajadi dan menyatakan tidak ada masalah dari proses pengalihan bisnis itu. Sejak inilah, Djajadi resmi mengibarkan bendera putih.
Salim pun tetap memproduksi Indomie hingga benar-benar menjadi 'raja' mi. Sedangkan Djajadi tetap berbisnis di PT Wicaksana Overseas dan masih berjualan mi lewat PT Jakarana Tama yang menghasilkan merek Mie Gaga.
Dirinya memang kaya, tapi tidak terhormat. Kalau kekayaan berarti kehormatan. Tuh yang dapat proyek jalan di Sumatera, tapi jalannya nggak pernah beres. Kalau dibandingin sama mereka, dia itu nggak ada apa-apanya. Sekali proyek bisa buat beli Lamborgini, bersih!.
Berapa kali Si Toying harus nyogok, berapa kali Si Toying harus menawarkan Lonte untuk mendapatkan satu Lamborgini dia itu?. Cih, kalah jauh, nggak ada apa-apanya.
"Padahal sampe jadi mucikari ya" disambut tertawaan
"Sekarang kan sudah kaya raya, jadi sudah enggak"
"Mantan Mucikari " suara tertawa membuana.
Ingat strategi "Jaga temanmu agar tetap dekat dan musuhmu lebih dekat lagi".
Persetan dengan kalimat itu!. Aku nggak mau dekat-dekat sama ular!.
Selalu ingat bahwa kita berhadapan dengan seorang Munafik. Kalau dihadapan penguasa dia menjadi Anjing, sedangkan dihadapan orang biasa seperti kita, dia adalah ular.
Ini layaknya bermain Russian roulette. Kita bisa memanfaatkan resiko ini sebagai peluang. Dengan syarat kita tidak boleh lengah. Dia boleh join, cuma sebagai investor, penyandang dana, tidak lebih. Jangan pernah memberikannya akses operasional. Dan semua kegiatan terutama yang bersangkutan dengannya harus didokumentasikan. Semuanya!. Semuanya juga harus hitam diatas putih. Satu kelalaian, kita bisa kehilangan segalanya.
Sekali lagi.. kita berhadapan dengan munafik sekaligus seekor ular. Seorang Bajingan!.
Pak, kalau bapak bilang mbak Ranti itu kakak ku. Aku bakal langsung percaya pak.
"Lambemu!".
Bapak tidak pernah mengkhianati ibumu. Bapak bukan pezina seperti Toying!.
Dan bapak juga tidak akan pernah merestuimu dengan perempuan nakal.